Tautan-tautan Akses

Aung San Suu Kyi Tak Hadir dalam Pertemuan Global tentang Rohingya


Pemimpin pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi berpidato dalam upacara Hari Kebebasan Pers Dunia di Yangon (3/5). (Reuters/Soe Zeya Tun)
Pemimpin pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi berpidato dalam upacara Hari Kebebasan Pers Dunia di Yangon (3/5). (Reuters/Soe Zeya Tun)

Salah satu dari penyelenggara acara tersebut mengatakan memang tidak pernah ada rencana untuk mengundang Suu Kyi atau memintanya memberikan pernyataan lewat video.

Sebuah pertemuan internasional mengenai penderitaan Muslim Rohingya yang dianiaya di Myanmar menampilkan pembicara-pembicara ternama, tiga di antaranya peraih Nobel yang menyerukan dunia agar menyadari adanya tragedi tersebut.

Namun sesama pemenang Nobel dan ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi tidak akan ada di antara mereka. Ia tidak diundang.

Saat ia menjadi tahanan rumah selama 15 tahun, Suu Kyi mengundang rasa kagum dari seluruh dunia karena pidatonya yang berapi-api dan kritikan tajam terhadap rezim militer yang menguasai Myanmar.

Setelah ia dibebaskan pada 2010, ketika jenderal-jenderal penguasa mengalihkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil, ia mendapatkan kursi di parlemen.

Suu Kyi yang berusia 69 tahun itu mengatakan ia seorang politisi dan tidak pernah berniat menjadi pahlawan hak asasi manusia. Para pengkritik mengatakan ia berhati-hati memilih isu mana yang ia tentang, sebagian karena ia memiliki ambisi menjadi presiden.

Di negara mayoritas pemeluk Budha berpenduduk 50 juta orang yang bermusuhan dengan 1,3 juta Muslim Rohingya, Suu Kyi telah memilih tetap diam, bahkan saat dunia melihat dengan ngeri ketika lebih dari 3.500 pengungsi Rohingya dan migran Bangladesh yang kelaparan dan dehidrasi terdampar di Malaysia, Indonesia dan Thailand bulan ini.

Pertemuan internasional di Lembaga Nobel di Oslo, Norwegia, Selasa (26/5) akan menampilkan pernyataan-pernyataan lewat video dari para pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Desmond Tutu, José Ramos-Horta dan Mairead Maguire. Yang lainnya, seperti filantropis George Soros, yang melarikan diri dari Hungaria yang dikuasai Nazi, dan mantan perdana menteri Norwegia Kjell Magne Bondevik, juga akan berbicara.

Mereka fokus pada cara-cara konkret untuk mengakhiri penyiksaan selama berpuluh tahun atas orang Rohingya, dan perlunya angkat suara.

“Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, Anda telah berpihak pada penindas,” ujar Tutu, yang meraih Nobel pada 1984 atas perlawanannya terhadap rezim aparteid yang brutal di Afrika Selatan, dalam pernyataan lewat video.

“Jika seekor gajah menginjak ekor tikus dan Anda mengatakan Anda netral, tikus tersebut tidak akan menghargai netralitas Anda.”

Transisi Myanmar dari kediktatoran menjadi demokrasi tidak mulus. Meski ada euforia mengenai reformasi politik, kebebasan berekspresi mengangkat kebencian terhadap minoritas Rohingya.

Dipanas-panasi oleh para biksu radikal, preman-preman bersenjatakan golok merambah jalanan pada 2012, membunuh sampai 280 orang dan memaksa 140.000 lainnya tinggal dalam kamp-kamp yang padat dan kotor. Mereka hampir tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak, serta tidak dapat bergerak bebas, harus membayar sogokan besar jika ingin melewati barikade polisi, bahkan untuk keadaan darurat.

Pemerintah Myanmar bersikeras mereka adalah migran-migran ilegal dari Bangladesh dan menolak memberikan kewarganegaraan, menambah keputusasaan yang memicu eksodus sekitar 100.000 orang Rohingya dalam tiga tahun terakhir. Pihak berwenang menolak mengidentifikasi mereka sebagai “Rohingya” dan menyebut mereka “Bengali”. Suu Kyi juga menghindari istilah tersebut dan biasanya menyebut mereka sebagai “Muslim.”

Laman untuk konferensi tiga hari di Oslo mengatakan putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, mendiang Aung San, itu memiliki sentimen “anti-Rohingya” yang sama dengan sebagian besar populasi, sesuatu yang telah ia sangkal, namun tidak secara menggebu-gebu. Aase Sand dari Komite Burma Norwegia, salah satu dari penyelenggara acara tersebut, mengatakan memang tidak pernah ada rencana untuk mengundang Suu Kyi atau memintanya memberikan pernyataan lewat video.

Suu Kyi dalam dua tahun terakhir telah secara aktif berkampanye untuk mengubah konstitusi yang melarangnya mengikuti pemilihan presiden karena ia menikah dengan orang asing. Pemilu dijadwalkan berlangsung akhir tahun ini, dan pemimpin oposisi lulusan Oxford itu sadar ia tidak akan maju dalam kontes tersebut. Namun partainya, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi akan maju, dan diperkirakan akan menang besar.

Suu Kyi telah berhati-hati untuk tidak membuat marah militer, yang masih memiliki kekuatan politik besar, dengan seperempat kursi di parlemen dan hak veto atas perubahan-perubahan konstitusional. Ia juga sadar bahwa dirinya, dan partainya, berisiko dikecam publik jika berbicara membela Rohingya.

Suu Kyi, yang termasuk elit Budha Myanmar, kesal jika media asing atau aktivis-aktivis hak asasi manusia bertanya mengapa ia sejauh ini tidak mengecam kefanatikan agama di Myanmar, apakah itu terhadap Rohingya atau umat Kristen dari minoritas-minoritas Chin dan Kachin, yang juga menghadapi ancaman, intimidasi dan diskriminasi sejak lama.

Ia tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari kantor berita The Associated Press, namun menekankan kembali posisinya dalam wawancara dengan The Globe and Mail dari Kanada bulan lalu bahwa masalah-masalah di negara bagian Rakhine, tempat hampir semua orang Rohingya tinggal, didasari oleh ketakutan dan persepsi sebagai minoritas.

Masyarakat Rohingya merasa terancam oleh umat Budha di Rakhine, sementara umat Budha takut Muslim di seluruh dunia akan mendukung Rohingya.

“Mereka yang mengkritik saya karena tidak mengutuk satu pihak atau yang lainnya, mereka tidak pernah mengatakan apa yang sebenarnya mereka harapkan dari pengecaman seperti itu,” ujarnya pada surat kabar tersebut.

“Jika hanya mengambil sikap moral supaya terdengar bagus, kedengarannya kurang bertanggung jawab.”

XS
SM
MD
LG