Kekerasan Seksual di Gereja Herkulanus Depok

Anak-anak menyanyikan lagu-lagu Natal di Gereja (foto: ilustrasi).

Sedikitnya 21 korban pencabulan di Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok, Jawa Barat, telah melapor pada tim pendamping korban sepanjang pekan lalu. Kuasa hukum mereka berharap pelaku dihukum seumur hidup.

Kuasa hukum anak-anak korban pencabulan di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok, Azas Tigor Nainggolan mengatakan ada 21 korban yang berusia 11-15 tahun yang melapor ke tim pendamping korban per Kamis (25/6). Tigor memperkirakan jumlah korban pencabulan yang dilakukan SPM (pembimbing anak di gereja) akan terus bertambah seiring investigasi internal gereja terhadap kemungkinan adanya korban lain.

Kuasa hukum anak-anak korban pencabulan di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok, Azas Tigor Nainggolan.

Ia berharap kepada korban atau orang tua mau melapor supaya kasus pencabulan yang dilakukan SPM (42 tahun) di rumah ibadah dapat dituntaskan dan korban mendapatkan rehabilitasi.

"Sampai kemarin (25/6) itu sudah ada 21 korban. Akhirnya ada satu korban yang awal, kami laporkan ke polisi. Jadi di polisi ada dua pelapor, tapi yang lainnya belum diterima oleh polisi belum dipanggil untuk diperiksa," jelas Azaz Tigor kepada VOA, Jumat (26/6).

Pencabulan Terungkap dari Pengakuan Orang Tua Korban

Tigor menuturkan kasus pencabulan yang dilakukan SPM terhadap anak-anak yang aktif di gereja pada mulanya terungkap dari pengakuan orang tua dan korban pada 24 Mei lalu. Pada hari yang sama, Tigor kemudian mendampingi keluarga dan korban untuk melapor ke Polres Metro Depok, serta melakukan visum di RS Polri Kramat Jati, Jakarta. Kegiatan visum kemudian dilanjutkan pada pagi esok hari (25/6) karena sudah malam.

"Baru siang, kami ke Polres Depok lagi untuk mulai pemeriksaan, lapor dan saksi korban. Itu terangkat terus sampai membedakan saksi, mendapat bukti-bukti dicari segala macam," imbuhnya.

Kapolres Metro Depok Aziz Andriansyah menunjukkan barang bukti kasus pencabulan yang dilakukan pengurus kepada anak yang aktif di gereja di Mapolrestro Depok, Senin 15 Juni 2020. (Courtesy: Polres Depok)

Usai pelaporan ini, pihak gereja kemudian membentuk tim, yang di dalamnya termasuk Azaz Tigor, untuk menemukan korban-korban lainnya. Tim tersebut kemudian berhasil menemukan 13 korban lainnya pada 4 Juni 2020 dan kasusnya mulai menjadi pembicaraan di jemaat.

SPM yang merasa tidak nyaman dengan isu ini kemudian mendekati Pastor Paroki Santo Herkulanus Yosep Sirilus Natet agar kasusnya tidak dilanjutkan. Namun, kata Tigor, Romo menjelaskan kepada SPM bahwa telah menerima informasi adanya kekerasan seksual yang dilakukan SPM. Hingga kemudian disepakati akan digelar pertemuan antara SPM dengan para orang tua anak yang aktif di gereja pada 6 Juni 2020.

"Dalam pertemuan itu awalnya tidak ngaku, hanya bilang peluk-peluk, cium-cium, pangku-pangku. Akhirnya begitu kami buka pelan-pelan, baru dia ngaku melakukan yang lain. Sampai oral seks dan anal seks."

BACA JUGA: Kardinal Pell Tuding Pandangan Konservatif Dibalik Tuduhan Pelecehan Seksual

Tersangka Mengaku Melakukan Kekerasan Seksual Sejak 2002

Masih kata Tigor, SPM mengaku melakukan kekerasan seksual sejak 2002 hingga tahun ini terhadap 11 anak. SPM kemudian menulis nama korban, waktu kejadian dan tindakan yang dilakukan di surat pernyataan. Adapun lokasi kejadian beragam mulai dari rumah pelaku, mobil, hingga di perpustakaan gereja. Peserta pertemuan kemudian menyepakati untuk bertemu di kantor polisi pada Senin (8/6) untuk menuntaskan kasus ini. Namun, SPM tidak hadir di Polres Metro Depok pada hari yang disepakati.

Polisi kemudian melakukan gelar perkara pada Kamis (11/6) dan menetapkan SPM sebagai tersangka kekerasan seksual terhadap dua anak korban. Ia dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. SPM ditangkap dan ditahan polisi pada Minggu (14/6) untuk masa 20 hari ke depan guna penyidikan.

Profil pelaku pada korban yang menjadi terlindung LPSK. (Courtesy: LPSK)

Tigor berharap aparat hukum juga menjerat SPM dengan pasal pemberatan sehingga terduga pelaku mendapat hukuman maksimal 20 tahun penjara atau hukuman seumur hidup. Ia juga meminta gelar yang melekat kepada SPM agar dicabut jika nantinya terbukti melakukan kekerasan seksual. Selain itu, ia juga menuntut pelaku memberikan restitusi atau ganti rugi kepada korban.

"Kalau pemerintah konsisten menegakkan aturan, masyarakat melihat itu akan menjadi bagus. Masyarakat jadi percaya dan berani untuk melaporkan. Sehingga ini bisa terbongkar semua kasus kekerasan seksual, kuncinya pemerintah mendorong penuntasan."

VOA sudah meminta klarifikasi kepada kuasa hukum SPM terkait kasus ini. Namun, kuasa hukum SPM belum mau memberikan klarifikasi karena masih fokus pada persoalan hukumnya.

BACA JUGA: Polisi Tangkap Warga AS Buronan FBI

Polisi Masih Melengkapi Berkas Perkara

Kapolres Metro Depok Aziz Andriansyah mengatakan kepolisian Depok masih melengkapi bukti-bukti supaya dapat segera dilimpahkan ke jaksa penuntut umum. Menurut Aziz, masih ada korban lain yang melapor ke polisi, selain dua korban yang telah diproses. Namun, polisi belum memproses laporan tersebut karena pertimbangan privasi korban.

"Yang paling penting adalah bagaimana kita menangani korban-korban ini supaya nantinya tidak trauma, dan jangan sampai mereka menjadi calon pelaku berikutnya. Karena perbuatan seperti ini, bahasa kampungnya bisa menular," tutur Aziz Andriansyah kepada VOA, Kamis (25/6/2020).

Aziz menambahkan polisi telah mengantongi barang bukti kerupa pakaian korban dan kain yang digunakan untuk membersihkan setelah pencabulan. Polisi juga telah memeriksa lima saksi terkait kasus ini.

Ia mengimbau kepada orang tua dan anak lainnya yang menjadi korban SPM agar melapor ke polisi. Ia menjamin akan menjamin privasi pelapor sehingga tidak akan bocor ke publik.

KPAI Pastikan Proses Hukum Tetap Lindungi Anak

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina mengatakan telah berkoordinasi dengan Polres Metro Depok terkait kasus yang menimpa dua anak laki-laki ini. Ini untuk memastikan proses hukum yang sedang ditempuh kedua anak berjalan dengan baik. KPAI juga telah meminta Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak atau P2TP2A Kota Depok untuk memberikan konseling untuk menghilangkan trauma korban.

Data korban anak yang menjadi terlindung LPSK. (Courtesy: LPSK)

"Sejauh ini KPAI mengapresiasi komitmen pihak gereja untuk membuka kasus ini dan kemudian melakukan pemeriksaan internal sehingga muncul korban-korban lain dari pemeriksaan tersebut," kata Elvina kepada VOA, Rabu (24/6/2020).

Berdasarkan data KPAI sejak 2011-2020, kasus anak berhadapan dengan hukum merupakan pengaduan tertinggi dengan jumlah 12.649 pengaduan, disusul pengaduan keluarga dan pengasuhan alternatif 7.492 pengaduan, serta pornografi dan kejahatan siber 4.139 pengaduan.

LPSK Siap Dukung

Turut menambahkan, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, lembaganya juga memantau kasus kekerasan seksual di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok. Kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia yang meningkat setiap tahun. Kondisi ini terlihat dari meningkatnya permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK dari 35 korban pada 2016 menjadi 231 korban pada 2019.

"Sedang dalam proses penelaahan atau investigasi ya," tutur Edwin, Kamis (25/6/2020).

Your browser doesn’t support HTML5

Kekerasan Seksual di Gereja Herkulanus Depok


Sementara, berdasarkan wilayah korban yang mengajukan permohonan perlindungan, LPSK mencatat ada 24 provinsi asal permohonan pada 2019. Jawa Barat menempati urutan teratas dengan 57 korban, diikuti DKI Jakarta 41 korban, dan Sumatera Utara 38 korban.

Tercatat ada 231 anak yang menjadi korban kekerasan seksual dengan usia yang variatif mulai dari balita (10 korban) dan selebihnya berusia 6-18 tahun. Sebagian besar korban berjenis kelamin perempuan sebanyak 174 anak dan sisanya anak laki-laki.

Dari sisi pelaku, sebanyak 80 persen pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dikenal korban, di mana 37,6 persen di antaranya merupakan keluarga inti korban dan pemuka agama 3,5 persen. [sm/em]