Setelah Jabodetabek, Perlukah Yogyakarta Terapkan PSBB?

  • Nurhadi Sucahyo

Yogyakarta belum tertarik menerapkan PSBB seperti Jabodetabek. (Foto: VOA/Nurhadi)

DKI Jakarta mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 10 April 2020. Wilayah sekitarnya, baik yang masuk Jawa Barat maupun Banten, mulai mengikuti pekan ini. Pekanbaru telah disetujui Kemenkes untuk melakukan kebijakan itu sementara Bandung dan Makassar masih dalam proses.

DI Yogyakarta adalah salah satu provinsi yang cukup menarik terkait wabah virus corona. Jumlah penduduknya sekitar 3,5 juta jiwa dengan wilayah yang relatif sempit. Hingga Kamis (16/4), jumlah kasus positifnya telah mencapai 63 orang. Angka kematian pasien positif tercatat enam orang, tetapi jumlah PDP yang meninggal cukup signifikan, yaitu 16 orang sehingga total ada 22 kematian. Jumlah PDP sendiri tercatat 600 orang, dengan ODP 3.654. Sebanyak 284 pasien masih menunggu hasil uji lab.

Namun, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X nampaknya belum tertarik menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ketika dimintai pendapat usai rapat dengan DPRD DIY Selasa (14/4), Sultan menyebut DIY belum merasa perlu meminta status PSBB.

BACA JUGA: PSBB Diberlakukan, Kendaraan di Jagorawi Turun 50 Persen

PSBB adalah pembatasan aktivitas penduduk di suatu wilayah yang terpapar virus corona sesuai Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2020. Syarat yang ditetapkan adalah jumlah kasus dan kematian meningkat signifikan, wabah menyebar cepat dan adanya transmisi lokal.

“Kita kan tidak terjadi seperti itu. Kalaupun kita ajukan, belum karuan disetujui pemerintah pusat, karena dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan PSBB,” ujar Sultan.

Apa yang disebut sebagai lonjakan kasus pun tidak memiliki batasan yang pasti. Di sisi lain, pejabat di DIY selalu mengatakan, bahwa seluruh kasus adalah imported case, tanpa ada adanya transmisi lokal. Sesuatu yang mengundang pertanyaan banyak pihak, setelah perjalanan kasus selama satu bulan.

Sementara pakar epidemiologi UGM, Riris Andono Ahmad menilai, peningkatan kasus di DIY eksponensial.

Andong melintas di Alun-Alun Utara Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Melihat kurva outbreak dan ada peningkatan eksponensial, itu indikasi terjadi transmisi lokal. Kalau penularan dari generasi 1 ke 2, mungkin kecil, bisa dipotong. Tapi kalau sudah beranak pinak, sebenarnya sudah terjadi penularan berkelanjutan,” paparnya.

Namun Riris menegaskan, yang penting sebenarnya bukannya membuat surat keputusan mengenai PSBB dan sejenisnya. Dia lebih menggarisbawahi implementasi himbauan di tingkat masyarakat, seperti kewajiban untuk menjaga jarak dan meniadakan kerumunan atau kegiatan dengan banyak peserta.

Karantina Berdampak Ekonomi

Ahmad Muttaqin Alim menyebut, dalam kondisi wabah, pembatasan akses keluar dan masuk ke suatu kawasan sebenarnya sangat membantu menekan penyebarannya. Alim adalah dokter yang juga Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center. Jika Yogyakarta ingin menekan potensi penyebaran wabah semakin meluas, pilihannya adalah penerapan PSBB.

Dalam kasus penyakit menular, upaya untuk mengatasinya relatif sederhana, yaitu dengan mencegah orang sehat tertular dari yang sakit. Caranya adalah dengan melokalisir kasus, sehingga pemantauan dan pengobatan lebih mudah dijalankan. Meminta masyarakat untuk tetap berada di rumah adalah salah satu praktiknya.

Ahmad Muttaqin Alim. (Foto: dok Muhammadiyah)

“Kenapa di rumah, kan itu filosofinya memutus mata rantai interaksi. Semakin seseorang sering interaksi, maka semakin tinggi potensi penularan. Sebetulnya sederhana konsepnya, menjadi rumit ketika pembatasan sosial itu berpengaruh pada ekonomi,” kata Alim.

Menurut Alim, secara ideal, Yogyakarta mestinya mengambil langkah maksimal dengan membatasi akses masuk. Hak untuk mengambil kebijakan ini ada pada pemerintah. Tetapi hak itu juga disertai kewajiban, dimana konsekuensi logis dari meminta masyarakat untuk diam di rumah, adalah memenuhi kebutuhan logistiknya. Alim mengaku tidak memahami, apakah pemerintah mampu menjalankan kewajiban itu.

“Selama pemerintah tidak memberikan jaminan kehidupan yang cukup untuk masyarakat, tidak mungkin dilakukan pembatasan sosial yang sempurna. Yang sempurna itu, ya lockdown. Tetapi kita memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang masih membuka peluang untuk orang berinteraksi di luar rumah,” lanjut Alim.

Sebagai contoh kasus, kata Alim, Yogyakarta sebenarnya tidak harus berpikir terlalu panjang. Daerah ini memiliki modal sosial relatif lebih baik dibanding daerah-daerah lain. Masyarakatnya rata-rata lebih terdidik dan memiliki organisasi berbasis masyarakat yang relatif banyak. Dalam kasus kebencanaan yang pernah ada, lanjutnya, modal sosial itu dapat dikelola dengan baik sehingga proses pemulihan berjalan lebih cepat.

Kampung-kampung di Yogyakarta menerapkan pembatasan akses secara swadaya sejak akhir Maret 2020. (Foto: VOA/Nurhadi)

Alim mengingatkan, persoalan wabah terkait dengan kecepatan mengambil keputusan.

“Grafiknya selalu naik, maka sesungguhnya pengambilan keputusan untuk melakukan pembatasan itu secepat mungkin. Ini soal waktu, kita mau sekarang atau besok sama saja pasti akan diambil. Kecuali kita mau betul-betul sejak awal sudah nggak mau mengambil langkah itu. Saya pikir, segera saja dilakukan,” tambahnya.

Belajar dari Jakarta

Setelah sepekan, bagaimana PSBB di Jakarta berjalan? Sosiolog Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis menilai kurang efektif, tetapi lebih baik daripada tidak mengambil langkah pengetatan.

Salah satu fungsi PSBB adalah mengurai kerumunan. Sementara tujuan itu tidak maksimal, karena transportasi massal terlambat diikutsertakan.

“Bagaimana mau efektif? Jakarta mengumumkan PSBB itu tanggal 10 April, tapi baru mau ditutup KRL-nya tanggal 18, menunggu Tangsel diberlakukan. Proses pencegahan penyebaran wabah ini menjadi tidak efektif, karena UU No 6 tahun 2018 di bab 7 dipahami secara parsial. Dan praktek parsial itu menjadi tidak efektif untuk pencegahan penyebaran wabah,” kata Habdy.

Your browser doesn’t support HTML5

Setelah Jabodetabek, Perlukah Yogyakarta Terapkan PSBB?

Habdy menilai, ketetapan dalam UU Nomor 6 2018 tidak bisa dilihat sepotong-sepotong. Dalam konteks sosiologis, aturannya harus diterapkan semua. Artinya ada karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan PSBB itu sendiri. Karantina bermakna penutupan akses, dimana kasus muncul, maka rumah, wilayah maupun rumah sakit harus dikarantina. Peran masyarakat sangat menentukan keberhasilannya.

Meski begitu, penerapan pembatasan akses tidak bisa memakai wilayah administrasi sebagai batasnya. Jakarta tidak bisa berjalan sendiri tanpa kawasan sekitarnya, karena mobilitas masyarakat yang tinggi.

Butuh Ketegasan Menegakkan Aturan

Faktor pertama yang menentukan keberhasilan PSBB maupun karantina wilayah adalah pemerintah. Habdy menyebut, ketegasan menegakkan aturan yang sudah dikeluarkan menjadi kuncinya. Dia memberi contoh, KRL dulu dijalankan dengan tingkat kedisiplinan rendah. Penumpang bahkan bisa tidak membeli tiket dan duduk di atap kereta. Ketika Ignasius Jonan menjadi Dirut KAI, perombakan besar terjadi. Aturan ketat ditegakkan, sanksi diberlakukan, tetapi seluruh fasilitas untuk penumpang diperbaiki dan yang belum ada disediakan.

Terbukti penumpang KRL bisa beradaptasi dengan ketegasan PT KAI. Langkah serupa bisa diterapkan dalam pemberlakuan PSBB atau karantina wilayah’

“Artinya apa? Kalau kita mau karantina, fasilitas harus lengkap. Yang kedua, ada konsistensi dalam penegakan hukumnya,” tambah Habdy.

Suasana Terminal Jombor di Yogyakarta 13 April 2020, sepi namun masih ada aktivitas angkutan. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Faktor kedua berupa peran masyarakat dilahirkan dari transparansi dan komunikasi publik yang baik. Dua hal ini belum nampak sampai saat ini. Habdy memberi contoh pilihan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang justru membuat aplikasi dibanding menyajikan peta sebaran yang jelas. Aplikasi itu memberi tanda kepada masyarakat jika dia mendekati wilayah dengan kasus positif virus corona. Sementara yang dibutuhkan justru peta sebaran yang jelas, agar masyarakat tidak masuk ke zona merah tersebut.

Habdy menilai, masyarakat Indonesia sebenarnya mudah diajak bekerja sama. Kuncinya adalah ketegasan aturan. PSBB tidak memberi ruang penegakan hukum, misalnya bagi polisi dalam menindak kerumunan. Sejauh ini, peringatan yang diberikan sebatas himbauan yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

Pengalaman Jakarta ini menjadi masukan berharga bagi daerah lain yang akan menerapkan skema serupa. [ns/ab]