Publik Pertanyakan Pemberian Pangkat Istimewa kepada Prabowo

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (tengah) bersama Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, melakukan pemeriksaan militer usai penganugerahan pangkat istimewa dari Presiden Joko Widodo, Jakarta, Rabu, 28 Februari 2024.(Foto: Achmad Ibrahim/AP)

Keputusan Presiden Jokowi Widodo menganugerahkan pangkat “Jenderal Kehormatan” kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Rabu (28/2), memicu sorotan tajam. 

SETARA Institute menyatakan pemberian pangkat istimewa itu “tidak sah, melecehkan korban pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia), terutama dalam tragedi penculikan aktivis 1997-1998, dan tidak etis.”

Dalam siaran pers yang diterima VOA, SETARA Institute menilai menilai secara yuridis, kenaikan pangkat kehormatan itu tidak sah dan ilegal karena Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran.

"Bintang sebagai pangkat militer untuk perwira tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan," demikian kata SETARA dalam pernyataannya.

BACA JUGA: Jokowi Bantah Ada Transaksi Politik di Balik Pemberian Kenaikan Pangkat Prabowo

Landasan Hukum Pemberian Bintang

SETARA Institute merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang tidak mengenal “bintang” untuk pangkat kemiliteran seorang purnawirawan militer.

“Bintang yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan, yang menurut Pasal 7 Ayat (3), dalam bentuk Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer," kata SETARA.

Sementara, jika merujuk pada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2012 yang mengatur bahwa kenaikan pangkat luar biasa diberikan kepada “prajurit yang mengemban penugasan khusus” atau “berprestasi." Di sisi lain, SETARA Institute menilai Prabowo pensiun dari dinas kemiliteran karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres Nomor 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun.

Presiden Joko Widodo memberi keterangan pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, usai menganugerahkan pangkat jenderal istimewa kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (Foto: Setpres RI)

Kedua keputusan ini jelas menyatakan Prabowo merupakan pelanggar HAM.

“Langkah politik Jokowi nyata-nyata bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik ini terus berjuang mencari keadilan," imbuh SETARA dalam pernyataannya.

Korban yang dimaksud adalah mereka yang diculik antara 1997 hingga 1998 beserta keluarganya.

Berbicara kepada media usai rapat pimpinan TNI-Polri dan pemberian pangkat istimewa kepada Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemberian anugerah tersebut ini telah melalui verifikasi dari Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, dan implikasi dari penerimaan anugerah bintang tersebut ini sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2009.

BACA JUGA: Dugaan Kecurangan Pemilu Berujung di Mahkamah Konstitusi?

Jokowi menegaskan bahwa penganugerahan ini sedianya diberikan sejak dua tahun lalu atas jasa Prabowo dalam bidang pertahanan. Selain itu, pemberian pangkat istimewa itu adalah usulan dari Panglima TNI, yang kemudian disetujuinya.

Praktik Kenaikan Pangkat Harus Diluruskan

Berbicara kepada VOA, pengamat militer Dr. Connie Rahakundini Bakrie mengatakan praktik kenaikan pangkat jenderal seperti ini harus diluruskan.

“Jika interpretasi presiden atas UU Nomor 20 Tahun 2009 bahwa pengangkatan atau kenaikan pangkat itu dilakukan secara istimewa, bisa saja benar. Meskipun itu debatable (dapat diperdebatkan.red). Tapi argumentasi lain pada aturan itu adalah harus diberikan pada prajurit aktif, bukan purnawirawan," kata Connie.

Pengamat militer dan pertahanan, Dr. Connie Rahakundini Bakrie. (Foto: koleksi pribadi)

Connie, yang saat diwawancara baru selesai memberikan kuliah tentang masa depan Indo-Pasifik di University of Birmingham, Inggris, mengatakan pemberian bintang apapun harus jelas apa jasanya, terlebih untuk kenaikan pangkat istimewa.”Dia menggarisbawahi perlunya meluruskan praktik kenaikan pangkat jenderal seperti ini, terutama ketika sudah tidak lagi aktif.

Sebelumnya ada beberapa tokoh yang juga pernah dianugerahi pangkat Jenderal TNI Kehormatan, antara lain Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono.

Langkah Politis Transaksi Elektoral Jokowi

Koalisi Masyarakat Sipil, yang beranggotakan puluhan organisasi masyarakat madani, secara terang-terangan menyebut pemberian kenaikan pangkat kehormatan itu sebagai “langkah politis transaksi elektoral Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatan Prabowo Subianto dala pelanggaran berat HAM masa lalu.”

Selain menyampaikan kecaman, Koalisi Masyarakat Sipil itu mendesak Komisi Nasional (KOMNAS) HAM untuk mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil dan memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997 dan 1998.”

Selain itu, koalisi menyerukan kepada Kejaksaan Agung untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM berat terutama kasus penghilangan orang secara paksa pada periode waktu yang sama.

BACA JUGA: Dugaan Kecurangan Meluas, Protes dan Rencana Pengajuan Hak Angket Mengemuka

Tak hanya itu, koalisi juga menyerukan kepada pemerintah agar menjalankan rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2009 untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Secara khusus Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar TNI-Polri untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.

Prabowo Subianto, Sosok Multi-Dimensi

Prabowo Subianto, purnawirawan militer berusia 72 tahun yang kini menjabat sebagai menteri pertahanan, merupakan calon presiden nomor urut dua pada Pilpres 2024. Ia adalah lulusan Akademi Militer tahun 1974 dan pernah menduduki sejumlah jabatan tinggi di ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sebutan lama untuk TNI.

Prabowo pernah mengemban sejumlah jabatan strategis, antara lain sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) dan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Prabowo Subianto (kanan) berkendara dengan mobil militer bersama Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto seusai menerima anugerah pangkat istimewa dari Presiden Joko Widodo di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu, 28 Februari 2024. (Foto: TPN Prabowo-Gibran)

Saat menjabat sebagai Danjen Kopassus, ia terlibat langsung dalam Operasi Mapenduma, yaitu operasi pembebasan sandera dari tangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1996. Ia juga dikenal sebagai tokoh di balik inisiatif pengibaran bendera Merah Putih di puncak gunung tertinggi di dunia Everest, dengan mengamanatkan tugas itu kepada Serka (Purn) Asmujino dan Brigjen Iwan Setiawan.

Karier militer Prabowo berakhir setelah diadili oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena sejumlah tindakan, antara lain pembentukan Satgas Mawar dan Satgas Merpati untuk melakukan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan aktivis kelompok radikal dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Beberapa nama aktivis yang disebut dalam Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) No. KEP/03/VIII/1998/DKP pada 21 Agustus 1998 itu adalah Andi Arief, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Nezar Patria, Haryanto Taslam, Rahardjo Waluyojati, Faisol Reza, Pius Lustrilanang dan Desmond J Mahesa.

BACA JUGA: Bagaimana Pasar Merespons Hasil Hitung Cepat Pilpres?

Berbagai tindakannya yang dinilai cenderung pada kebiasaan mengabaikan sistem operasi, hierarki, disiplin dan hukum yang berlaku di lingkungan ABRI; dan tidak mencerminkan etika profesionalisme dalam pengambilan keputusan, kepatuhan pada norma hukum, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, norma-norma yang berlaku dilingkungan TNI-AD/ABRI dan norma-norma pelibatan Kopassus sendiri; dan beberapa pertimbangan lain membuat DKP menyarankan presiden untuk menjatuhkan hukum administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.

Setelah mengkaji keputusan DKP itu, Presiden BJ Habibie ketika itu mengeluarkan Keputusan Presiden No.62/ABRI/1998, yang isinya “memberhentikan dengan hormat Prabowo Subianto dari dinas keprajuritan ABRI dengan hak pensiun pejabat tinggi.” Habibie menandatangani dan menetapkan keppres itu pada 20 November 1998 di Jakarta.

Kapuspen TNI Mayjen Nugraha Gumilar mengatakan tidak ada kata pemecatan dalam kepres itu.

“Menurut Kepres No.62/ABRI/1998 tanggal 22 November 1998, isi keputusannya diberhentikan dengan hormat dan mendapatkan hak pensiun, tidak ada kata-kata pemecatan ya..," ujar Nugraha dalam keterangan pers di Jakarta.

Prabowo Subianto sungkem kepada bibinya, Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, adik mendiang ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo, dalam acara syukuran di kediamannya usai penganugerahan pangkat istimewa, di Jakarta, Rabu, 28 Februari 2024. (Foto: TPN Prabowo-Gibran)

Berpasangan dengan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, Prabowo Subianto bertarung dalam pemilu presiden 2024, dan hingga saat ini unggul meraih suara terbanyak. Penghitungan suara masih terus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Prabowo Gelar Syukuran Bersama Keluarga

Prabowo bergeming dengan berbagai kritik tajam yang diarahkan terhadapnya, bahkan pada Rabu (28/2) sore, dia menggelar syukuran bersama keluarga di kediamannya di Jl. Kertanegara 4, Jakara Pusat.

Dengan mengenakan pakaian dinas upacara (PDU) Angkatan Darat, lengkap dengan tanda bintang empat di pundaknya, Prabowo memotong tumpeng tanda syukur dan memberikan potongan pertama kepada bibinya, Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, adik ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo. Dia kemudian melakukan sungkem kepada Tante Tin, sapaan akrab Prabowo kepada Sukartini, yang sudah berusia 105 tahun.

Pada 2022 Prabowo telah menerima empat tanda kehormatan bintang militer utama yaitu Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama. [em/pp/ft]