Tautan-tautan Akses

Ahli Dorong ASEAN Percepat Transisi Energi untuk Atasi Dampak Perubahan Iklim


Burung-burung terbang pada pagi hari di Jakarta yang diselimuti asap polusi, 27 Mei 2022. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Burung-burung terbang pada pagi hari di Jakarta yang diselimuti asap polusi, 27 Mei 2022. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Perubahan iklim menjadi ancaman serius di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah ahli menilai negara-negara anggota ASEAN harus mengambil langkah bersama untuk memulai transisi energi sedini mungkin dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

Cuaca ekstrem yang mendera sejumlah wilayah Asia Tenggara belakangan ini merupakan alarm di mana negara-negara di kawasan ini harus bersiap untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim yang semakin nyata terlihat, ujar para ahli.

Dalam diskusi di Jakarta pada Selasa (15/8), Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi negara-negara ASEAN. Selama dua dekade terakhir, kawasan Asia Tenggara mengalami kenaikan intensitas dan frekuensi cucara ekstrem, seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, dan badai tropis.

"Diperkirakan kalau tidak ada upaya serius untuk memangkas emisi global dan mengurangi dampak perubahan iklim, maka kawasan ASEAN akan terdampak lebih besar lagi. Sejumlah kajian menunjukkan dampak yang dirasakan oleh negara-negara di Asia Tenggara itu lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata global," kata Fabby.

Penurunan emisi gas rumah kaca untuk mencegah dampak krisis iklim yang lebih buruk yang merupakan agenda global mutlak menjadi prioritas utama negara-negara ASEAN, ungkap Fabby.

Langkah tersebut harus segera diambil agar sejumlah sektor seperti ketahanan pangan, ketahanan energi, serta pembangunan di kawasan Asia Tenggara dapat terus terjaga. Namun, sayangnya kesadaran para negara-negara di Asia Tenggara untuk segera memulai proses transisi energi dengan meninggalkan energi fosil masih jauh dari realisasi.

Kebakaran lahan dan hutan di Kubu Raya, dekat Pontianak, Kalimantan Barat, 25 Agustus 2016. (Foto: Jessica Helena Wuysang/Antara Foto via Reuters)
Kebakaran lahan dan hutan di Kubu Raya, dekat Pontianak, Kalimantan Barat, 25 Agustus 2016. (Foto: Jessica Helena Wuysang/Antara Foto via Reuters)

Fabby menjelaskan dilihat dari rencana saat ini, para anggota ASEAN masih memilih untuk meningkatkan produksi energi fosil. Sebanyak delapan dari 10 negara ASEAN sudah memiliki target nihil gas emisi karbon paling cepat 2050 dan paling lambat di 2065, yang dicanangkan oleh Thailand.

Upaya untuk mencapai target pengurangan emisi tersebut, lanjutnya, harus diwujudkan ASEAN dengan memulai mengoptimalkan sumber-sumber daya lain untuk pengganti gas alam.

“Pada 2030 harus ada penurunan 64 persen penggunaan batubara dan 75 persen di 2050. Cara lain adalah penggunaan gas alam. Setengah dari total konsumsi gas alam di Asia Tenggara adalah untuk pembangkit listrik, 30-40 persen untuk industri, dan sisanya untuk penggunaan lain. Namun ASEAN terancam impor gas pada 2035 dan ini bisa mengancam ketahanan energi Asia Tenggara,” ujarnya.

Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Kementerian Luar Negeri, Berlianto Pandapotan Hasudungan, menjelaskan perubahan iklim menjadi tantangan dalam pertumbuhan dan pemulihan ekonomi di Asia Tenggara pasca pandemi COVID-19.

Berlianto mengatakan pemerintah telah menjalankan sejumlah upaya dalam transisi energi, salah satunya dengan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.

"Karena energi merupakan pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan terhadap minyak saat ini perlu diatasi dengan transisi energi. Untuk itu, Indonesia sudah mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik di ASEAN sebagai salah satu prioritas penting keketuaannya," ujarnya.

Bendera Malaysia berkibar di bawa Menara KL di Kuala Lumpur, Malaysia, yang diselimuti kabut asap kebakaran hutan di Indonesia, 18 September, 2019. (Foto: Vincent Thian/AP Photo)
Bendera Malaysia berkibar di bawa Menara KL di Kuala Lumpur, Malaysia, yang diselimuti kabut asap kebakaran hutan di Indonesia, 18 September, 2019. (Foto: Vincent Thian/AP Photo)

Pengembangan ekosistem kendaraan listrik tersebut kata Berlianto akan didukung oleh tiga negara mitra ASEAN, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan. ASEAN juga sedang mengembangkan interkoneksi energi antar negara anggotanya melalui proyek infrastruktur energi lintas batas.

Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta Dr. Hartanto menjelaskan masalah transisi energi harus menjadi perhatian utama Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini. Dia menambahkan ASEAN harus mengembangkan ekonomi dengan perspektif menjaga lingkungan alam.

"Kekuatan ASEAN (adalah) kita punya keanekaragaman budaya dan sumber daya alam yang kaya. Kemudian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pasar bagi negara berkembang, [serta] adanya peningkatan komitmen politik terhadap keberlanjutan, terkait juga dengan transisi energi, di mana transisi energi akan mendukung pembangunan berkelanjutan," tutur Hartanto.

Ahli Dorong ASEAN Percepat Transisi Energi untuk Atasi Dampak Perubahan Iklim
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:00 0:00

Terkait transisi energi, Hartanto mengatakan Indonesia perlu mendorong pengimplementasian dari ekonomi ramah lingkungan atau ekonomi hijau. Hartanto mengakui investasi dan biaya yang besar menjadi tantangan dalam pelaksanaan ekonomi hijau di kawasan ASEAN.

“Terkait peluang dan tantangan dalam pelaksanaan ekonomi hijau tersebut, Indonesia harus memperkuat mekanisme dan kerangka kerjasama regional. Indonesia harus bisa mempromosikan praktek-praktek berkelanjutan dan inovasi dalam industri yang sedang berkembang,” pungkasnya. [fw/rs]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG