Tautan-tautan Akses

Dampak Pandemi Virus Corona ke ODHA Lebih Kompleks


Kegiatan CD Bethesda dalam peringatan Hari Aids di Yogyakarta. (Foto: CD Bethesda)
Kegiatan CD Bethesda dalam peringatan Hari Aids di Yogyakarta. (Foto: CD Bethesda)

Pembatasan pergerakan antardaerah di masa pandemi berdampak pada banyak sektor. Salah satu yang mungkin tidak terpikirkan, adalah pengaruhnya pada distribusi ARV (antiretroviral), obat yang harus rutin dikonsumsi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Dampak itu setidaknya dirasakan mereka yang ada di Palu. Idham Chaliq, dari Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) Banuata Pura, Palu bercerita, pengiriman ARV ke luar kota semasa pandemi dilakukan dengan cara baru.

“Kami menggunakan jasa pengiriman alternatif, melalui travel, rental, teman dan keluarga yang akan berkunjung ke luar daerah,” kata Idham Chaliq.

Di Yogyakarta, pandemi juga berdampak pada ODHA dalam berbagai bentuk. Salah satunya, kata Magdalena dari KDS Victory Plus, adalah beredarnya berbagai kabar yang membuat ODHA takut datang ke rumah sakit. Padahal mereka harus datang rutin baik untuk pemeriksaan maupun mengambil obat. Karena itulah, Magdalena dan rekan-rekan rutin melakukan sosialisasi terkait virus corona di kalangan ODHA. Untuk mengatasi kesulitan pengiriman obat, relawan di Victory Plus bahkan bersedia datang ke rumah.

Dampak Pandemi Virus Corona ke ODHA Lebih Kompleks
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:31 0:00

“Secara kolektif kami mengambilkan ARV, dan kami kirimkan ke rumah. Ada yang via pengiriman jasa kurir, melalui ojek online, bahkan kalau memang tidak ada jasa tersebut kami jalan ke rumahnya untuk mengantar ARV dia, sekaligus kami melakukan pendampingan psikososial,” ujar Magdalena.

Idham dan Magdalena berbagi pengalaman itu dalam diskusi daring Tantangan Penanggulangan HIV dan AIDS di Masa Pandemi Covid 19, Kamis (18/6). Diskusi diselenggarakan UPKM/CD Bethesda Yakkum, Yogyakarta.

Rumah Sakit Modifikasi Layanan

Berbagai problem yang dihadapi ODHA itu sudah diantisipasi sejak dini, misalnya oleh Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito Yogyakarta. Yanri Wijayanti Subronto dari RS Sardjito menceritakan, perubahan skema layanan di sana langsung dilakukan, begitu pemerintah mengumumkan kebijakan baru dalam penanganan virus corona.

“Pada 16 Maret, hari di mana pemerintah Pak Jokowi memulai gerakan social distancing, LSM langsung kami kumpulkan, untuk mengidentifikasi titik-titik yang potensial penularan, dan hal-hal yang mendukung supaya teman-teman tidak tertular,” kata Yanri.

dr Yanri Wijayanti S dari RSUP dr Sardjito (Foto: courtesy)
dr Yanri Wijayanti S dari RSUP dr Sardjito (Foto: courtesy)

Di RS Sardjito, tambah Yanri, ODHA diarahkan untuk mengakses layanan pendaftaran online. Setelah dipastikan jadwal pemeriksaan, ODHA dapat datang sesuai jadwal dengan protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Melalui sistem ini pula, bagian farmasi rumah sakit dapat menyiapkan obat lebih cepat. Skema baru tersebut menyederhanakan prosedur, mempercepat layanan dan meminimalkan kontak ODHA dengan pasien lain yang ada di rumah sakit.

Koordinasi antara rumah sakit dan KDS juga penting, menurut Yanri, karena bisa menjadi jembatan komunikasi dan edukasi. Apalagi tidak hanya soal layanan, pandemi juga berpotensi membuat beberapa jenis obat berkurang stoknya. Harus dipahami pula, karena laboratorium menyokong penuh uji sampel bagi pasien terinfeksi corona, ada kemungkinan layanan lab bagi ODHA terganggu.

Yanri juga menambahkan, pengurangan frekuensi kontak dengan ODHA tidak boleh mengurangi kualitas layanan. Meski begitu, baik ODHA maupun tenaga kesehatan juga harus dipastikan keselamatannya dari potensi penularan corona. Sesuai aturan yang ada, setiap ODHA dapat menerima stok ARV untuk jangka waktu pemakaian dua bulan, sehingga tidak harus sering datang ke rumah sakit.

Dampak Dalam Anggaran

Dalam cakupan lebih luas, pandemi juga berdampak bagi layanan terkait HIV/AIDS dari sisi anggaran.

Pandemi menyedot pembiayaan besar dalam penanggulangannya. Pemerintah, baik pusat maupun daerah menerapkan strategi yang sama terkait anggaran. Mereka mengalihkan sebagian pos anggaran lain ke penanganan virus corona. Langkah itu bukan tanpa resiko. Jika tidak cermat, sektor yang anggarannya dikurangi akan menerima dampak.

Nusa Tenggara Timur patut menerima perhatian lebih besar terkait strategi pengalihan anggaran itu. Simplexius Asa, dari Pusat Studi HAM, HaKI, Kependudukan, Gender dan Anak (H2KGA), Universitas Cendana, Kupang berbagi cerita mengenai hal itu.

Khusus terkait HIV/AIDS, Asa memaparkan di tingkat daerah, ada sejumlah kabupaten di NTT yang bahkan tidak memiliki anggaran penanganannya. Secara umum, kata Asa, penanganan HIV/AIDS di NTT berjalan lambat.

Pelatihan ODHA dan warga peduli Aids di Belu, NTT oleh CD Bethesda. (Foto: dok CD Bethesda)
Pelatihan ODHA dan warga peduli Aids di Belu, NTT oleh CD Bethesda. (Foto: dok CD Bethesda)

“Hanya daerah tertentu yang sudah tersentuh upaya intervensi sejak 20 tahun lalu bekerja sungguh-sungguh dalam penanggulangan HIV . Maka pertanyaannya adalah, apakah anggaran yang dialokasikan untuk HIV, ikut mengalami relokasi atau refocusing akibat penanggulangan pandemi Covid,” ujar Asa.

Membandingkan dengan kasus demam berdarah, Asa mengatakan, debat di DPRD setempat sempat memanas, karena pemerintah mengalihkan anggaran sektor itu ke penanganan virus corona.

“Kemarin ketika parlemen mendiskusikan relokasi anggaran penanggulangan demam berdarah, banyak diperdebatkan karena demam berdarah itu serius di NTT. Seandainya bisa ditangani, korbannya selalu tinggi. Apalagi jika anggaran demam berdarah pada Februari-Maret direalokasi untuk penanggulangan Covid,” kata Asa.

NTT mencatat pasien demam berdarah lebih dari 5.400 orang hingga pekan ini, dengan 55 orang meninggal dunia. Provinsi ini memiliki jumlah pasien demam berdarah tertinggi di Indonesia. Sementara untuk virus corona, NTT mencatatkan 108 kasus positif, 51 pasien dirawat dengan hanya satu korban meninggal dunia. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG