Tautan-tautan Akses

Akademisi Dorong Edukasi Kebebasan Pers untuk Pejabat


Para wartawan menggunakan topeng saat mengikuti pawai tahunan Hari Buruh Internasional atau May Day dekat Monas, Jakarta, Indonesia, 1 Mei 2019.
Para wartawan menggunakan topeng saat mengikuti pawai tahunan Hari Buruh Internasional atau May Day dekat Monas, Jakarta, Indonesia, 1 Mei 2019.

Hari Pers Internasional 3 Mei ditandai dengan terus terjadinya kekerasan terhadap wartawan di Indonesia

Sejumlah kekerasan dan upaya menghalang-halangi wartawan masih ditemukan dalam beberapa tahun terakhir. Tindakan ini terutama dilakukan oleh pejabat pemerintah dan masyarakat umum.

Kondisi ini, menurut akademisi komunikasi Universitas Paramadina, Malik Gismar, disebabkan kurangnya kesadaran akan kemerdekaan pers.

“Kadang-kadang ada juga itu terjadi karena tidak aware. Baik pejabat, aparat masyarakatnya, tidak aware (sadar.red) bahwa ini sebetulnya melanggar. Ini sudah abuse. Kadang mereka pikir ini lazim saja, hal yang biasa saja,” ujarnya usai diskusi peran media dalam demokrasi di Paramadina Graduate School, Palmerah, Jakarta, Kamis (2/5) siang.

Sejumlah jurnalis mengangkat poster dalam aksi Hari Buruh di Bandung, 1 Mei 2019. Dalam aksinya, mereka menuntut kesejahteraan wartawan dan penghapusan kekerasan terhadap awak media. (Foto: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung)
Sejumlah jurnalis mengangkat poster dalam aksi Hari Buruh di Bandung, 1 Mei 2019. Dalam aksinya, mereka menuntut kesejahteraan wartawan dan penghapusan kekerasan terhadap awak media. (Foto: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung)

Malik mencontohkan, aparat yang tengah mengamankan demonstrasi bisa saja merasa stres. Akibatnya, bisa menumpahkan amarahnya kepada wartawan. Karena itu, ujarnya, wartawan juga harus berhati-hati.

Management of demo itu kan stressful juga. Juga perlu kompetisi yang tinggi untuk tetap cool sehingga tidak memukul wartawan. Dari sisi wartawannya juga sendiri, menurut saya, harus pandai-pandai tahu jarak. Ini saya sudah intruding terlalu besar atau tidak,” tambahnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam laporannya mengungkap, kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Dalam kurun 2006-2014, kasusnya naik turun dengan rata-rata 50 kasus per tahun. Kekerasan terhadap wartawan tercatat dilakukan oleh antara lain pejabat publik, tentara, dan kelompok agama garis keras.

Terbaru, dua jurnalis di Bandung, Jawa Barat, diduga jadi korban intimidasi aparat saat meliput demo Hari Buruh.

Sementara Reporters Without Borders (RSF), organisasi yang mendorong kebebasan pers di dunia, April lalu mengeluarkan laporan tahunan dan indeks kebebasan pers dunia. Indonesia, secara mengejutkan tetap berada di peringkat ke-124, yang berarti stagnan atau tidak ada kemajuan sama sekali dibanding 2018 lalu.

Diskusi peran media dalam demokrasi di Paramadina Graduate School di Jakarta turut mengetengahkan mandeknya kebebasan pers di Indonesia, Kamis, 2 Mei 2019. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)
Diskusi peran media dalam demokrasi di Paramadina Graduate School di Jakarta turut mengetengahkan mandeknya kebebasan pers di Indonesia, Kamis, 2 Mei 2019. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Guna memperbaiki situasi, Malik mendorong edukasi kepada aparat terkait hak-hak jurnalis.

“Kompetensi aparat yang tidak tahu, tidak bisa manage demo, sehingga luber menjadi kekerasan, berarti memang harus dijawab dengan apakah itu training atau apa,” tambah dia lagi.

Atasi Kekerasan Terhadap Wartawan, Akademisi Dorong "Training Pejabat" Soal Kebebasan Pers
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:49 0:00

Di sisi lain, ada pula pihak yang sengaja ingin membungkam kemerdekaan pers. Untuk memperbaiki ini, ujar Malik, perlu perubahan di taraf regulasi: melindungi jurnalis secara lebih baik.

“Persoalan politik itu apa pula jawabannya? Yang kayak gitu harus didiskusikan secara serius dan tuntas dan keluar sebagai policy. Yang harus ada kan itu (policy). Kalau tidak ada policy-nya kan ya terus keluar terus (kekerasan),” terangnya. [rt/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG