Kota Cancun di Mexico adalah tempat peristirahatan populer di tepi laut, di mana matahari bersinar terang, dengan pasir pantainya dan tempat berselancar. Pekan lalu, Cancun juga menjadi ajang Pertemuan Puncak 5 hari World Trade Organization, WTO atau Organisasi Perdagangan Sedunia, yang dimulai dengan perdebatan sengit dan terus berlangsung demikian sampai berakhir berantakan pada hari Minggu, 14 September 2003.
WTO, yang sekarang terdiri dari 148 negara dengan diterimanya Kamboja dan Nepal sebagai anggota-anggota baru pekan lalu, dibentuk 9 tahun yang lalu untuk membantu mengurangi hambatan perdagangan di seluruh dunia. Tujuan WTO adalah untuk membantu negara-negara kaya dan juga negara-negara miskin guna meningkatkan taraf kehidupan mereka melalui perdagangan.
Memang mudah mengatakannya, namun sulit melaksanakannya. Cancun, yang dalam dialek lokal Maya artinya "Snakepit" atau "liang ular", pekan lalu menunjukkan betapa sulitnya usaha untuk tetap mewujudkan perdamaian antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Kedua pihak mungkin memiliki tujuan yang sama, tetapi pokok pandangan mereka kadang-kadang terlalu jauh berbeda. Kesenjangan itulah yang mengakibatkan gagalnya pembicaraan perdagangan di Cancun tersebut.
Yang terjadi sekarang, pihak satu saling menyalahkan pihak lain. Kata Menteri Urusan perdagangan dan Pembangunan Internasional Malaysia, Rafidah Aziz, " Kalau mereka tidak mendengarkan berbagai kesulitan yang kami hadapi dalam memenuhi sebagian dari tuntutan mereka, maka demikianlah yang terjadi".
Wakil Perdagangan Amerika Serikat Robert Zoellick, menyatakan kekecewaan: "Terlalu banyak orang menghabiskan waktu untuk berceramah, tetapi tidak berunding." Dua surat kabar utama Amerika mengemukakan dua pandangan yang saling berlainan. Washington Post menyayangkan gagalnya perundingan yang disebabkan oleh tidak bisa dicapainya terobosan untuk menembus kemacetan itu. Harian itu selanjutnya mengatakan bahwa semua pihak: negara-negara kaya, negara-negara miskin, dan negara-negara yang tingkatnya diantara kaya dan miskin, semuanya turut bertanggungjawab atas kegagalan itu. Namun, sebagian terbesar kegagalan itu disebabkan oleh negara-negara berkembang yang " bahkan tidak mau merundingkan " beberapa peraturan baru WTO sebagai imbalan atas pengurangan subsidi pertanian di negara-negara kaya."
Surat kabar New York Times memberikan pandangan lain. "Jepang dan negara-negara Eropa sebelumnya telah merencanakan usaha yang sulit ditempuh dan tidak perlu untuk memperluas mandat WTO sebagai cara guna mengelakkan lobi pertanian mereka yang sangat berpengaruh."
Itulah yang menjadi inti masalahnya. Negara-negara kaya memberi subsidi pertanian sebesar 300 milyar dolar setahun. Itu lebih besar dari penghasilan kotor negara-negara di sub-Sahara. Negara-negara berkembang mengemukakan bahwa praktek itu menyebabkan pasar negara berkembang dibanjiri dengan produk-produk yang murah, yang merugikan pertanian lokal mereka dan menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan.
Yang lebih penting, negara-negara berkembang pergi ke Cancun dengan harapan dapat merundingkan dikuranginya subsidi pertanian dan tarif atau bea-cukai. Negara-negara Uni Eropa dan Jepang khususnya, demikian juga Amerika, terus berusaha untuk mendesakkan agenda yang terpisah, yang dikenal sebagai "Isu-isu Singapura", dicetuskan pertama kali pada pertemuan WTO di Singapura tahun 1996. Mereka mengusahakan, antara lain, kesempatan bagi masuknya investasi asing dan akses yang lebih besar bagi barang-barang ke pasar lokal mereka.
Bentrokan fundamental antara kedua pendirian itulah yang menggagalkan perundingan Cancun. Amerika berpendapat bahwa mestinya dapat dilakukan usaha untuk mencegah kegagalan itu. Banyak negara berkembang berpendapat sebaliknya. Richard Bernal, perunding utama bagi kelompok Karibia, mengatakan lewat siaran televisi nasional pekan lalu, bahwa dia menyesalkan kegagalan perundingan itu. "Tetapi tidak dicapainya persetujuan masih lebih baik daripada dicapai perjanjian yang tidak baik".
Dengan berakhirnya perundingan Cancun, perundingan-perundingan akan mengendor, tetapi tidak berhenti, sampai pertemuan WTO mendatang.
Sementara itu, Perundingan Cancun akan paling dikenang sebagai saat matangnya yang disebut "G21", kelompok yang relatif baru dan terdiri dari negara-negara berkembang yang kuat, yang mencakup lebih dari separuh jumlah penduduk dunia. Kelompok tadi, yang sekarang anggotanya berjumlah 23 negara dan akan terus bertambah, dipimpin oleh Cina, Brazil dan India. Negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia, Thailand dan Filipina. Negara-negara itu, yang memiliki kekuatan besar pula dalam perundingan di Cancun, juga turut bertanggung-jawab karena mendukung negara-negara miskin dalam menentang negara-negara kaya.
Dalam perundingan di Cancun mereka berusaha keras dengan segala kemampuan. Kata Menteri Perdagangan Australia pekan lalu "Munculnya kelompok "G21" menciptakan perubahan yang sangat signifikan di WTO yang dinamis."
Semuanya itu mungkin akan merupakan peristiwa yang bersejarah dalam pembicaraan ekonomi internasional.
Diterjemahkan oleh Purwati Soeprapto