Indonesia Bantah Ada Tekanan Arab Saudi terkait Resolusi PBB di Yaman

Anak-anak Yaman memeriksa gedung sekolah mereka yang hancur oleh serangan udara koalisi pimpinan Saudi di kota pelabuhan Hodeida, Yaman (foto: dok).

Kementerian Luar Negeri Indonesia hari Jumat (3/12) membantah laporan yang mengatakan ada dugaan Indonesia mendapat tekanan dari Arab Saudi untuk menentang resolusi PBB guna menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik di Yaman. Tekanan itu dalam bentuk hambatan bagi warga Indonesia yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Diwawancarai VOA, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan laporan itu “janggal karena hanya menyebut dua negara – termasuk Indonesia – dari sedemikian banyak negara yang menolak resolusi tersebut.” Ditambahkannya, “lebih janggal lagi karena dikaitkan dengan isu umrah.”

“Insentif dan Ancaman” Arab Saudi

The Guardian hari Rabu (1/12) melaporkan bahwa Arab Saudi menggunakan “insentif dan ancaman” sebagai bagian dari lobi kampanye untuk menghentikan penyelidikan PBB terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan semua pihak dalam konfik Yaman, termasuk yang dilakukan koalisi militer pimpinan Arab Saudi.

BACA JUGA: UNICEF: 10.000 Anak Tewas dan Terluka Selama Perang Yaman

Dewan HAM PBB pada tahun 2017 sepakat mengirim kelompok “pakar terkemuka” ke Yaman untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran tersebut hampir dua tahun setelah koalisi pimpinan Arab Saudi melancarkan ofensif militer untuk mendukung Presiden Abdul Rabbu Mansour Hadi yang diakui masyarakat internasional, namun digulingkan oleh kelompok Houthi. Pasukan koalisi itu – dan juga kelompok Houthi – sama-sama dituding telah membom sekolah, rumah sakit dan berbagai target sipil lain.

Setahun setelah disetujuinya keputusan untuk mengirim tim penyelidik itu, Human Rights Watch pada September 2018 menuduh Arab Saudi melakukan “upaya terang-terangan untuk menghindari penyelidikan” tersebut.

Seniman Yaman Haifa Subay melukis mural bergambar seorang anak Yaman yang tinggal tulang akibat malnutrisi karena perang yang berkepanjangan (foto: ilustrasi).

Laporan The Guardian itu mengatakan “upaya Arab Saudi berhasil ketika pada bulan Oktober lalu Dewan HAM PBB memutuskan untuk tidak memperpanjang penyelidikan independen terhadap kejahatan perang di Yaman.” Penghentian penyelidikan itu menandai kekalahan pertama badan di Jenewa itu dalam 15 tahun untuk memperpanjang sebuah resolusi.

Dalam pemungutan suara pada awal Oktober itu, 21 negara menolak perpanjangan resolusi, 18 menyetujui, tujuh abstain, sementara Ukraina sama sekali tidak mendaftar untuk memilih. Mereka yang menentang antara lain Bangladesh, China, Kuba, India, Indonesia, Libya, Pakistan, Filipina dan Libya. Sementara yang menyetujui perpanjangan resolusi itu antara lain Argentina, Brazil, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Meksiko dan Korea Selatan. Jepang termasuk diantara tujuh negara yang abstain.

Mengutip sumber-sumber pejabat politik, diplomat dan aktivis – yang tidak semua namanya diidentifikasi dalam laporan itu – The Guardian melaporkan bahwa Arab Saudi “secara sembunyi-sembunyi menggunakan kampanye untuk mempengaruhi pejabat-pejabat agar tidak mendukung perpanjangan resolusi PBB itu.

Anak Yaman Manea Abdul-Latif Marzouq (12 tahun) dirawat di rumah sakit akibat terluka dalam serangan udara koalisi pimpinan Arab Saudi (foto: dok).

“Dalam satu kasus, Riyadh diduga telah memperingatkan Indonesia bahwa pihaknya akan menciptakan hambatan bagi warga Indonesia untuk melakukan ibadah ke Mekkah jika pejabat Indonesia tidak memberikan suara menentang resolusi 7 Oktober itu,” tulis laporan tersebut.

Indonesia abstain dalam pemungutan suara untuk resolusi Yaman tahun 2020, tetapi pada tahun 2021 ini Indonesia menentang resolusi itu.

Jubir Kemlu: Janggal Kaitkan Sikap Indonesia di PBB dengan Umrah

Juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah (foto: VOA/Fathiyah)

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan “sebuah draft (rancangan.red) resolusi lazimnya dikonsultasikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pemungutan suara, untuk mendengar pandangan atau concern (keprihatinan.red) negara terkait. Dan ini tidak dilakukan oleh negara-negara yang mensponsori rancangan resolusi tersebut.”

Ia menyangkal jika sikap Indonesia menentang resolusi itu karena tekanan Arab Saudi. “Sekali lagi, sulit dipahami kenapa Indonesia saja yg disebut dalam artikel tersebut, karena banyak negara yang vote against (memilih menolak perpanjang resolusi PBB.red) itu,” tegas Faizasyah.

“Lebih janggal lagi karena dikaitkan dengan isu umrah, sementara kita sama-sama mengetahui banyak negara melarang warga Indonesia masuk saat itu karena tingginya infeksi Covid-19. Akses untuk WNI umrah baru diberikan ketika Indonesia bisa menekan angka kasus Covid-19, dan ini diakui dunia. Aturan teknisnya baru saja diselesaikan dengan Arab Saudi,” paparnya.

Menag: Tak Ada Syarat Apapun dari Arab Saudi Terkait Umrah, Selain Soal Vaksin

Menteri Agama Yaqut Choilil Qaumas (Kemenag RI)

Diwawancarai secara terpisah, Menteri Agama Yaqut Choilil Qaumas, mengatakan “tidak ada syarat apapun (terkait umrah) kecuali soal dua dosis vaksin dan karantina jika vaksin yang digunakan adalah vaksin yang diakui WHO, dan tanpa karantina jika vaksinnya menggunakan yang diakui Kerajaan Arab Saudi – yaitu Pfizer, Johnson&Johnson, Moderna dan AstraZeneca.”

Yaqut, yang pekan lalu baru saja kembali dari Arab Saudi dan membawa kabar gembira tentang diijinkannya warga Indonesia kembali berumrah mulai 1 Desember ini, memastikan bahwa pencabutan penangguhan penerbangan dari Indonesia sebagai alasan yang diperbolehkannya kembali pelaksanaan umrah.

BACA JUGA: Arab Saudi Izinkan Warga Indonesia Berumrah Mulai 1 Desember

Konflik di Yaman telah menewaskan lebih dari 100 ribu orang dan memaksa empat juta lainnya mengungsi ke negara-negara tetangga. [em/lt]