Pemuka Masyarakat ,Tokoh Agama Bertanggungjawab Pelihara Keberagaman Indonesia

  • Petrus Riski

Wimar Witoelar dalam sebuah diskusi tentang Merawat Keragaman di Surabaya (Foto: VOA/Petrus Riski).

Sejumlah aktivis HAM mengimbau agar tokoh masyarakat dan pemuka agama menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kebhinnekaan Indonesia.

Maraknya aksi atau tindakan intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama atau ras, yang dilakukan sekelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain yang berbeda memicu keprihatinan banyak pihak akhir-akhir ini.

Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Ahrori, mengatakan, persoalan disintegrasi bangsa yang dilandasi kepentingan politik dan kekuasaan harus diatasi dengan keterlibatan para tokoh agama dan pemuka masyarakat. Menurut Ahori, mereka harus bisa untuk memberi pemahaman mengenai hakekat Pilkada yang lebih menekankan bagaimana membangun bangsa.

“Para tokoh harus bersinergi, segenap elemen masyarakat harus memahami, terutama para tokoh-tokoh agama harus memberi pemahaman bahwa Pilkada ini bukan ajang memilih semacam organisasi biasa, tetapi bagaimana membangun masyarakat. Membangun masyarakat bukan hanya segi peribadatan saja, tetapi bagaimana ekonomi, sosial harus dibangun secara lengkap. Artinya tidak serta merta kalau yang Muslim, bukan hanya pemilihan takmir masjid ini, yang beragama bukan Muslim mungkin bukan pemilihan Ketua Gereja ini, bukan. Tetapi ini membangun bangsa bagaimana berjalan dengan baik,” kata Ahrori, Wakil Sekretaris PCNU Bangkalan.

Warga Nusa Tenggara Timur, Kristin mengungkapkan, membangun Indonesia yang memiliki keberagaman harus diawali dari keluarga, agar setiap individu yang nantinya menjadi bagian dari masyarakat, dan menjadi pemimpin, dapat menampilkan wajah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, yakni yang menghargai perbedaan.

Your browser doesn’t support HTML5

Masyarakat, Tokoh Agama Bertanggungjawab Rawat dan Jaga Keberagaman Indonesia

“Keberagaman itu harus ditanamkan mulai dari keluarga, dari anak-anak. jadi, kita harus mengajarkan konsep Indonesia yang beragam itu dimulai dari anak-anak kita, dari keluarga kita. Sehingga ketika itu tidak dibangun di setiap keluarga-keluarga di Indonesia sangat mungkin akan terjadi yang namanya intoleransil,” kata Kristin, warga Nusa Tenggara Timur.

Aktivis keberagaman, Wimar Witoelar mengatakan, keberagaman atau kebhinnekaan yang dimiliki Indonesia merupakan kekayaan yang tinggi nilainya, dan dapat lenyap bila masyarakatnya tidak ikut memeliharanya.

“Pertama keyakinan bahwa ini memang adalah milik kita yang sangat penting dan juga bisa hilang, tidak otomatis. Jadi kesadaran yang pertama, kesadaran kemudian dikomunikasikan dan mencari teman yang sependapat. Saya tidak menganut pengertian harus ada aksi yang agresif atau yang konkrit melawan orang-orang yang merusak keragaman, tapi lebih pada memperkuat kemampuan kita. Sebab kalau semua itu yakin pada dirinya sendiri dan ingin bersuara, itu dengan sendirinya akan hilang gangguan itu, karena gangguan itu sementara kok, mereka kan punya motif politik, kalau tidak berhasil ya akan berhenti,” kata Wimar Witoelar, aktivis keberagaman.

Wimar menegaskan pentingnya memberi pemahaman bahwa semua warga negara berperan penting dalam membangun bangsa, termasuk mereka yang selama ini banyak diam dan membiarkan intoleransi serta radikalisme berkembang di tengah masyarakat.

“Perlu tapi jangan dipaksa, tapi lebih dirangkul, karena yang diam itu sebenarnya tidak tahu saja bahwa dia itu sangat penting,” lanjut Wimar Witoelar.

Jawa Timur mencatat sejumlah aksi intoleransi. Selain yang terkait politik, seperti pilkada, juga ada yang terkait budaya, seperti protes menentang pemajangan patung di sebuah klenteng di Tuban dan patung penari balet di Surabaya. [pr/ab]