Tautan-tautan Akses

Beberapa Pimpinan Gereja AS Abaikan Larangan Berkumpul


Seorang pria mengenakan kostum anjing menemani anak-anak setelah menghadiri kebaktian di Gereja Life Tabernacle, di Baton Roughe, Louisiana, 5 April 2020. Gereja itu mengabaikan perintah larangan berkumpul terkait penyebaran virus corona. (Foto: Reuters)
Seorang pria mengenakan kostum anjing menemani anak-anak setelah menghadiri kebaktian di Gereja Life Tabernacle, di Baton Roughe, Louisiana, 5 April 2020. Gereja itu mengabaikan perintah larangan berkumpul terkait penyebaran virus corona. (Foto: Reuters)

Wabah Covid-19 tidak hanya mengacaukan persiapan umat Kristen dalam menghadapi Paskah pada Minggu (12/4) ini, tetapi juga pelaksanaan ibadah umat Yahudi dan Muslim.

Sementara sebagian besar gereja, sinagoga dan masjid telah menghentikan layanan yang dihadiri jemaah, beberapa pemimpin agama di Amerika dikecam karena melanggar larangan melakukan pertemuan di tempat umum.

Pendeta Rodney Howard-Browne di Florida ditangkap karena mengadakan kebaktian di gereja bagi ratusan jemaahnya. Howard-Browne didakwa mengadakan pertemuan ilegal, membangkang perintah tinggal di rumah yang ditetapkan Pemda setempat terkait perebakan wabah virus corona. Namun demikian, ia tetap bersikap membangkang.

Pendeta Rodney Howard-Browne dari the River Church mengemukakan, “Saya tidak malu ditangkap karena menjunjung amendemen pertama Konstitusi Amerika. Saya tahu sherif mengatakan kita tidak dapat berlindung di balik Amendemen Pertama, tetapi kami bisa.”

Pihak berwenang setempat menganggap pelanggaran tersebut sebagai hal yang sangat serius.

Chad Chronister, sherif di county -daerah setingkat kabupaten - Hillsborough, mengemukakan, “Kecerobohannya mengabaikan nyawa manusia membuat ratusan orang jemaahnya berisiko dan ribuan penduduk yang mungkin berinteraksi dengan mereka terancam bahaya.”

Ini bukan satu kasus saja. Orang-orang juga memenuhi sebuah gereja di luar Kota Baton Rouge, Louisiana. Pendeta di sana juga ditangkap.

Sejak wabah virus corona merebak, banyak tempat ibadah yang menutup pintu mereka, dan menyelenggarakan ibadah daring. Pendeta Sylvia Sumter mengatakan itu adalah hal yang tepat dilakukan.

Seorang umat paroki mengambil daun palem di luar Gereja Katolik Sakramen Suci pada perayaan Minggu Palma di tengah wabah COVID-19 di Worcester, Massachusetts, 5 April 2020. (Foto: Reuters)
Seorang umat paroki mengambil daun palem di luar Gereja Katolik Sakramen Suci pada perayaan Minggu Palma di tengah wabah COVID-19 di Worcester, Massachusetts, 5 April 2020. (Foto: Reuters)

Pendeta senior dari Unity Church of Washingtonitu melalui Skype mengemukakan, “Membuat orang-orang dalam bahaya bertentangan dengan apa yang diperintahkan terhadapmu agar tidak membuat kerusakan dan untuk berbuat kebaikan yang lebih besar. Membuat pintu-pintu gereja tetap terbuka tidak memberi kebaikan yang lebih besar untuk jemaah Anda dan orang-orang yang melakukan kontak dengan mereka.”

Dengan pembatasan-pembatasan baru, sejumlah gereja mengadakan kebaktian di luar ruangan yang lebih memungkinkan bagi pembatasan sosial.

Seorang jemaah perempuan yang menghadiri kebaktian mengatakan, “Meskipun kami harus menjaga jarak, kami masih dapat berkumpul bersama.”

Banyak tempat ibadah yang terganggu secara finansial. Menghentikan kebaktian artinya menghentikan donasi jemaah yang hadir. Sekarang ini ada dorongan untuk meningkatkan sumbangan secara online.

Pendeta senior Sylvia Sumter dari Unity Church of Washington melalui Skype mengatakan, “Sewaktu ini berakhir, kami masih ingin memiliki gereja. Kami memiliki kredit yang harus dibayar, membuat listrik tetap menyala dan membayar gaji para pegawai. Dan itu adalah bagian yang besar.”

Juga menambah ketidakpastian, tak seorang pun tahu kapan pandemi ini akan berakhir dan pertemuan publik untuk beribadah dapat dimulai kembali. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG