Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Protes Anti-Ekstradisi Hong Kong Bukan Revolusi Warna yang Digagas Pihak Asing


Pengunjuk rasa anti-RUU ekstradisi saat turun ke jalan secara massal di Bandara Internasional Hong Kong pada 12 Agustus 2019. (Tyrone Siu/Reuters)
Pengunjuk rasa anti-RUU ekstradisi saat turun ke jalan secara massal di Bandara Internasional Hong Kong pada 12 Agustus 2019. (Tyrone Siu/Reuters)
Kantor Komisioner Kementerian Luar Negeri China di Hong Kong

Kantor Komisioner Kementerian Luar Negeri China di Hong Kong

“Khalayak tidak akan lupa bahwa selama kekisruhan 2019… pihak asing menggelar “revolusi warna” versi Hong Kong dalam upaya kembali memisahkan Hong Kong dari Ibu Pertiwi.”

Salah

Pada 4 Mei, Kantor Komisioner Kementerian Luar Negeri China di Daerah Administratif Khusus Hong Kong (Hong Kong Special Administrative Region/HKSAR) mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan politisi Amerika Serikat (AS) untuk tidak “ikut campur dalam sistem peradilan Hong Kong.”

“Khalayak tidak akan lupa bahwa selama kekisruhan 2019… pihak asing menggelar “revolusi warna” versi Hong Kong dalam upaya kembali memisahkan Hong Kong dari Ibu Pertiwi.”

Pernyataan itu salah.

Tidak ada bukti satu pun bahwa pihak asing “melancarkan” gerakan besar pro-demokrasi Hong Kong pada 2019.

Hong Kong adalah daerah bekas koloni Inggris yang dikembalikan ke China pada 1997. Beijing berjanji untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah otonom tingkat tinggi di bawah kerangka kerja yang dikenal sebagai “Satu Negara, Dua Sistem.” Kesepakatan itu dipaparkan secara terperinci dalam Deklarasi Bersama China-Inggris pada 1985, sebuah perjanjian internasional yang masih berlaku secara hukum.

Beijing berjanji Hong Kong dapat terus mempertahankan sistem peradilannya, otonomi legislatif dan eksekutif, masyarakat sipil, kebebasan berbicara, kebebasan menavigasi dunia maya, dan fitur-fitur pokok demokrasi lainnya yang dinikmati oleh rakyat Hong Kong pada saat itu.

Dalam konteks itu, demonstrasi massal Hong Kong pada 2019 merupakan tanggapan terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan oleh Beijing. RUU tersebut akan membuat Hong Kong dapat menahan, dan memindahkan tersangka pelaku kejahatan ke China, Taiwan, dan Makau, yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi resmi.

Banyak pihak mengkhawatirkan hal tersebut dapat merusak independensi sistem peradilan Hong Kong. Para kritikus juga cemas regulasi tersebut dapat dijadikan China sebagai alat untuk menghukum para saingan politik, sehingga membahayakan musuh-musuh politik yang tidak memiliki pandangan yang sama dengan Beijing.

Serangkaian kekhawatiran tersebut memicu protes massal. Ratusan ribu orang turun ke jalan. Mereka menentang dan menuntut RUU tersebut dibatalkan.


Serangkaian jajak pendapat yang disponsori Reuters --yang dilakukan oleh Institut Riset Opini Publik Hong Kong-- menunjukkan sebanyak 59 persen warga Hong Kong mendukung protes anti-RUU ekstradisi pada akhir 2019. Setidaknya sepertiga dari 1.021 responden mengatakan mereka turut berpartisipasi dalam aksi protes tersebut.

Reuters mengutip cendekiawan politik Universitas Lingna, Samson Yuen, yang berpendapat hasil jajak pendapat itu menegaskan bahwa tuntutan utama para pengunjuk rasa ternyata mendapat dukungan publik yang luas di Hong Kong.

“(Hasil jajak pendapat) juga menentang karakterisasi protes Beijing sebagai gerakan yang bertujuan merusak kedaulatannya atas kota itu,” kata Yuen.

RUU Ekstradisi akhirnya dibatalkan pada September 2019. Namun, gerakan anti-ekstradisi telah berkembang menjadi seruan yang jauh lebih luas untuk mempertahankan otonomi dan fitur demokrasi Hong Kong yang membedakannya dari China daratan.

Demonstran anti RUU ekstradisi menuntut demokrasi dan reformasi politik, di Hong Kong, China, 18 Agustus 2019. (Reuters)
Demonstran anti RUU ekstradisi menuntut demokrasi dan reformasi politik, di Hong Kong, China, 18 Agustus 2019. (Reuters)

Pemerintah di seluruh dunia, termasuk AS dan negara-negara Eropa, mendukung hak pengunjuk rasa untuk menggunakan kebebasan mereka untuk berkumpul secara damai dan menyampaikan tuntutan politik. Tidak ada pemerintah atau politisi di Barat yang mendorong atau mendukung penggunaan kekerasan dalam menanggapi para demonstran tersebut.

Revolusi Warna untuk Perubahan Rezim?

Revolusi warna adalah istilah popular yang digunakan untuk menggambarkan pemberontakan pro-demokrasi dalam berbagai konteks di seluruh dunia.

Contoh revolusi tersebut di antaranya “Revolusi Bulldozer” di Serbia pada 2000, “Revolusi Mawar” di Georgia pada 2003, “Revolusi Oranye” di Ukraina pada Desember 2004, dan “Revolusi Tulip” di Kyrgyzstan pada awal 2005. Beberapa tahun kemudian muncul gerakan pro-demokrasi “Kebangkitan Arab” atau Arab Spring di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Menurut laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional, Rusia secara garis besar melihat gerakan ini sebagai “pendekatan baru AS dan Eropa terhadap konflik yang berfokus pada menciptakan revolusi yang mendestabilisasi di negara lain. Hal tersebut merupakan upaya untuk membantu kepentingan keamanan mereka dengan biaya rendah dan dengan korban minimal.” Demikian laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional yang dipublikasikan pada 2014.

Beijing pun memiliki pandangan serupa. Presiden China Xi Jinping mengatakan pada pertemuan puncak Organisasi Kerja Sama Shanghai yang digelar pada tahun lalu bahwa sejumlah negara, termasuk China, Rusia dan Iran, harus bekerja sama untuk mencegah "pihak asing" mendorong apa yang disebutnya sebagai "revolusi warna."

Jadi, apa yang dimaksud dengan revolusi warna?

Lincoln Mitchell, seorang pakar demokrasi dan mantan dosen Universitas Columbia, menjelaskan tiga kriteria umum revolusi warna dalam bukunya yang berjudul “The Color Revolutions”, diterbitkan pada 2012.

Menurut Mitchell, revolusi-revolusi tersebut biasanya merupakan imbas dari munculnya pertanyaan-pertanyaan seputar pemungutan suara yang baru terjadi. Revolusi tersebut menampilkan para pemimpin politik yang memainkan peran utama, dan terjadi di negara-negara yang masuk dalam kategori lemah.

Tak satu pun dari kriteria tersebut yang selaras dengan gerakan anti-ekstradisi di Hong Kong.

Pertama, tujuan awal gerakan di Hong Kong adalah pembatalan RUU anti-ekstradisi, dan protes sebagian besar berlangsung damai pada tahap ini. Penjarahan dan perusakan akhirnya terjadi hanya ketika pemerintah tampaknya tidak mau mengalah dan berlaku represif.

Kedua, pada tahap awal gerakan di Hong Kong tidak diorganisasi oleh para pemimpin politik oposisi. Front Hak Asasi Manusia Sipil (Civil Human Rights Front/CHRF) yang sekarang dibubarkan, menggelar dua demonstrasi massal pada 9 Juni dan 16 Juni 2019.

Reporter VOA Mandarin Paris Huang, yang berada di tempat kejadian sejak gerakan dimulai, melaporkan bahwa dia tidak melihat adanya koordinasi saat gerakan tersebut digelar, “masyarakat keluar sendiri... semuanya sangat organik.”


Ketiga, Hong Kong tidak masuk dalam kategori negara yang lemah. Menurut Brookings Institution, negara bagian yang lemah biasanya memiliki infrastruktur fisik yang memburuk, sistem pendidikan dan kesehatan yang terabaikan, terjadinya penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), dan indikator ekonomi penting lainnya.

Dan, Hong Kong tidak memiliki salah satu pun indikator tersebut. Kehidupan di Hong Kong sebagian besar dalam kondisi baik: kota ini memiliki ekonomi yang dinamis, aparat kepolisian yang profesional, dan sistem peradilan yang independen. PDB per kapita Hong Kong pada 2019 mencapai $48.356 dolar, empat kali jumlah yang biasa digunakan Bank Dunia untuk menyebut suatu negara sebagai negara maju.

XS
SM
MD
LG