Tautan-tautan Akses

Beberapa Hari Jelang Referendum Brexit: Hasil Belum Jelas


Bendera Inggris berkibar di depan menara "Big Ben"di pusat kota London, Inggris (Foto: dok).
Bendera Inggris berkibar di depan menara "Big Ben"di pusat kota London, Inggris (Foto: dok).

Anggota parlemen Inggris, Senin (20/6), kembali dari reses untuk menghormati Jo Cox, anggota parlemen dari Partai Buruh yang pembunuhannya bermotif politik.

Dua hari menjelang referendum yang akan menentukan masa depan Inggris, belum diketahui secara pasti apakah mayoritas pemilih akan mendukung tetap bergabung dengan Uni Eropa atau meninggalkan blok itu. Pembunuhan anggota parlemen yang mendukung keanggotaan dalam kelompok 28 negara itu minggu lalu tampaknya telah menggerakkan sebagian pemilih untuk beralih sikap.

Anggota parlemen Inggris, Senin (20/6), kembali dari reses untuk menghormati Jo Cox, anggota parlemen dari Partai Buruh yang pembunuhannya bermotif politik.

"Untuk mengenang Jo, hari ini kita menunjukkan apa yang dikatakannya di parlemen ini adalah benar, dan saya tahu ini akan dikutip berkali-kali hari ini: ‘Kita jauh lebih bersatu dan kita memiliki lebih banyak lagi kesamaan satu sama lain daripada hal-hal yang memecah kita," kata Perdana Menteri David Cameron mengutip kata-kata Cox ketika menyerukan persatuan.

Rakyat Inggris tampaknya terbagi dua mengenai keanggotaan Uni Eropa seperti para politisinya. Perdana menteri dengan penuh semangat menentang keluarnya Inggris, tetapi sebagian rekannya yang konservatif mengatakan kedaulatan negara itu banyak yang telah beralih ke Uni Eropa.

"Biarkan saya memberitahu Anda, tidak ada tempat lain di dunia yang terlibat dalam eksperimen seperti ini untuk menyatukan negara-negara guna menciptakan sebuah negara super, sebuah negara Eropa Serikat. Ini adalah anti-demokrasi," kata Boris Johnson, anggota parlemen Inggris yang konservatif.

Banyak warga Inggris menolak kuota Uni Eropa terkait imigrasi karena khawatir para migran akan membebani sistem kesejahteraan negara itu. Tapi kerugian ekonomi karena meninggalkan blok itu mungkin lebih buruk.

"Dampaknya sebagian besar akan negatif karena Inggris di dalam Eropa berarti bahwa Anda memiliki satu blok perdagangan. Lebih mudah bagi orang-orang di sini untuk melakukan ekspor dan impor. Dan ada sejumlah konsekuensi lainnya. Jadi 'keluar' menurut saya hasilnya akan negatif," kata Mark Mobius dari Templeton Ermerging Market yang berbasis di Hong Kong.

Pemerintahan Obama telah menyatakan dukungan bagi keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa, tapi Gedung Putih, Senin menyatakan keputusan di tangan rakyat Inggris.

"Jadi rakyat Inggris akan memutuskan apa yang mereka percaya sebagai kepentingan terbaik bagi negara mereka, tetapi presiden menegaskan apa yang ia yakini terbaik bagi kepentingan Amerika Serikat. Dan mengingat hubungan khusus antara kedua negara kita, kami percaya bahwa itu penting," demikian komentar juru bicara Gedung Putih Josh Earnest.

Jajak pendapat terbaru menunjukkan, momentum untuk meninggalkan blok itu telah terhenti sejak pembunuhan Cox pada hari Kamis. Tapi banyak pemilih masih tetap ragu.

Imigrasi telah menjadi isu utama di antara para pemilih yang tidak nyaman dengan masyarakat multikultural yang meningkat di Inggris. Kekhawatiran itu diperparah oleh krisis migran tahun lalu dan gambar-gambar yang menunjukkan arus besar pengungsi dari Timur Tengah dan pendatang dari Afrika Utara.

Pendukung kampanye "Keluar" umumnya orang-orang tua yang peduli akan kedaulatan dan campur tangan yang melampaui batas oleh badan pemerintahan Uni Eropa yang wakil-wakilnya tidak dipilih secara langsung oleh rakyat Inggris. Banyak di antara mereka adalah pekerja kerah biru yang merasa gelombang imigran, termasuk populasi besar pekerja Uni Eropa dari Polandia, mengancam mata pencaharian mereka.

Sentimen itu dikobarkan oleh gerakan anti-imigran seperti yang dipimpin oleh Nigel Farage, seorang anggota parlemen ekstrem kanan dan pendukung Brexit yang kelompoknya, beberapa jam sebelum pembunuhan Cox, merilis sebuah poster kampanye yang menunjukkan ribuan migran dan pengungsi menunggu di perbatasan Uni Eropa dengan kata-kata "Breaking Point."

Para pengecam, termasuk Menteri Keuangan yang konservatif George Osborne, mengatakan poster itu mirip propaganda xenofobia yang dikeluarkan oleh Nazi Jerman pada tahun 1930-an.

Setelah melihat poster itu, mantan ketua Partai Konservatif yang berkuasa di Inggris mengakhiri dukungannya untuk meninggalkan Uni Eropa, demikian dilaporkan Senin (20/6).

Sayeeda Warsi, putri imigran Pakistan dan perempuan Muslim pertama yang memimpin Partai Konservatif, mengatakan, "Kebencian dan xenofobia" yang digambarkan dalam poster itu menyebabkan dia mengubah sikapnya mengenai Brexit, mengatakan kepada surat kabar Times, "Saya tidak bisa lagi mendukung ini. "

Keputusan Warsi tampaknya mencerminkan sikap pemilih yang masih ragu yang mengambil bagian dalam jajak pendapat oleh perusahaan Andrew Hawkins '. "Ini tampaknya mengkonfirmasi kecurigaan mereka bahwa kampanye semakin jahat, bahwa kita semua harus kembali dan melihat kenyataan dan mengabaikan suasana kampanye dan membuat keputusan berdasarkan fakta," kata Hawkins. [as/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG