PBNU Pastikan Tidak Ada Kamp Konsentrasi Bagi Muslim Uighur

Delegasi Indonesia yang dipimpin Ketua PBNU Robikin Emhas (kelima dari kanan), mengunjungi beberapa lokasi di Xinjiang untuk melihat langsung kondisi warga Muslim-Uighur, Senin, 18 Februari 2019. (Foto: Robikin Emhas/PBNU)

Delegasi Indonesia yang melawat ke Xinjiang, China, sepekan terakhir memastikan kabar yang beredar tentang adanya penangkapan dan penganiayaan terhadap warga Muslim-Uighur dan keberadaan “kamp konsentrasi” di sana tidak benar.

“Saya tidak mendapati kamp-kamp pengasingan dan penjara sebagaimana yang dimaksud dalam beberapa kabar,” demikian ditegaskan Ketua PBNU Robikin Emhas yang memimpin langsung delegasi Indonesia ke Xinjiang.

Diwawancarai melalui telepon pada Minggu malam (24/2) tak lama setelah mendarat di bandara Soekarno-Hatta Cengkareng seusai lawatan itu, Robikin Emhas mengatakan “dua tempat yang diberitakan sebagian kalangan sebagai kamp, ternyata merupakan Vocational Education and Training Center (Pusat Pelatihan dan Pendidikan Vokasi.red), tepatnya yang berada di Moyu County, Hotan dan di Kashi City, Kashgar.”

Ketua PBNU Robikin Emhas datang dan berbicara dengan sejumlah warga Muslim-Uighur di Pusat Pelatihan dan Pendidikan Vokasi, di Kashgar, Xinjiang, 18 Februari 2019. (Foto: Robikin Emhas/PBNU)

Selama kunjungan selama lebih dari satu pekan itu, delegasi Indonesia yang terdiri dari perwakilan PBNU, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia MUI, mendatangi langsung dan berbicara dengan begitu banyak orang di Hotan dan Kashgar, dua daerah di Provinsi Xinjiang, di barat laut China, yang mayoritas beragama Islam.

“Kami memang datang untuk memastikan langsung informasi yang beredar dan kami diberi akses untuk berkomunikasi tidak saja dengan organisasi dan otorita berwenang disana, tetapi juga peserta didik di pusat pelatihan dan warga masyarakat lainnya,” kata Robikin.

BACA JUGA: Kelompok Muslim Uighur Serukan China untuk Unggah Video Penghuni Kamp Internir

Lebih jauh Robikin Emhas mengatakan ada beberapa catatan yang disampaikan kepada otorita berwenang di Xinjiang setelah lawatan itu, antara lain agar warga Muslim-Uighur tetap diberi kesempatan menjalankan ibadah mereka seluas-luasnya.

“Mereka memang mengatakan bahwa prinsip yang kami anut di negara kami adalah memisahkan antara agama dan negara. Jadi di ruang private, silahkan melakukan ibadah sebagaimana mestinya,” kata Robikin.

“... Kami tetap berharap kebebasan memeluk agama juga disertai dengan kebebasan menjalankan ibadahnya, dimana pun dan kapan pun sesuai ketentuan agama masing-masing. Karena itu adalah hak mendasar. Kami sampaikan itu kepada otorita berwenang disana,” ujarnya.

Delegasi Indonesia pimpinan Ketua PBNU Robikin Emhas bersama Imam Masjid Jiamai dan Presiden Xianjing Islamic Institute yang sekaligus Chairman of Xianjing China Islamic Association seusai salat Jumat (22/2).

Pemerintah China tampaknya memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan perhatian pada Muslim-Uighur di Xinjiang, antara lain dengan membangun masjid dan musholla bagi warga dan meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi.

Menurut Robikin, dari total 24 juta penduduk Xinjiang, sekitar 11 juta adalah warga Muslim. Ada sekitar 1.500 masjid dan mushola di wilayah tersebut, yang artinya setiap 400 warga Muslim Xinjiang mendapat satu rumah ibadah, tutur Robikin.

BACA JUGA: Turki Desak China Tutup "Kamp Konsentrasi" Muslim Uighur

“Kalau dibandingkan dengan Indonesia yang jumlah penduduknya 256 juta dan warga Muslim mencapai 80 persen, jumlah masjid kita ada 1.800.000 – memang belum termasuk musholla, langgar dan sebagainya,” kata Robikin. “Tetapi jika Indonesia dijadikan padanan, ini menunjukkan jumlah masjid di Xinjiang juga sudah luar biasa banyaknya,” ujar Robikin menambahkan.

Robikin menyempatkan diri datang ke beberapa masjid, bahkan salat Jumat bersama.

Warga Muslim-Uighur menyambut kedatangan sebagian delegasi Indonesia di rumah mereka dengan menghadirkan jamuan khas Xinjiang dan buah-buahan segar saat kunjungan yang dimulai 18 Februari 2019. (Foto: Robikin Emhas/PBNU)

Menurut informasi yang diperoleh VOA, seluruh masjid di Xinjiang mendapat subsidi dari negara, termasuk gaji untuk imam dan amir masjid, tanpa campur tangan apapun dari pemerintah.

“Pemerintah China sudah sungguh-sungguh berkomitmen mengurangi, pada tingkat yang paling mungkin dilakukan, munculnya letupan ketidakpuasan atau ekstremisme dengan berbagai cara,” ujar Robikin.

“Kami apresiasi ini. Meskipun tentunya kami harap mereka tetap bersedia mendengar masukan dan catatan yang kami sampaikan agar suasana di Xinjiang tetap tenteram, dan tidak ada lagi kabar-kabar hoaks seperti yang selama ini beredar,” ujar Robikin Emhas menutup pembicaraan dengan VOA. [em]