Setara Institute: Cabut SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah

  • Fathiyah Wardah

Polisi menginspeksi kerusakan rumah anggota jemaah Ahmadiyah setelah diserang di Banten. (Foto: AP)

Surat Keputusan Bersama tiga Menteri tentang Ahmadiyah dianggap menjadi legitimasi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah.
Peneliti Setara Institute for Democracy and Peace, Ismail Hasani, mengatakan terus terjadinya kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah salah satunya juga disebabkan oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Ahmadiyah.

Menurutnya SKB ini, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung pada 2008, juga telah menjadi legitimasi berbagai keputusan daerah untuk melakukan kekerasan atas jemaah Ahmadiyah.

Ismail menambahkan kekerasan terhadap Ahmadiyah itu terjadi karena pemerintah daerah sering menggunakan Ahmadiyah sebagai kepentingan politik mereka.

Untuk itu, Ismail meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mencabut SKB tentang Ahmadiyah dan segera memprakarsai penyusunan undang-undang yang tepat untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Ahmadiyah menjadi kapital politik yang bisa menghimpun dukungan publik. Ia seolah-olah menjadi isu publik ketika Pemda akomodatif terhadap kelompok-kelompok tertentu dan pemda dianggap berprestasi,” ujar Ismail pada Senin (13/7).

Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah terjadi lagi pada Jumat (13/7) lalu di Cisalada, Bogor, Jawa Barat, yang merupakan tindak kekerasan kedua yang terjadi terhadap kelompok tersebut di tempat yang sama setelah Oktober 2010.

Insiden penyerangan itu terjadi saat empat wartawan Belanda datang ke Cisalada untuk membuat film dokumenter yang membahas agama dan kebudayaan di kampung tersebut.

Namun warga marah dengan kedatangan mereka dan kemudian menyerang pemukiman Ahmadiyah.Akibat kejadian tersebut dua warga Ahmadiyah mengalami luka-luka dan enam rumah rusak.

Juru Bicara Ahmadiyah Firdaus Mubarik kepada VOA menjelaskan bahwa pasca penyerangan, jemaat Ahmadiyah justru diminta untuk membuat surat pernyataan yang isinya meminta maaf karena telah mengundang wartawan asing tersebut ke Cisalada.

Salah satu butir lainnya dalam surat pernyataan itu adalah jika ada tamu atau wartawan yang masuk ke Cisalada harus seizin kepala desa.

“Ini bisa dianggap sebagai upaya polisi untuk mementahkan kasus kekerasan kemarin. Karena dengan surat pernyataan itu polisi bisa beranggapan bahwa tidak perlu ada pengusutan kasus kekerasan karena yang bersalah adalah warga Cisalada, terbukti dengan adanya surat penyataan minta maaf,” ujarnya.

“Surat pernyataan tersebut dibuat dalam tekanan. Bayangkan setelah rumah anda diserang tiba-tiba polisi, tentara., pemerintah dan segala macam datang berkunjung ke rumah anda membuat surat. Ini bentuk intimidasi dan pemaksaan. Sementara yang kedua, ini berbahaya karena ini secara langsung merupakan pengekangan terhadap kebebasan media,” tambahnya.

Firdaus menambahkan tidak adanya penegakan hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap Ahmadiyah menyebabkan kasus seperti ini terus terjadi.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Kombes Agus Rianto membantah adanya pemaksaan terhadap kelompok Ahmadiyah dalam membuat surat pernyataan.

Meski sudah ada surat pernyataan, kata Agus, pihak kepolisian akan tetap melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut.

“Saya sudah komunikasikan kepada teman-teman di sana itu atas keinginan mereka karena memang menyadari kalau mereka melakukan kekeliruan. Siapapun yang melakukan tindakan melawan hukum akan kita proses secara hukumkarena negara Indonesia mengedepankan hukum. Hukum adalah panglima, jangan sampai ada hukum rimba dalam arti ada perangkat-perangkat hukum yang harus dipatuhi dan dipahami oleh masyarakat,” ujarnya.