Tautan-tautan Akses

Vaksin Oxford-AstraZeneca Hadapi Kemunduran Baru


Seorang petugas medis di sebuah klinik di Jenin, Tepi Barat, membawa kotak berisi botol vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca, 22 Maret 2021.
Seorang petugas medis di sebuah klinik di Jenin, Tepi Barat, membawa kotak berisi botol vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca, 22 Maret 2021.

Hanya beberapa jam setelah AstraZeneca menyatakan uji coba tahap akhir vaksin COVID-19 produksinya membuktikan “100 persen keampuhannya terhadap penyakit yang parah atau kritis dan rawat inap,” sebuah badan pengawas penting pemerintah AS menyatakan keprihatinan mengenai informasi yang dilansir perusahaan farmasi tersebut.

Dewan Pemantau Data dan Keselamatan (DSMB) mengeluarkan pernyataan Selasa pagi bahwa perusahaan farmasi raksasa Inggris-Swedia itu “mungkin telah memasukkan informasi ketinggalan zaman” dari uji klinis tahap akhir, “yang mungkin telah memberi gambaran tidak lengkap mengenai data keampuhannya.”

AstraZeneca, Senin (23/3) menyatakan bahwa analisisnya mengenai keamanan dan keampuhan vaksinnya, yang dikembangkan bersama dengan Universitas Oxford Inggris, didasarkan pada lebih dari 30 ribu partisipan dalam uji coba di AS. Para peneliti di Oxford juga menyatakan vaksin itu 79 persen efektif mencegah munculnya gejala virus corona.

DSMB mendesak AstraZeneca agar bekerja sama dengannya untuk meninjau kembali data dan “memastikan data kemanjuran terbaru dan paling akurat disampaikan kepada publik secepat mungkin.”

Astra Zeneca COVID-19 Coronavirus Vaccine
Astra Zeneca COVID-19 Coronavirus Vaccine


Pernyataan dari dewan pakar independen itu merupakan kemunduran terbaru bagi vaksin Oxford-AstraZeneca, yang bermasalah dalam peluncurannya di seluruh dunia.

Beberapa negara Eropa baru-baru ini telah menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca karena beberapa laporan mengenai penggumpalan darah pada penerimanya. Afrika Selatan menghentikan penggunaan vaksin itu karena khawatir mengenai kemanjurannya dalam melawan varian lokal virus tersebut. Negara itu menjual sedikitnya satu juta dosis vaksin COVID AstraZeneca miliknya ke Uni Afrika.

Tetapi Badan Pengawas Obat Eropa menyatakan vaksin itu aman dan tidak menimbulkan risiko penggumpalan darah sama sekali. Organisasi Kesehatan Dunia selanjutnya merekomendasikan penggunaan vaksin Oxford-AstraZeneca melawan berbagai varian virus corona, dan menyatakan bahwa manfaatnya melebihi risikonya.

Vaksin Oxford-AstraZeneca sebelumnya menjadi pilihan utama bagi negara-negara berkembang, karena harganya murah dan persyaratan untuk penyimpanannya yang sederhana. Presiden Korea Selatan Moon Jae-in diimunisasi dengan vaksin itu hari Selasa.

Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin, 19 Maret 2021.
Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin, 19 Maret 2021.

Sementara itu, Kanselir Jerman Angela Merkel hari Selasa (23/3) mengatakan pemerintahnya memperpanjang masa lockdown di negara itu hingga 18 April, dengan alasan kasus infeksi baru yang terus meningkat. Pembatasan yang dilanjutkan itu mencakup lockdown total antara 1-5 April selama liburan Paskah mendatang, dengan permintaan agar seluruh warga Jerman tinggal di rumah selama periode itu.

Merkel dan ke-16 gubernur negara bagian di Jerman baru-baru ini menyusun rencana untuk secara bertahap mencabut pembatasan virus corona pada 28 Maret. Tetapi Jerman menghadapi lonjakan kasus infeksi baru karena munculnya varian B.1.1.7 yang lebih mudah menular, selain lambatnya laju vaksinasi, dengan 9 persen populasi saja yang telah menerima sedikitnya satu kali suntikan vaksin.

“Kita pada dasarnya menghadapi pandemi baru,” kata Merkel kepada wartawan di Berlin hari Selasa.

Varian B.1.1.7 pertama kali dideteksi di Inggris dan varian ini mudah menular dan lebih mematikan, kata Dr. Anthony Fauci dalam konferensi pers di Gedung Putih hari Jumat lalu. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG