Tautan-tautan Akses

Pemerintah Dunia Diminta Berinvestasi Lebih untuk Anak Perempuan


Presiden dan CEO MasterCard Reeta Roy dan Sekretaris Jenderal World YWCA Nyaradzayi Gumbonzvanda pada konferensi perempuan di Kuala Lumpur. (Women Deliver)
Presiden dan CEO MasterCard Reeta Roy dan Sekretaris Jenderal World YWCA Nyaradzayi Gumbonzvanda pada konferensi perempuan di Kuala Lumpur. (Women Deliver)

Pemerintah di seluruh dunia diminta berbuat lebih banyak untuk mewujudkan harapan dan impian anak-anak perempuan.

Para pemimpin dari beberapa yayasan ternama di dunia mengatakan bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk mendorong anak-anak perempuan mewujudkan harapan, mimpi dan ambisi mereka. Isu ini dibahas dalam konferensi perempuan Women Deliver di Kuala Lumpur.

Presiden dan CEO Yayasan Perserikatan Bangsa-Bangsa Kathy Calvin mengatakan investasi pada anak-anak perempuan memiliki manfaat jangka panjang.

“Jika kita tidak memprioritaskan anak perempuan, jika kita tidak mulai dengan anak perempuan, kita mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan membantunya sebagai perempuan dewasa. Jika Anda mengatasi masalah-masalah anak perempuan di semua lini, Anda berpeluang menjamin kesempatannya hidup lebih sehat dan lebih lama, yang akan mengubah hidupnya dan keluarganya," ujarnya.

Maria Eitel, Presiden dan CEO Yayasan Nike, mengatakan bahwa seringkali hanya ada jendela kesempatan yang kecil untuk melakukan intervensi atas nama anak perempuan.

“Anak-anak yang lebih kecil memiliki harapan besar -- saya ingin jadi dokter...saya ingin jadi pilot... dan mereka penuh harapan dan aspirasi. Namun saat menginjak masa puber -- pada 13, 14 dan 15 -- hal itu berubah semuanya. Anak-anak perempuan berbicara mengenai batasan-batasan terhadap kemampuannya untuk sukses, terutama di daerah-daerah penuh kekerasan dan kemiskinan yang mengancam keluarga mereka," ujarnya.

Eitel mengatakan bahwa di banyak negara, anak-anak perempuan dengan penuh keprihatinan sadar bahwa saat keluarganya menghadapi masalah ekonomi, hidupnya dapat berubah secara dramatis.

“Ia akan menjadi yang pertama yang meninggalkan sekolah. Ia akan menjadi yang pertama yang tidak mendapat makanan. Mereka dengan menderita sadar akan hal itu. Mereka sangat cerdas dan paham bahwa masa depan mereka terkait dengan masa depan ekonomi keluarga," ujarnya.

"Mereka juga paham sesuatu yang menarik, bahwa orangtua mereka memiliki kesulitan dalam mengambil keputusan. Mereka melihat kekerasan sangat dominan dan melihat risiko-risiko yang mereka hadapi. Dan mereka mengerti bahwa orangtua mereka mencoba untuk melindungi mereka. Tapi mereka melihat bahwa perlindungan yang sama berubah menjadi hambatan untuk maju."

Sekretaris Jenderal lembaga World YWCA Nyaradzayi Gumbonzvanda mengatakan bahwa kekerasan merupakan kendala besar bagi perempuan dan anak-anak perempuan.

“Ketika kita memiliki kebebasan dari kekerasan di rumah, masyarakat dan negara, kita memiliki kesempatan untuk berjalan di sungai, berjalan ke sekolah, dan menjadi sesuatu," ujarnya.

Namun Gumbonzvanda menambahkan bahwa anak-anak perempuan ingin dan layak mendapat hal-hal yang jauh lebih baik.

“Anak-anak perempuan kita," ujarnya, "meminta pemberdayaan sosial dan ekonomi. Pendidikan, pendidikan, pendidikan dan pendidikan."

Namun, penasihat khusus PBB Dr. Nafis Sadik mengatakan bahwa dalam hal pendidikan, apa yang anak-anak perempuan inginkan dan apa yang mereka dapat seringkali merupakan dua hal yang berbeda.

“Fakta bahwa mereka dapat bersekolah adalah keputusan keluarga. Dan masih banyak keluarga di berbagai belahan dunia, terutama di daerah pedesaan dan bahkan di beberapa daerah perkotaan, memprioritaskan anak laki-laki untuk bersekolah karena mereka dianggap pencari nafkah," ujarnya.

Sadik mengatakan bahwa kurangnya pendidikan seringkali berarti kurangnya keterampilan hidup dan kesadaran.

“Mereka ingin membuat anak-anak perempuan bodoh. Ada ratusan, ribuan perempuan yang menikah dan tidak tahu apa pun mengenai seksualitas dan seks, dan itu sesuatu yang sangat mengejutkan. Mereka terinfeksi HIV dan mereka tidak tahu bagaimana sampai terinfeksi," ujarnya.

Presiden dan CEO Yayasan MasterCard Reeta Roy mengatakan tidak ada pendidikan yang betul-betul gratis untuk anak-anak perempuan.

“Bahkan untuk pendidikan dasar, yang gratis, ada biaya seragam, buku, peralatan sekolah, kegiatan, yang menghalangi keluarga untuk mengatasinya. Biaya-biaya itu terus bertambah saat pendidikan berlanjut ke jenjang lebih tinggi," ujarnya.

Investasi untuk pendidikan anak perempuan akan menghasilkan dividen yang besar, ujar Roy.

“Kesempatan untuk berinvestasi pada pendidikan anak perempuan atau remaja putri tidak hanya mengubah jalan hidup mereka, tapi juga secara fundamental menciptakan masyarakat yang jauh lebih inklusif, menciptakan pertumbuhan ekonomi, yang jauh lebih adil," ujarnya.

Women Deliver merupakan organisasi advokasi global. Konferensi di Kuala Lumpur adalah yang ketiga setelah konferensi pada 2007 dan 2010.
XS
SM
MD
LG