Tautan-tautan Akses

Advokat: Draf Perjanjian Kejahatan Siber Global Mengkhawatirkan


Foto ilustrasi yang menunjukkan seseorang menggunakan ponsel pintar dan telepon genggam bersamaan. (Foto: AFP/Issouf Sanogo)
Foto ilustrasi yang menunjukkan seseorang menggunakan ponsel pintar dan telepon genggam bersamaan. (Foto: AFP/Issouf Sanogo)

Perjanjian kejahatan siber global yang mendapat dukungan berbagai negara, termasuk Rusia, China, dan Venezuela membuat khawatir sejumlah negara demokrasi dan organisasi kebebasan sipil.

Sejumlah negara dengan kepimpinan yang otoriter yang memiliki catatan hak asasi manusia dan kebebasan pers yang buruk, adalah pendukung awal dari perjanjian global PBB tersebut. Poin terakhir perjanjian itu akan dirundingkan di New York pada Agustus mendatang.

Perjanjian yang pertama kali disarankan Rusia pada 2017 itu dimaksudkan untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kejahatan siber. Perjanjian tersebut dapat menjadi landasan bagi negara-negara anggota untuk memperkenalkan undang-undang baru.

Tujuan perjanjian itu adalah memerangi kejahatan siber global. Tetapi Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menyoroti beberapa isu, di antaranya bahwa perjanjian itu memungkinkan negara melakukan pengawasan dan penyensoran dengan kedok memerangi kejahatan siber.

Sekilas, perjanjian internasional tentang kejahatan siber mungkin tampak seperti ide bagus, kata Barbora Bukovská dari organisasi kebebasan berpendapat, Article 19.

“Namun perjanjian ini lebih dari sekadar untuk memerangi penipuan online, serangan siber dan kejahatan lainnya yang dilakukan melalui teknologi digital,” ujar Bukovská. “Draf ini mengikuti tren undang-undang kejahatan siber yang digunakan untuk menyerang kebebasan berpendapat, merongrong privasi, dan mengendalikan aktivitas online kita yang sah.”

“Perjanjian itu juga memiliki konsekuensi nyata bagi jurnalis, pengkritik, pembela hak asasi manusia, dan masyarakat sipil,” tambah pakar yang berbasis di London itu.

Rancangan perjanjian itu tidak memiliki perlindungan HAM dan akan memberi negara kewenangan luas untuk mengawasi yang bisa digunakan untuk menarget wartawan dan suara oposisi, kata para pakar.

Komite ad hoc yang bertugas menyusun konvensi tersebut, yang terdiri dari beberapa negara, mencakup Amerika Serikat, Rusia, dan China, tidak membalas email VOA yang meminta komentar untuk berita ini. [ka/lt]

Forum

XS
SM
MD
LG