Selama tiga bulan belakangan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif menjadi polemik. Dalam Pasal 4, KPU melarang partai mengajukan mantan terpidana kasus narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi menjadi calon legislator. Namun hingga kemarin, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memutuskan 12 koruptor dapat maju dalam Pemilihan Legislatif 2019. Putusan badan ini ditolak berbagai koalisi masyarakat, termasuk KPU, yang menginginkan calon legislator yang bersih.
Kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/9), Ketua KPU Arief Budiman menegaskan lembaganya tetap berpedoman pada Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut. KPU menegaskan pihaknya akan mencoret 12 terpidana koruptor yang dicalonkan menjadi legislator dan telah diputus Bawaslu boleh mencalonkan diri.
Arief meminta Bawaslu menunda keputusannya hingga uji materi di Mahkamah Agung terhadap Peraturan KPU itu diputuskan.
"Putusan apapun eksekusinya nggak bisa dilaksanakan sekarang. PKPU nya jelas mengatur tidak boleh kalau mantan terpidana tiga jenis pidana itu," tukasnya.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Bawaslu Rahmat Bagja menyatakan akan menunggu keputusan Mahkamah Agung. Dia mengatakan lembaganya meloloskan 12 narapidana kasus korupsi dengan alasan mereka tetap memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih.
"Kalaupun dieksekusi (pencalonan mereka disetujui), tiba-tiba ada keputusan Mahkamah Agung, kami akan melakukan koreksi. Dengan sendirinya, calon tersebut syarat-syaratnya batal demi hukum. Kalau batal demi hukum, maka pencalonannya dibatalkan," ujar Rahmat.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mengaku heran dengan sikap Bawaslu yang meloloskan 12 narapidana kasus korupsi karena sebelumnya Bawaslu sendiri yang meminta semua partai politik peserta Pemilihan Umum 2019 menandatangani pakta integritas untuk tidak mengajukan mereka yang pernah dijerat kasus rasuah menjadi calon legislator. Zulkifli meminta Bawaslu hati-hati dalam bersikap karena keputusan yang diambil Bawaslu dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
"Saya mengatakan saya tandatangani ini, kita tidak akan mencalonkan napi korupsi. Tapi harus berlaku semuanya, jangan ada yang boleh jangan ada yang tidak. Saya udah pesan betul itu. Tidak ya tidak, iya ya iya," tandas Zulkifli.
Juru bicara Mahkamah Agung Abdullah mengatakan gugatan atas PKPU pencalonan anggota dewan yang melarang koruptor berkompetisi dalam pemilihan legislatif belum diproses.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyebut, Bawaslu semena-semena dengan mengingkari keabsahan hukum. Ia menyayangkan sikap Bawaslu yang secara jelas tidak mengakui keabsahan PKPU padahal PKPU diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Almas menambahkan perbedaan pandangan antara KPU dan Bawaslu menyulitkan posisi kedua penyelenggara pemilu tersebut. Ia berharap Bawaslu mengoreksi keputusannya yang meloloskan mantan narapidana korupsi sebagai bakal calon legislatif 2019.
Sebanyak 12 narapidana kasus korupsi yang diajukan menjadi calon legislator itu adalah Muhammad Taufik (DPRD Jakarta) dari Partai Gerindra, Ferizal (DPRD Belitung Timur, dan Mirhammudin (DPRD Belitung Timur) dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); Muhammad Nur Hasan (DPRD Rembang) dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura); Syahrial Damapoli (DPRD Sulawesi Utara) dan Saiful Talub Lami (DPRD Tojo Una-una) dari Partai Golongan Karya; Joni Cornelius Tondok (DPRD Toraja Utara) dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia; Ramadhan Umasangaji (DPRD Parepare) dari Partai Perindo; Andi Muttamar Matotorang (DPRD Bulukumba) dari Partai Berkarya); Maksum Mannassa (DPRD Mamuju) dari Partai Keadilan Sejahtera; Abdul Salam (DPRD Palopo) dari Partai Nasional Demokrat; dan Abdullah Puteh (DPD Aceh). [fw/em]