Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Bandingkan TikTok dengan Apple, Komentator China Beri Info Keliru soal Keterbukaan Beijing terhadap Bisnis Asing


Logo TikTok terlihat di layar iPhone di depan bendera AS dan China di Washington, DC dalam sebuah ilustrasi yang diambil pada 16 Maret 2023.
Logo TikTok terlihat di layar iPhone di depan bendera AS dan China di Washington, DC dalam sebuah ilustrasi yang diambil pada 16 Maret 2023.
Hu Xijin

Hu Xijin

Mantan Pemimpin Redaksi Global Times

“Pada hari yang sama ketika CEO TikTok diinterogasi di AS, CEO Apple malah mendapat sambutan hangat di toko utama Apple di Beijing. Beda negara, keluasan pemikiran juga berbeda.”

Menyesatkan

Hu Xijin, seorang komentator terkemuka dan mantan pemimpin redaksi surat kabar nasionalis China, Global Times, menyandingkan dua peristiwa tersebut untuk memberi informasi sesat. Ia ingin menunjukkan bahwa China memiliki lingkungan bisnis yang lebih terbuka untuk seluruh perusahaan Amerika Serikat (AS). Namun Washington, menurut dia, justru mengambil langkah sebaliknya.

“Pada hari yang sama ketika CEO TikTok diinterogasi di AS, CEO Apple mendapatkan sambutan hangat di toko utama Apple di Beijing,” kicaunya di Twitter pada 27 Maret.

"Beda negara, keluasan pemikiran juga berbeda."

Pernyataan Hu Xijin itu menyesatkan.

CEO TikTok Shou Zi Chew memberi kesaksian dalam sidang dengar pendapat selama lima jam di depan Kongres AS pada 23 Maret. Para anggota parlemen AS menyatakan keprihatinan mereka bahwa platform berbagi video pendek yang sangat populer itu mengancam keamanan nasional AS. Platform tersebut juga dinilai sangat berpotensi membagikan data pengguna TikTok di AS ke otoritas Beijing.

Kekhawatiran itu terkait dengan keberadaan induk perusahaan TikTok yang berbasis di China, Bytedance. Di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional China, Bytedance dapat dipaksa untuk berbagi informasi dengan pemerintah.

Pemerintahan Joe Biden menuntut TikTok untuk menjual sahamnya di China. Jika menolak, TikTok akan menghadapi ancaman pelarangan di AS. Beijing mengatakan "dengan tegas menentang" usulan divestasi tersebut, sementara Chew bersikeras bahwa Bytedance, sebagai perusahaan swasta, hanya terikat pada para pemegang saham dan dewan direksi, bukan kepada Pemerintah China.

Sehari setelah sidang dengar pendapat dengan CEO TikTok itu digelar, CEO Apple Tim Cook mengunggah foto di Weibo, platform mirip twitter versi China, tentang dirinya yang sedang menyapa staf dan pelanggan di sebuah gerai Apple di Beijing pada 24 Maret. Dia berada di Beijing untuk menghadiri China Development Forum yang diselenggarakan oleh Pemerintah China.

Senada dengan komentar Hu, media pemerintah China juga menarasikan kedua peristiwa yang terlihat kontras itu untuk menyesatkan. Media China menyebut negaranya menyambut kehadiran perusahaan-perusahan AS dengan hangat. Beijing disebut memberikan lingkungan bisnis yang lebih terbuka dan lebih bebas kepada para korporasi AS, jauh berbeda dengan apa yang dilakukan AS terhadap perusahaan China.

“Ini menunjukkan bahwa China adalah negara yang benar-benar mempraktikkan perdagangan yang adil dan bebas,” tulis Global Times mengutip seorang warganet.

Narasi yang berkembang di China itu sungguh jauh berbeda dengan fakta sebenarnya. Pertama-tama, Hu berkomentar dan sering kali mengkritik AS dengan menggaungkan sejumlah pokok-pokok pemikiran Beijing di Twitter. Padahal, ironisnya, platform media sosial tersebut adalah sebuah perusahaan internet AS yang dilarang di China sejak 2009.

Twitter tidak sendirian, masih banyak perusahaan atau layanan Internet AS terkenal lainnya yang juga diblokir di China, termasuk Google, YouTube, Facebook, Instagram, Wikipedia, Gmail, Yahoo, Snapchat, Signal, Pinterest, Quora, Vimeo, Reddit, WhatsApp, Messenger, Dropbox, Microsoft OneDrive, Slack, Blogspot, Blogger, Medium, dan SoundCloud.

Bersama dengan sejumlah perusahaan internet, China memblokir beberapa media arus utama AS, termasuk The New York Times, The Washington Post, The Wall Street Journal, Bloomberg, TIME, NBC, dan Voice of America serta media-media yang terkait dengan VOA.

Media-media tersebut diblokir oleh "Great Firewall", sebuah sistem sensor internet otoritas China. Sistem itu dirancang untuk memblokir situs web asing dan menyaring informasi yang dianggap tidak menguntungkan bagi Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa.

Misalnya, YouTube diblokir pada Maret 2009 setelah munculnya video tentang kebrutalan pasukan keamanan China yang bertindak represif dengan memukuli para pengunjuk rasa Tibet dalam kerusuhan 2008. Beijing menyebut video itu sebagai sebuah "kebohongan.”

Menyusul kerusuhan maut etnis Muslim Uighur di Urumqi, Xinjiang pada 5 Juli 2009, Pemerintah China melarang penggunaan Facebook dan Twitter sebagai bagian dari upaya untuk menekan para aktivis HAM etnis untuk bersuara.

China memblokir Instagram pada September 2014 setelah berbagai foto terkait protes besar-besaran pro-demokrasi Hong Kong, dikenal sebagai Gerakan Payung atau Umbrella Movement, membanjiri platform tersebut.

China memblokir WhatsApp, layanan berbagi pesan milik Meta pada September 2017 menjelang digelarnya Kongres Partai Komunis China. Kongres tersebut merupakan pertemuan para pejabat tinggi partai itu yang diadakan setiap lima tahun untuk memilih pemimpin partai.

Great Firewall dirancang pada 1998, tetapi sistem penyensorannya terus disempurnakan. Di bawah Presiden Xi Jinping, pembatasan internet China semakin ketat. Kelompok hak asasi Freedom House pada 2022 menempatkan China sebagai negara yang memiliki kebebasan di dunia maya paling rendah di antara 70 negara yang dipantau.

Beberapa orang di China mengakses layanan-layanan yang diblokir itu dengan menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN) yang menyediakan saluran komunikasi ke server di luar negeri.

Pada 2017, Beijing melarang pengembangan, penyediaan, dan penggunaan VPN yang tidak disetujui oleh regulator negara bagian. Hal tersebut mendorong keputusan kontroversial Apple untuk menghapus aplikasi VPN dari app storenya di China. Undang-undang 2021 di China memberlakukan tindakan tegas yang lebih komprehensif terhadap VPN, bahkan dengan menerapkan hukuman yang lebih berat.

“Hal itu seharusnya menghalangi perusahaan VPN asing mana pun untuk mendaftar dan menjalankan bisnisnya di China,” tutur Benjamin Ismail, dari grup kampanye kebebasan berbicara GreatFire, kepada situs berita Protokol pada 2021.

Selain itu, perusahaan AS pada umumnya menghadapi lebih banyak pembatasan di China daripada perusahaan China di AS.

“Anggota AmCham (American Chamber -red) China menghadapi tantangan struktural lama di pasar China yang berkonspirasi untuk merugikan (perusahaan investasi asing) dan investor asing," menurut Kamar Dagang Amerika di China pada laporan 2021.

Di bawah sejumlah perangkat regulasi China, investor asing biasanya harus bermitra dan membentuk usaha patungan dengan perusahaan lokal untuk menjalankan bisnis di negara tersebut. Selain itu, banyak perusahaan asing juga terpaksa mentransfer teknologi inti mereka untuk mendapatkan akses ke pasar China. Bisnis asing di China menghadapi lebih banyak batasan dan larangan dalam berinvestasi secara lokal daripada yang dilakukan perusahaan China di AS.

Outlet berita bisnis AS, CNBC, mencantumkan beberapa sektor bisnis di mana perusahaan AS menghadapi pembatasan yang signifikan di China, di antaranya:

“Layanan perawatan kesehatan: Investasi asing di institusi medis di China tidak boleh melebihi 70 persen. Sebagai perbandingan, tidak ada batasan seperti itu di AS.

“Komputasi cloud: Perusahaan asing tidak dapat berinvestasi lebih dari 50 persen dalam bisnis layanan cloud. Padahal AS tidak menerapkan batasan serupa.

“Perfilman: Pemerintah China turut menetapkan tanggal rilis sebuah film dan mewajibkan 75 persen pendapatan tetap dimiliki oleh perusahaan produksi film China. Di AS, perusahaan China dapat mendistribusikan film tanpa batasan dan menetapkan tanggal rilisnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah."

XS
SM
MD
LG