Tautan-tautan Akses

Diaspora Indonesia Sesalkan Serbuan ke Gedung Kongres AS


Para pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol di Washington DC hari Rabu (6/1).
Para pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol di Washington DC hari Rabu (6/1).

Diaspora Indonesia menyesalkan serbuan massa pro-Trump ke Gedung Kongres (Capitol Hill) Rabu petang. Apapun alasannya, menurut mereka, tindak kekerasan tidak bisa diterima.

Delsy Bana di Silver Spring, Maryland, mengaku terpukul dan syok menyaksikan apa yang terjadi terhadap Gedung Kongres (Capitol Hill) Rabu (6/1) petang.

“Sangat memalukan terhadap demokrasi di Amerika dan di mata dunia. Sangat menyedihkan,” tukasnya.

Delsy, usia 45, yang hampir 20 tahun tinggal di Amerika, mengaku ngeri menyaksikan tayangan di media berita mengenai serbuan massa pro-Trump. Ia menilai apa yang terjadi di beberapa blok dari tempatnya bekerja itu, “Brutal.” “Membawa senjata tajam, alat besi, pipe bomb, memecah jendela, melukai banyak polisi, merusak Gedung Capitol yang sangat bersejarah, (yang berusia) beberapa ratus tahun.”

Delsy menyesalkan serbuan itu. Menurutnya, aksi massa itu disulut kata-kata Trump yang sebelumnya berbicara kepada pendukungnya, lagi-lagi tanpa bukti, bahwa pemilu dicurangi.

Delsy sudah dua kali memilih dalam Pilpres Amerika. Ia bukan pemilih Trump. Ia tercatat sebagai pemilih Demokrat. Namun ia menerima Trump sebagai presiden. Ketika rakyat Amerika memilih Joe Biden pada pemilu 3 November lalu, ia menyesalkan mengapa Trump dan pendukungnya tidak bisa menerima? Ia juga menyayangkan karena “Orang yang melakukan aksi itu bukan orang dari lokal daerah kita. Kebanyakan dari luar state. Soalnya banyak bus-bus. Aksi itu sepertinya sudah teroganisasi.”

Ani, yang tidak mau nama belakangnya disebut, tercatat sebagai pemilih independen. Ia mengaku sempat jatuh hati pada Trump, sebagai alternatif dan wajah baru dalam politik. Pada awal kampanye, Ani tidak pernah melewatkan acara kampanye Trump. Tetapi, semakin lama ia semakin kesal karena “Tidak ada programnya yang jelas. Isinya sarat kebencian,” ujar Ani.

Ani, dari Virginia, akhirnya memilih Capres lain.

Mengomentari serbuan terhadap Gedung Kongres, Ani mengaku kaget dan menyatakan tidak bisa menerima. Pihak keamanan, kata Ani, seharusnya bisa memprediksi skenario ini sejak lama.

Crystalena Fabio, alias Lena, aktif dalam kelompok komunikasi, umumnya via Facebook, misalnya Women for Trump, Wanita for Trump, DJT, dan American Indonesian for Trump. Ia tercatat sebagai pemilih Republik, dan memilih Trump.

“Karena saya melihat patriotism. Trump tidak mencari ketenaran, karena dia sudah tenar. Dia tidak mencari kekayaan karena sudah kaya. Dan dia jujur. Semua penghasilan disumbangkan ke badan-badan amal. Jadi, saya melihat kepribadiannya,” katanya.

Lena kecewa Trump kalah secara tidak adil. Menurutnya, Trump dicurangi sehingga memaklumi bila banyak pendukung Trump yang frustrasi.

“Penduduk Amerika yang mendaftar untuk memilih ada 133 juta. Dan Trump menang, 75 juta sampai 80 juta. Dari mana angkanya Biden bisa menang?”

Tetapi, ia dengan tegas menyatakan, tidak bisa menerima serbuan itu, yang menelan korban jiwa. Ia percaya, sejak awal, reli yang berjalan damai, ditunggangi Antifa dan BLM, untuk menjatuhkan Trump.

Nurma Tipton juga terdaftar sebagai pemilih Partai Republik, dan dua kali memilih Trump. Menurutnya, banyak bisnis tumbuh semasa pemerintahan Trump. Tetapi, ia menyesalkan serbuan terhadap Capitol Hill. Dengan tegas, ia mengaku merasa kesal.

“Saya sangat tidak setuju. Saya sama sekali tidak suka kekerasan seperti itu.”

Menurut Nurma, setelah hasil pemilu ditetapkan, pihak yang kalah seharusnya langsung menerima. Itu sudah menjadi tradisi terhormat di negara ini. Ia menyayangkan Trump sejak awal tidak bisa menerima hasil pemilu dan, dalam kata-katanya, “tidak bisa move on.”

“Mestinya, menurut saya, Trump ngomong sejak awal, tidak perlu ada kekerasan. Akui saja mereka yang menang,” ujarnya.

Nurma percaya pada apa yang dikatakan Trump bahwa pemilu dicurangi. Sebagai petugas pelaksanaan pemilu di daerah tempat tinggalnya di Baltimore County, Maryland, ia melihat langsung kecurangan itu.

“Orang yang sudah dikirimi surat suara via pos (mailing ballot), masih datang memilih. Saya tanya, “Kamu kan sudah dikirimi? Oh iya, sudah, katanya. Saya sudah kirim. Lho, kalau sudah dikirim kan aturannya dia tidak boleh milih lagi, nah, masih juga dikasih kesempatan untuk milih. Ini yang saya lihat dengan mata kepala sendiri.”

Nurma mengadukan kecurangan itu kepada ketua petugas dan saksi dari Partai Republik, tetapi tidak ada tindakan.

“Kalau menurut saya, biarkan sajalah. Kita sudah berusaha, kalau pun mereka curang, ya urusan mereka dengan Allah saja. Suatu saat kan mereka mesti dapat juga balasannya.”

Diaspora Indonesia Sesalkan Serbuan ke Gedung Kongres AS
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:44 0:00


Kepada massa Trump yang masih belum bisa menerima kekalahan, Nurma mengatakan, “Jangan lakukan hal bodoh. Tinggalkan saja. Kembali bekerja. Sampaikan selamat kepada Biden dan Kamala Harris. Waktunya untuk maju.”

Penyelidikan sedang dilakukan. Apakah Presiden Trump menghasut massanya untuk menyerbu Capitol Hill, yang sejauh ini menjadi lambang demokrasi? Juga akan dicari tahu apakah mereka menyerbu untuk mencelakai atau menyandera anggota Kongres? Yang sudah diketahui sejauh ini, bahwa pada 6 Januari 2021, lima tewas terkait serbuan itu, dan tercatat dalam sejarah dunia sebagai salah satu hal yang mencoreng demokrasi. [ka/ab]

XS
SM
MD
LG