Krisis Kepemimpinan di Eropa Hadapi Serangan Teroris

Perdana Menteri Inggris, Theresa May (foto: dok).

Bagaimana pemimpin nasional menanggapi krisis, buatan manusia atau alam, dapat membuat berhasil atau gagal dan membatasi masa jabatan mereka, jika mereka salah menanggapinya.

Selain menunjukkan tekad untuk membetulkan yang salah atau memperbaiki yang rusak, apakah mereka terhubung dan menyalurkan kesedihan suatu bangsa sebagai pemimpin berkabung yang mengilhami?

Kini pertanyaan itu diajukan kepada Perdana Menteri Inggris, Theresa May ketika dia menghadapi kemarahan publik atas tanggapannya terhadap kebakaran yang memusnahkan sebuah apartemen minggu lalu di London, menyebabkan setidaknya 59 orang tewas, puluhan orang hilang dan ratusan orang kehilangan tempat tinggal.

Terhuyung dari serangan teroris ke bencana buatan manusia dan pada hari Senin, Inggris kembali diterpa serangan teror lainnya, May terlalu sering muncul, menurut kritikus, tidak acuh dan tidak berperasaan. Secara luas ia dijuluki sebagai "Maybot" atas tanggapannya yang sering tak acuh dan kegagalannya untuk mengunjungi korban dan penyintas dari serangan teror dan kebakaran tadi memicu kemarahan.

Tuduhan bahwa May tidak berperasaan ditolak oleh para pembantunya sebagai tidak adil, tapi bahkan tabloid Konservatif di negara itu juga mengeritiknya. Kolumnis Tory Simon Heffer mencercanya karena "penampilan yang robotik dan tak acuhnya" dan sepenuhnya tidak terhubung dengan publik."

Para pemimpin Eropa sedang diuji, dan bagaimana mereka bertindak purna musibah bisa membantu mereka menenangkan emarahan publik, menyalurkannya atau ditelan oleh kemarahannya itu, kata para pengamat. [ps/al]