Pemerintah Surati DPR, Minta Tunda Pengesahan Revisi UU MK

Tangkapan layar Menko Polhukam Mahfud MD saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Senin (4/12/2023).

Pemerintah menyurati DPR untuk meminta penundaan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemerintah belum menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Ia juga menyebut secara prosedural, pemerintah belum menandatangani keputusan rapat tingkat I di DPR.

Kata Mahfud, pemerintah masih keberatan dengan ketentuan peralihan masa jabatan hakim konstitusi. Alasannya, ketentuan tersebut akan merugikan hakim konstitusi yang masih menjabat dan tidak sesuai dengan prinsip hukum transisi.

"Kita masih keberatan terhadap aturan peralihan bahwa masa jabatan hakim MK 10 tahun dan maksimal pensiun 70 tahun," ujar Mahfud di Jakarta, Senin (4/12/2023).

Your browser doesn’t support HTML5

Pemerintah Surati DPR, Minta Tunda Pengesahan Revisi UU MK

Mahfud menambahkan pemerintah ingin masa jabatan hakim konstitusi yang masih menjabat merujuk kepada Surat Keputusan (SK) Pengangkatan. Sesuai prinsip masa transisi, peraturan tersebut harus menguntungkan atau setidaknya tidak merugikan orang yang bersangkutan.

Mahfud menyampaikan telah melaporkan perkembangan pembahasan revisi UU MK ke Presiden Joko Widodo pada awal September lalu. Kata dia, pemerintah akan bertahan dengan argumentasi terkait peralihan masa jabatan hakim konstitusi tersebut.

"Oleh sebab itu, kita meminta sebelum dibawa ke pembahasan Tingkat II, itu supaya dibicarakan lagi dengan pemerintah," tambahnya.

BACA JUGA: Akankah Keputusan MKMK Mengembalikan Kepercayaan Publik ke MK?

Menko Polhukam Mahfud MD juga telah mengirimkan surat kepada DPR untuk meminta revisi UU MK tidak disahkan terlebih dahulu.

Pada lain kesempatan, mengutip media Antara, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa DPR telah sepakat untuk menunda pengambilan persetujuan revisi UU MK di Rapat Paripurna terdekat. Kata dia, keputusan tersebut bukan karena surat dari pemerintah, melainkan sudah diputuskan fraksi-fraksi di DPR sebelum surat tersebut masuk. Kendati demikian, ia tidak menyampaikan sampai kapan persetujuan revisi UU MK ini akan ditunda.

"Kawan-kawan mempertimbangkan anggapan bahwa UU ini akan dipolitisasi dan lain-lain, sehingga kemudian salah satu pertimbangannya teman-teman kemudian sepakat untuk menunda paripurna revisi UU MK," ujar Dasco di Jakarta seperti dikutip dari Antara.

Ancaman Kemandirian Kekuasaan Kehakiman

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti khawatir dengan ketentuan masa peralihan tersebut yang dapat berdampak pada hakim konstitusi yang menjabat sekarang. Ketentuan tersebut menyebutkan hakim konstitusi yang telah menjabat lima tahun dan kurang dari 10 tahun, dapat melanjutkan jabatannya sampai 10 tahun jika disetujui lembaga yang memilihnya. Sementara hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 10 tahun, melanjutkan masa jabatannya hingga usi 70 tahun atau maksimal menjabat selama 15 tahun.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti (dokumentasi Sasmito)

Ia menyebut dengan ketentuan tersebut, maka ada tiga hakim konstitusi yang nasibnya belum jelas dan bergantung kepada lembaga pengusul. Ketiganya adalah Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih yang akan bergantung kepada presiden, serta Suhartoyo yang diusulkan Mahkamah Agung.

"Tak salah jika publik menilai ada keinginan kuat untuk mengganti hakim-hakim tersebut, mengingat pendapat mereka selama ini dalam putusan-putusan yang kontroversial seperti putusan mengenai UU Cipta Kerja," tulis Bivitri.

Bivitri juga menyampaikan ketentuan peralihan dalam draf revisi UU MK bermasalah karena melanggar prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang, peraturan peralihan semestinya memberikan perlindungan terhadap pihak terdampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan, bukan malah merugikan pihak terdampak.

Selain itu, ia menilai ketentuan ini seakan-akan dapat membuat lembaga pengusul yakni DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung bisa mengevaluasi hakim konstitusi. Ia beranggapan, kemungkinan hakim konstitusi dapat dicopot di tengah masa jabatannya merupakan bentuk ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman.

Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus. foto dok pribadi.

Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengusulkan pembahasan revisi UU MK ditunda hingga terpilihnya anggota DPR yang baru. Menurutnya, situasi nasional hari ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas revisi UU MK.

"Ini memang bukan waktu yang tepat, apalagi dengan kondisi MK sekarang ini. Dan kita sedang di tahapan pemilu, nanti akan ada peran MK juga. Jadi ada konflik kepentingan antara DPR, Pemerintah, dan MK jika terus dilakukan," jelas Lucius Karus kepada VOA, Senin (4/12/2023).

Lucius Karus juga menilai revisi UU MK saat ini bersifat politis, apalagi jika hanya dilakukan secara parsial seperti fokus pada ketentuan peralihan tentang masa jabatan hakim konstitusi. Menurutnya, revisi UU MK harus dilakukan dengan kajian dan evaluasi yang mendalam terkait MK. [sm/ab]