Tautan-tautan Akses

Menlu: Perlu Struktur Hukum Yang Kuat Untuk Hapus Praktek Penyiksaan


Pelaksanaan Konvensi PBB Anti-Penyiksaan di Indonesia membutuhkan jalan yang panjang. (Ilustrasi)
Pelaksanaan Konvensi PBB Anti-Penyiksaan di Indonesia membutuhkan jalan yang panjang. (Ilustrasi)

Pemerintah Indonesia sepakat mendorong upaya pencegahan atas penyiksaan dan perlakuan buruk lain yang memang telah menjadi prinsip penting dalam hukum internasional.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam sambutannya saat membuka seminar tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Penyiksaan secara virtual, Rabu (20/4), menegaskan prinsip penting dalam hukum internasional terkait pencegahan atas penyiksaan dan perlakuan buruk sebagaimana diatur dalam UN Convention Against Torture (Konvensi PBB Anti-Penyiksaan) CAT.

Menurutnya saat ini terdapat 173 negara yang telah menandatangani CAT dan sepertiga dari mereka merupakan negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Menlu Retno mengatakan ratifikasi merupakan permulaan untuk mengakhiri praktek penyiksaan, selain beragam mekanisme lainnya.

"Pertama, memperkuat struktur legal kita. Banyak negara sudah mengakui perlunya melarang penyiksaan dalam konstitusi mereka termasuk Indonesia. Kita perlu membuat infrastruktur hukum yang adil sebagai basis kuat untuk memerangi penyiksaan. Di saat yang sama, kita harus memastikan kapasitas para pejabat kita, sumber daya, dan kompensasi kepada para korban. Kemauan politik juga sangat penting untuk mewujudkan kata dan komitmen kita menjadi tindakan," kata Retno.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam konferensi pers di Istana Bogor, 9 Desember 2021. (Foto: Setpres RI)
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam konferensi pers di Istana Bogor, 9 Desember 2021. (Foto: Setpres RI)

Hal lain yang perlu dilakukan adalah memajukan pengembangan kapasitas untuk melawan penyiksaan. Setiap negara memiliki kapasitas dan tantangan berbeda untuk mencegah penyiksaan serta secara efektif melaksanakan Konvensi PBB Anti-Penyiksaan. Alhasil, tidak ada satu pun formula yang cocok bagi semua negara.

Selain itu, lanjut Retno, perlu diperluas keterlibatan para pemangku kepentingan yang terkait, termasuk lembaga-lembaga hak asasi manusia, lembaga-lembaga riset dan masyarakat sipil dalam upaya menghapus praktek penyiksaan. Mereka dapat memberi pemerintah masukan untuk meningkatkan upaya mencegah praktek penyiksaan.

Penasihat senior Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin menjelaskan pelaksanaan Konvensi PBB Anti-Penyiksaan di Indonesia membutuhkan jalan yang panjang karena salah satu syaratnya adalah harus menyesuaikan kerangka hukum, terkait dengan pasal penyiksaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dia menambahkan Indonesia sudah 15 tahun menandatangani CAT namun kemajuannya sangat lambat. Padahal pelapor khusus PBB soal penyiksaan sudah dua kali datang ke Indonesia pada 1990-an dan 2008.

"Bertahun-tahun revisi Undang-undang KUHP masih belum selesai. Malah kemudian muncul wacana sambil menunggu revisi KUHP selesai, buatlah satu undang-undang khusus, yaitu Undang-undang Antipenyiksaan. Tapi itu pun masih wacana belaka," ujar Refendi.

Dari segi pelaksanaan, sudah ada upaya dari beberapa penegak hukum seperti Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah membuat panduan-panduan untuk pelatihan soal pencegahaan penyiksaan. Selain itu ada juga Peraturan Kepala Polri tentang hak asasi manusia, yang didalamnya melarang adanya penyiksaan tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan dengan baik.

Dia mencontohkan pemasangan kamera pengawas di ruang-ruang interogasi dan penempatan petugas pengawas interogasi belum berjalan dengan baik. Refendi menegaskan masih banyak agenda yang harus dikerjakan dalam praktek penghapusan penyiksaan.

Menlu: Perlu Struktur Hukum Yang Kuat Untuk Hapus Praktek Penyiksaan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:55 0:00

Menurut Rafendi, penyiksaan berpotensi terjadi ketika polisi menangkap tersangka kasus kejahatan dan pada 2x24 jam pertama ketika ditahan. Itu merupakan periode yang sangat krusial dan perlu pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan.

Praktek penyiksaan juga kerap terjadi karena hukum acara pidana di Indonesia belum mengharamkan bahwa pengakuan sebagai alat bukti. Padahal pengakuan bisa muncul pula dari tersangka dengan cara menyiksa.

Menurut Refendi, di setiap polsek harus ada dan bahkan diperbanyak, fasilitas CCTV, dan menugaskan perwira dan bintara yang secara khusus melakukan pengawasan.[fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG