Tautan-tautan Akses

Restoran Jadi Jembatan Komunikasi Muslim dan Yahudi di AS


Sepiring pain au chocolats terlihat di sebuah toko roti, sebagai ilustrasi. (Foto: AP/Christophe Ena)
Sepiring pain au chocolats terlihat di sebuah toko roti, sebagai ilustrasi. (Foto: AP/Christophe Ena)

Seorang Muslim di Amerika mencoba membangun jembatan komunikasi antara komunitas Yahudi dan Muslim melalui sebuah restoran sekaligus toko kue di Long Island, New York. Restoran itu menyajikan makanan halal tidak hanya untuk Yahudi tapi juga Muslim.

Ketika membeli restoran Beach Bakery and Grand Café dua tahun lalu, Rashid Sulehri sebetulnya ragu. Ia khawatir dengan reaksi komunitas Yahudi di kawasan Pantai Westhampton, Long Island, terhadap dirinya, seorang Muslim, dan kepemilikannya atas kafe yang jadi kebanggaan warga Yahudi setempat.

“Awalnya, reaksinya beragam. Namun, kemudian orang-orang menyukainya setelah saya mempertahankannya sebagai restoran atau kafe kosher. Sambutannya luar biasa. Belum pernah saya memiliki bisnis seberhasil ini," kata Sulehri.

Sulehri memang mempertahankan sertifikat kosher -- atau halal dalam ajaran Yahudi – untuk restoran tersebut tidak hanya untuk alasan bisnis, namun juga pengabdian sosial. Ia mengetahui pasti, restoran itu merupakan satu-satunya lokasi utama warga Yahudi bersosialisasi di luar sinagoga. Menutup restoran itu dan mengubahnya menjadi sebuah restoran yang sama sekali berbeda sama saja dengan mengancam eksistensi komunitas Yahudi setempat.

March Schneier, rabi populer di kawasan West Hampton, mengaku senang dengan keputusan Sulehri.

Komunitas Yahudi dan Muslim membangun komunikasi melalui sebuah restoran sekaligus toko kue di Long Island, New York. (Foto: VOA)
Komunitas Yahudi dan Muslim membangun komunikasi melalui sebuah restoran sekaligus toko kue di Long Island, New York. (Foto: VOA)

“Ini satu-satunya restoran kosher dalam radius 120 kilometer. Tentu saya senang dengan keputusan Sulehri. Makanan pada prinsipnya adalah makanan. Kita sesama umat manusia seharusnya tidak mempersoalkan siapa pemiliknya," kata Schneier.

Zach Boom, seorang Yahudi, juga merasa senang. Keputusan Sulehri, katanya, mencerminkan betapa bersatunya komunitas setempat.

“Senang karena ada orang yang melihat peluang dan tidak menyia-nyiakannya. Senang juga karena orang-orang menerima kehadirannya tanpa mempersoalkan apa latar belakangnya. Ini seperti menunjukkan keragaman yang sesungguhnya di Amerika. Ini menunjukkan betapa bersatunya warga West Hampton," kata Boom.

Sulehri juga menghadirkan pelanggan baru di restorannya, yakni komunitas Muslim. Selain menawarkan makanan kosher, ia juga menawarkan makanan halal di restoran itu bagi para Muslim.

Muhammad Ullah, seorang Muslim, bersyukur atas kehadiran Beach Bakery and Grand Café yang mencoba merangkul komunitas Yahudi dan Muslim.

“Sungguh luar biasa. Pemilik restoran ini membangun jembatan antara komunitas Muslim dan komunitas Yahudi. Sungguh luar biasa," katanya.

Sejak diambil alih Sulehri, pemasukan Beach Bakery and Grand Café meningkat 30 persen. Restoran itu sempat tutup beberapa bulan sejak Maret lalu, namun kini kembali buka dengan memberlakukan protokol kesehatan untuk mencegah wabah virus corona. Setiap harinya, puluhan pelanggan datang ke restoran tersebut.

Sulehri adalah imigran dari Pakistan yang pindah ke AS pada 1995. Ia meraih gelar sarjana dari Rockland Community College di Suffern, sekitar dua jam perjalanan mobil dari Westhampton. Pria berusia 46 tahun itu kemudian mendapatkan gelar master di bidang keuangan dari Oklahoma City University.

Sulehri sudah berpengalaman menjalankan bisnis restoran. Ia pernah mengelola Villa Italian Specialties di East Hampton dan Montauk Bake Shoppe di Montauk, New York.

Ia juga akrab dengan aturan kosher. Ia pernah bekerja di supermarket kosher sewaktu masih menjadi mahasiswa, dan tinggal di Monsey, New York, yang terkenal dengan kounitas Yahudi Orthodoksnya. [ab/uh]

XS
SM
MD
LG