Tautan-tautan Akses

Protes Anti Perang - 2002-12-13


INTRODUCTION: Baru-baru ini harian Washington Post yang terbit di ibukota Amerika menurunkan laporan, mengatakan bahwa gerakan anti perang di Amerika sedang memperoleh momentum. Paling sedikit dua demonstrasi besar anti perang telah berlangsung di Washington.

Ratusan demonstran dengan tidak mempedulikan temperatur di bawah titik beku melakukan gerak-jalan di tengah kota Washington, termasuk melewati Gedung Putih untuk menyatakan sikap mereka yang anti perang, termasuk kemungkinan perang dengan Irak. Demonstrasi hari Selasa itu diorganisir oleh kelompok-kelompok Kristen, termasuk dari sekte Quaker dan Unitarian. Mereka meneriakkan slogan-slogan:

Mereka meneriakkan: “Mari berdemonstrasi – Peace, Salaam, Shalom, Ke Gedung Putih, Peace, Salaam, Shalom!” Peace, salaam, shalom, artinya damai dalam Bhs Inggris, Arab dan Ibrani.

Unjuk rasa seperti ini semakin banyak terlihat sekarang ini di berbagai kota di Amerika. Harian Washington Post malah melaporkan, gerakan anti perang sekarang sedang memperoleh momentum. Beberapa organisasi telah melakukan kegiatan untuk menentang setiap bentuk perang, termasuk kemungkinan perang terhadap Irak. Organisasi-organisasi besar seperti organisasi buruh AFL-CIO yang mempunyai kurang lebih 13 juta anggota, Dewan Gereja Nasional dengan 50 juta anggota dan Konferensi Nasional Uskup-uskup Katholik yang memimpin 65 juta penganut Katholik Roma, seperti dilaporkan harian Washington Post, sekarang terus mengorganisir gerakan anti perang itu.

Salah seorang yang mengorganisir aksi unjuk rasa hari Selasa itu adalah Pat Elder dari kelompok gereja Unitarian, berusia 47 tahun. Ia mengakui bahwa jumlah peserta kali ini tidak sebesar yang diadakan bulan Oktober yang lalu, yang sampai mencapai 100,000 orang. Meskipun demikian Elder tidak berkecil hati. Ia mengatakan, meskipun jumlahnya cuma mungkin seribu orang, tetapi karena demonstrasi ini diadakan di berbagai kota di Amerika, maka hal itu sudah cukup untuk menyampaikan pesan anti-perang. Katanya:

Kalau Anda dapat mengumpulkan 100-ribu orang – dan 100-ribu orang itu betul-betul melakukan unjuk-rasa, berdoa dan membulatkan tekad di berbagai kota di seluruh Amerika – dan Anda mengumpulkan 100-ribu orang , katakanlah, di 100 kota – mungkin 1000 orang di tiap kota—maka bagi saya, itu sudah cukup untuk menunjukkan sikap dari kalangan bawah.

Unjuk rasa memang tidak selalu dilakukan oleh orang-orang dalam jumlah besar. Pada hari Selasa itu pula, misalnya, 20 orang melakukan unjuk rasa lain di depan sebuah kantor Perekrutan Tentara Amerika di Washington. Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam kelompok yang menamakan diri “Recruiters for Peace and Justice” dengan hingar bingar meneriakkan semboyan-semboyan seperti:

Mereka meneriakkan: “uang untuk pekerjaan dan pendidikan, bukan untuk perang dan pendudukan.” Enam orang ditahan karena menghalangi pintu masuk ke gedung itu, tetapi tidak lama kemudian dibebaskan.

Di Chicago, polisi menahan kurang lebih 20 orang juga karena menghalangi pintu masuk ke gedung pemerintah. Mereka adalah bagian dari sebuah demonstrasi kecil-kecilan di luar gedung pemerintah federal di tengah kota Chicago.

Di California, Pat Driscoll, berumur 50 tahun, ketua organisasi “Veteran’s for Peace” cabang Sacramento menggambarkan unjuk rasa anti perang yang untuk pertama kalinya diadakan oleh kelompoknya pada hari yang juga merupakan hari Hak Asasi Manusia. Katanya:

Kurang lebih 50 orang yang ikut unjuk rasa ini. Ada pidato mengenai hak asasi manusia, karena hari ini Hari Hak Asasi Manusia Internasional, tetapi juga termasuk menentang perang dengan Irak. Dan sesudah pidato, sembilan orang – termasuk empat veteran— ditahan karena menghalangi pintu masuk gedung federal itu.

Driscoll mengatakan sembilan orang itu ditahan hanya sebentar, diberi surat peringatan dan kemudian dibebaskan. Organisasi-organisasi anti perang itu lahir, kadang-kadang secara tidak disengaja. Sebuah organisasi anti-perang bernama “Mothers Against War” misalnya, dibentuk ketika seorang ibu, Daphne Reed merayakan ulang tahun putri dan cucunya. Orang-orang tua yang hadir dalam perayaan ulang tahun itu berbicara tentang perang. Reed mulai cemas, cucunya, pria berumur 25 tahun, yang pernah menjadi pasukan pengawal pantai selama empat tahun, mungkin akan dipanggil kembaliuntuk tugas aktif kalau terjadi perang dengan Irak. Sebagai seorang ibu, ia juga memikirkan nasib ibu-ibu di Irak yang kemungkinan akan kehilangan suami dan putra-putranya. Reed mengatakan kepada harian Washington Post baru-baru ini, bahwa seorang ibu harus secara otomatis menentang perang, karena, menurut pendapatnya, perang berlawanan dengan sifat seorang ibu, yang membuat sesuatu tumbuh bukan mematikannya.

Karena itu, pensiunan dosen drama di Hampshire College itu kemudian menghubungi kurang lebih 15 orang tua, yang alamatnya tercatat dalam buku adresnya, lewat e-mail. Reed berhasil menghubungi orang seperti Elaine Kenseth, yang lima anaknya, termasuk seorang putra angkat dari Kamboja. Aileen O’Donell, seorang yang berpengalaman dalam gerakan kaum wanita. Joanne dan Roger Lind, yang putranya menolak dikirim berperang di Vietnam dulu, karena keyakinan agamanya. Dan Elizabeth Verrill, yang belum pernah terlibat dalam kegiatan politik. Dalam waktu singkat, “Mothers Against War” dapat mengumpulkan 50 anggota inti. Mereka mengatakan sekarang mempunyai ribuan pengikut di seluruh Amerika bahkan di negara-negara lain.

Begitulah, dari perayaan ulang tahun, seorang ibu mendapat ilham untuk melakukan sesuatu yang menurut keyakinannya perlu diperjuangkan, dengan mengumpulkan teman-temannya, kemudian menarik orang-orang lain, dan membentuk sebuah organisasi seperti disebut tadi. Ketika hari Selasa yang lalu Presiden George W. Bush diberitahu tentang demonstrasi anti perang itu , ia berkomentar, bahwa demonstrasi adalah bagian dari tradisi Amerika.

XS
SM
MD
LG