Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tak Jadi Prioritas 2020?

Foto ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Tumisu/Pixabay)

Tugas utama Nur Imroatus di Jaringan Perempuan Yogyakarta setiap harinya adalah mengumpulkan dan mencatat berita kekerasan terhadap perempuan yang diberitakan di berbagai media di Tanah Air.

Setiap bulannya, ia akan merangkum semua data itu dan membaginya berdasarkan jenis kasus, daerah, korban dan pelaku. Rangkuman berita tersebut menjadi salah satu bahan catatan aktivis dan organisasi perempuan di Indonesia.

“WNA Pedofil Buronan FBI di Kebayoran Baru Cabuli Anak di Bawah Umum,” “Guru di SMP Bojonegoro Perdaya 25 Perempuan Untuk Berfoto Bugil dan Memperkosa Tiga Diantaranya,” “Dukun di Depok Jabar Cabuli Empat Perempuan,” dan banyak lainnya, adalah sebagian berita dalam rangkuman yang dibuat Nur.

Sepanjang Juni lalu saja, Nur mencatat ada 240 kasus kekerasan seksual dari ratusan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia.

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menunjukkan spanduk dalam unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

“Setiap hari ratusan berita kami baca. Setiap hari kami sesak nafas dan tak jarang menangis. Kami tak bisa bantu banyak buat korban. Jadi kami sakit dan sedih saat membaca RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas. Saya marah dan pastinya korban jauh lebih marah,” ujar Nur lewat pesan WhatsApp.

Nur merujuk pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly

Badan Legislasi (Baleg) DPR, Menteri Hukum dan HAM Yasonna F. Laoly, dan Panitia Perancang Undang-Undang (UU) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengurangi 16 RUU dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas ) Prioritas Tahun 2020, termasuk RUU PKS, yang sebelumnya dibahas di Komisi VIII.

“RUU PKS ditarik (dari Prolegnas Prioritas 2020.red) karena pembahasannya agak sulit. Kami menarik dan sekaligus mengusulkan yang baru yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia,” kata Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang kepada wartawan di DPR.

BACA JUGA: RUU P-KS Didorong Rampung 2020, Apakah Mungkin?

Tak Merasakan Situasi Genting

Sehari setelah keputusan itu Komnas Perempuan mengeluarkan pernyataan keras yang menyesalkan penundaan pembahasan RUU PKS.

“Penundaan berulang ini dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual,” kata Komnas Perempuan dalam pernyataannya tersebut.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. (Foto: Courtesy/Komnas Perempuan)

Diwawancarai VOA melalui telepon, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan pihaknya tidak dapat memahami alasan penundaan karena pandemi virus corona membuat pembahasan tidak berlangsung efektif dan “pembahasannya sulit.”

Alasan terakhir ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang.

“Kuat dugaan bahwa memang ada sebagian anggota dewan yang tidak serius atau tidak paham dengan gentingnya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia,” ujar Andy.

Komnas Perempuan dalam pernyataan persnya mengingatkan bahwa pandemi virus corona tidak menyurutkan kasus kekerasan seksual.

Menurut Komnas HAM, selama Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau relasi personal, di mana 24 persen adalah kasus kekerasan seksual. Sementara pada ranah komunitas, kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus di mana 89 peren atau 203 kasus adalah kekerasan seksual.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan melonjak 792 persen atau delapan kali lipat. Angka-angka ini merupakan fenomena gunung es, karena kondisi sebenarnya bisa jadi lebih buruk lagi dan menunjukkan bahwa perempuan Indonesia hidup dalam kondisi yang tidak aman.

BACA JUGA: Kesenjangan Akses dan Literasi Digital Merugikan Perempuan

Tak Pernah Dibahas Komisi

Ketua Koalisi Perempuan Indonesia KPI, Mike Verawati Tangka, juga menyampaikan penyesalan serupa.

Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia KPI. (Foto: Courtesy)

“(Saya) sudah mencium potensi dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 sejak dua bulan lalu ketika masih saja ada yang menilai RUU ini sebagai produk Barat,” ujar Mike dalam wawancara dengan VOA melalui telepon.

Ia lebih kecewa lagi setelah mengetahui bahwa keputusan itu sebenarnya tidak diambil dalam rapat Komisi VIII. Namun lebih merupakan pernyataan pribadi wakil ketua komisi saja.

Hal ini dibenarkan anggota Komisi VIII dari faksi PDI-Perjuangan Diah Pitaloka.

“Saya juga ingin klarifikasi bahwa itu bukan statement Komisi VIII karena pertama, kita tidak pernah melakukan rapat untuk memutuskan itu. Kedua, itu statement pribadi Pak Marwan yang kemudian dipandang sebagai pernyataan Komisi VIII,” ujarnya.

Mengapa Dinilai “Sulit?”

Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tunda hingga 2021 merupakan salah satu RUU yang memiliki perjalanan panjang. Kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak, yang kian marak mendorong Komnas Perempuan untuk menggagas RUU ini pada 2012.

Setelah berjuang selama hampir empat tahun, pada Mei 2016 DPR meminta Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik yang kemudian dibahas dan dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas pada 2016. Presiden Joko Widodo sendiri menyampaikan dukungannya pada Juni tahun yang sama.

Karangan bunga di dekat pintu masuk bagian belakang kompleks DPR di Senayan dari berbagai organisasi perempuan sebagai bentuk keprihatinan dan mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Jakarta,

Setahun kemudian RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR yang akan dibahas di Komisi III yang membawahi masalah hukum dan keamanan. Dalam perjalanannya, pembahasan diserahkan ke Komisi VIII yang membawahi agama dan sosial. Draft RUU PKS yang berisi 152 pasal kemudian dikirim ke pemerintah, yang kemudian memangkasnya menjadi 50 pasal.

Sepanjang 2018, Komisi VIII DPR mengundang berbagai elemen masyarakat untuk memberikan pendapat, yang kemudian menuai pro dan kontra.

Sekelompok perempuan pernah membuat petisi menolak RUU PKS, yang mereka sebut sebagai “RUU pro zina” di platform Change.org yang ditandatangani oleh lebih dari 125 ribu orang. Namun beberapa kelompok lain dengan lantang mendorong DPR segera mengesahkan RUU yang dinilai penting di tengah kondisi “darurat kekerasan seksual” itu. Berbagai aksi demonstrasi sempat terjadi di beberapa kota, baik dari kelompok yang mendukung maupun menentang RUU ini.

Petisi Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Foto: Screengrab/Change.org)

Pada akhir 2018 DPR memutuskan menunda pembahasan RUU PKS hingga berakhirnya pemilu 2019, dan mulai dikebut kembali pada awal 2020.

Ketua KPI Mike Verawati Tangka mengatakan pihak yang menentang RUU PKS berasal dari dalam dan luar DPR.

“Ada logika yang lompat ketika membahas pasal tentang kekerasan seksual atau perkosaan dalam keluarga, termasuk dalam perkawinan. Lalu dikaitkan dengan dalil kewajiban istri melayani suami. Atau ketika membahas potensi kekerasan di antara sesama jenis, lalu dikaitkan dengan isu LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer) atau melegalkan perkawinan sesama jenis,” ujar Mike kepada VOA.

Selain itu, imbuhnya, ada pihak yang menganggap RUU PKS ini sebagai produk Barat atau mengaitkan dengan agenda kelompok liberal dan kelompok feminis yang ingin mengubah tatanan budaya.

“Saya bingung juga, apakah tidak melihat berita-berita maraknya kekerasan seksual di tengah kita?” ujarnya.

BACA JUGA: Keluarga Korban Kekerasan Seksual di Gereja Butuh Rehabilitasi

Menutup Celah Hukum

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai hal ini mengganggu perhatian para perumus kebijakan yang belum memahami secara utuh persoalan kekerasan seksual, yang bukan sekedar persoalan kesusilaan semata, sebagaimana yang dikonstruksikan dalam KUHP selama ini.

Menurut Andi, RUU PKS dirancang untuk menutupi celah hukum dalam mengatasi kekerasan seksual yang tidak tercantum dalam legislasi yang ada sekarang. Antara lain, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak dan lain-lain.

“Jika saya mencontohkan kasus perkosaan misalnya, ketika korban akan melapor ia juga dibebani pertimbangan apakah pengakuannya akan diakui atau tidak karena latar belakang atau potensi penghakiman pada karakter dirinya, sebagai perempuan bermoral atau tidak,” papar Andy.

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

Hal itu, ujarnya, karena tolok ukur yang digunakan masyarakat Indonesia adalah kesusilaan.

Mengutip kajian Komnas Perempuan, Andy memaparkan dari sejumlah kasus perkosaan yang dilaporkan ke lembaga pengada layanan pada 2016-2019, hanya 29 persen yang diproses oleh kepolisian.

“Dan dari angka itu pun hanya 22 persen yang diputus di pengadilan,” papar Andy.

Ia juga menggarisbawahi bahwa RUU PKS tidak saja lebih berpihak pada korban, tetapi juga mendorong upaya pencegahan dan pemulihan, sosialisasi, edukasi dan advokasi, termasuk keikutsertaan masyarakat luas.

BACA JUGA: Aktivis Desak Pengesahan RUU P-KS Demi Kepastian Hukum dan Perlindungan Kelompok Rentan

Yakin RUU PKS akan Diloloskan

Diah Pitaloka, anggota Komisi VIII DPR dari faksi PDI-Perjuangan mengatakan tetap yakin RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan selesai dibahas tahun depan. Pasalnya, menurut Diah, meski dikeluarkan dari Prolegnas 2020, RUU PKS akan masuk Prolegnas 2021 yang akan dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg).

“Jadi menurut saya dibahas di Baleg pun bagus karena di situ juga ada teman-teman komisi lain yang bahkan nanti bisa melihatnya dari dimensi kesehatan, dimensi perlindungan sosial, dimensi hukum dan lain-lain,” papar Diah.

“Ini harus diloloskan karena ini persoalan riil yang jadi keprihatinan rakyat. Masak kita yang wakil rakyat malah menundanya?” imbuhnya.

Para peserta pawai membawa poster-poster mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) di Jakarta, 8 Desember 2018. RUU P-KS mengatur secara spesifik sembilan bentuk kekerasan yang selama ini belum masuk di KUHP. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Diah mengatakan PDI-Perjuangan dan partai-partai lainnya, seperti Partai Nasdem dan Golkar, sejak awal mendukung RUU PKS. Dia optimis partai-partai lain juga akan menyadari pentingnya legislasi itu.

“Memang problematik secara paradigma, tetapi intinya adalah orang tidak lagi bisa menolak bahwa kita punya persoalan kekerasan seksual yang harus diselesaikan,” ujarnya menutup pembicaraan. [em/aa/ft]