Tautan-tautan Akses

DUA BELAS HARI NATAL  DI ASIA - 2003-12-30


Hari Natal dirayakan secara besar-besaran di Amerika Serikat. Orang-orang atheis pun merayakannya dengan bersemangat seperti umat Kristen. Meskipun banyak orang Amerika memandang Hari Natal sebagai saat untuk memusatkan perhatian pada peristiwa kelahiran Yesus Kristus, tetapi hampir setiap orang menganggapnya sebagai musim untuk banyak berbelanja. Tidaklah mengherankan kalau Hari Natal juga merupakan peristiwa besar di Asia.

"Saya pernah berada di Asia selama tujuh musim perayaan Natal, yaitu di Singapura, Thailand, dan Sri Lanka, sekali di Korea, dan selebihnya di Amerika Serikat. Setiap pengalaman perayaan Hari Natal mempunyai keistimewaan sendiri. Setiap pengalaman itu berbeda dari pengalaman perayaan Hari Natal di Amerika, dan masing-masing saling berbeda pula.

Selain kegembiraan yang saya alami ketika melihat adanya salju tiruan di etalase-etalase berbagai toserba di Bangkok, perayaan Natal yang saya alami di Asia sangat berbeda dengan yang saya alami di Amerika.

Pertama, cuaca tropis di Asia selalu panas, sangat panas. Berenang di udara terbuka pada Hari Natal menyenangkan, tetapi agak kurang tepat. Belum lagi yang terjadi di Singapura, ketika saya membagi-bagikan hadiah Natal di luar sebuah Sekolah Taman Kanak-Kanak, saya kepanasan mengenakan pakaian Santa Claus.

Di Amerika, pada Hari Natal mestinya dingin, sangat dingin, dan salju turun di mana-mana, seperti di Korea. Sebenarnya, saya jarang melihat salju pada musim Perayaan Natal di Amerika. Namun, gagasan mengenai salju melebihi kenyataan, dan karena itu lagu yang dinyanyikan Bing Crosby "I'm Dreaming of a White Christmas" merupakan salah satu rekaman lagu terlaris di Amerika.

Kedua, meskipun Perayaan Hari Natal itu merupakan peristiwa keagamaan di Amerika, namun tidak demikian halnya di Asia. Di negara-negara Asia, di mana saya merayakan Perayaan Natal waktu itu, hanya sekitar seperdua-belas penduduk di sana yang beragama Nasrani.

Karena Hari Natal demikian penting bagi pemeluk agama Nasrani untuk menguatkan kepercayaan mereka, merayakannya sebagai golongan minoritas memberikan arti khusus pada peristiwa itu. Keluarga Cina tetangga saya di Singapura menghadiri upacara misa tengah malam menjelang Hari Natal, dan kemudian menyanyikan lagu-lagu Natal dalam Bahasa Mandarin kira-kira pada pukul tiga pagi setiap tahun.

Ketiga, Perayaan Natal di Amerika tidak mencerminkan kebiasaan zaman kolonial seperti di banyak daerah Asia. Menurut tradisi Inggris, banyak warga masyarakat Kristen Singapura dan Sri Lanka saling memberikan hadiah Natal, pada tanggal 26 Desember, yang dikenal sebagai "Boxing Day". Dengan demikian memberikan banyak waktu bagi gereja dan keluarga untuk merayakan Natal. Seorang perempuan mengatakan kepada saya betapa dia terganggu di Amerika, ketika pada Hari Natal dia harus menggunakan waktunya untuk membuka bungkusan-bungkusan hadiah Natal satu per satu.

Apa persamaannya? Jelas, di sebagian besar negara Asia Hari Natal telah menjadi bagian dari kegiatan pada akhir tahun, demikian pula di Amerika. Di Jepang, banyak orang memasang pohon-pohon Natal, toko-toko serba-ada memainkan lagu-lagu Natal, dan banyak orang saling memberikan hadiah Natal. "Masyarakat Jepang cenderung mengubah berbagai hal dari luar negeri menjadi sesuatu yang khas Jepang," demikian tulis seorang wartawan Jepang.

Thailand juga merayakan Hari Natal secara terbuka, meskipun 95 persen penduduknya beragama Budha. "Kami merayakan Hari Natal", kata seorang Thailand, "karena rakyat Thailand ingin bergembira dan masyarakat kami terbuka, dan bertoleransi terhadap agama-agama lain."

Cina mengakui Hari Natal "dengan semangat yang semakin besar" kata seorang pengamat. Masyarakat Kristiani telah bertambah jutaan dalam 20 tahun ini. Cina juga beruntung dengan menjadi negara produsen terbesar di dunia dengan paling banyak memproduksi mainan anak-anak untuk Natal. Ekspor produk Cina untuk Perayaan Hari Natal dalam tahun 2003 bernilai 1,5 milyar dolar.

Satu sebab mengapa Hari Natal demikian besar dampaknya di seluruh dunia, adalah karena lambangnya tetap sama, meskipun masing-masing budaya di dunia mempunyai cara-cara sendiri yang unik untuk menyatakan perasaan mereka pada Hari Natal.

Dalam konser Perayaan Natal di Gedung Kesenian Kennedy Center Washington, D.C. baru-baru ini, di mana Orkes Simfoni Nasional Irak mengadakan pertunjukan, yang karcisnya terjual habis, para penonton juga diajak menyanyi bersama paduan suara Inggris yang sangat populer, "The 12 Days of Christmas".

Tetapi Pemimpin Orkes, mengubah syair kata-katanya. Dia menggunakan versi Australia. Dalam penyajian yang lebih tradisional, paduan suara mulai menyanyikan "On the First Day of Christmas, my true love gave to me, a partridge in a pear tree." Versi Australia bagian terakhir berbunyi, -- “akookaburra in a gum tree." Selanjutnya lagu itu menyebut hewan-hewan Australia --kangguru, dingo, lyrebird, wombat. Semuanya merupakan bagian rangkaian untuk membuat Perayaan Hari Natal tampak nyata, di manapun orang merayakannya.

Yang paling menarik sebagai warga Amerika yang mempunyai perhatian terhadap Asia adalah, begitu musim perayaan Natal mulai mereda, keluarga saya sudah mulai mengalihkan perhatian pada peristiwa besar tahun depan, yaitu Peringatan Tahun Baru Imlek, yang jatuh pada tanggal 22 Januari 2004.

Diterjemahkan oleh Purwati Soeprapto

XS
SM
MD
LG