Ketua Asosiasi Petani Garam: Garam Impor Pukul Petani Lokal

  • Iris Gera

Para petani garam lokal di dalam negeri merasa terpukul dengan membanjirnya garam impor yang membuat pendapatan mereka turun drastis (foto: ilustrasi).

Saat ini garam impor menguasai sekitar 70 persen pasar dalam negeri, sehingga petani garam lokal terpukul karena pendapatan mereka turun drastis.

Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia dipusingkan dengan kedatangan ribuan ton garam impor yang harganya tidak berbeda jauh dengan harga garam lokal. Saat ini garam impor sudah menguasai pasar dalam negeri sekitar 70 persen dari kebutuhan nasional sehingga menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (APGASI), Syaiful Rahman, petani garam lokal merasa sangat terpukul karena pendapatan mereka turun drastis.

Kepada VoA di Jakarta, Sabtu, Syaiful Rahman mengeluh atas ketidakberdayaan pemerintah mencegah garam impor. Dua negara yang paling agresif mengimpor garam ke Indonesia adalah Australia dan India. Jika harga garam lokal sekitar Rp 500 per kilogram, harga garam impor juga tidak berbeda jauh. Dengan semakin tingginya minat importer mendatangkan garam dari luar negeri menurut Syaiful Rahman membuat garam lokal semakin tidak berdaya.

Syaiful mengatakan, “Garam Australia itu nyampe di Indonesia harganya itu sekitar 600-an, yang dari India berkisar 500, harga garam lokal kita antara 450 sampai 550, nah ini yang sangat memporakporandakan perekonomian para petani garam kita.”

Syaiful Rahman juga menegaskan aturan soal garam sudah dituangkan dalam tata niaga garam sejak 2007, di antaranya meski diperbolehkan menampung garam impor, para importir garam juga diwajibkan membeli sebagian stok garam mereka dari petani lokal dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah untuk kualitas atau KW satu dan KW dua.

“Importir garam itu harus membeli garam kepada petani sesuai dengan harga dasar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu KW satu 750, KW dua 550, mereka itu melakukan impor sudah diatur waktunya dan kapan mereka dilarang untuk impor,” papar Syaiful Rahman.

Syaiful Rahman berharap pemerintah memperhatikan nasib petani garam lokal karena tanpa adanya serbuan garam impor pun kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Penghasilan para petani garam lokal harus dibagi tiga antara pemilik, penggarap dan buruh.

“Per hektar dia itu bisa menghasilkan garam sekitar 80 sampai 100 ton per musim, per musim normalnya itu 4 bulan, kalau misalkan dia punya margin Rp 100 per kilo, per bulan itu hanya bisa Rp 400 ribu,” jelas Ketua APGASI ini.

Persoalan garam impor membuat hubungan antara Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad dengan Menteri Perdagangan, Mari Pangestu tidak harmonis sehingga Presiden Yudhoyono sempat meminta keduanya menyelesaikan persoalan secara baik.

Menurut Menteri Fadel sebagai negara yang memiliki pantai cukup luas tidak pantas melakukan impor garam dan menilai kementerian perdagangan yang mendesak garam segera diimpor.

Sementara, Menteri Mari Pangestu menegaskan garam impor untuk cadangan jika ternyata nanti produksi garam lokal tidak cukup memenuhi kebutuhan garam nasional akibat cuaca buruk. Namun Menteri Fadel bersikukuh akan memulangkan kapal-kapal yang membawa garam impor ke Indonesia seperti yang sudah dilakukannya pada Juli lalu terhadap kapal India dan Australia.

Menteri Kelautan, Fadel Muhammad mengatakan, “(Bulan) Juli kapal yang masuk itu kapal Shining itu bawa 8 ribu ton dari India kemudian kapal NV Good Princes bawa 29 ribu ton.”

Menurut catatan APGASI kebutuhan garam nasional rata-rata per tahun sekitar 1,2 juta ton dan sebenarnya masih surplus karena kemampuan produksi garam lokal sekitar 1,4 juta ton. Apgasi juga pesimistis pemerintah akan bersungguh-sungguh mengupayakan swasembada garam konsumsi yang ditargetkan pada tahun 2013 dan swasembada garam industri pada tahun 2014.