Densus 88 Dipuji Karena Bendung Serangan Terorisme

Para anggota Detasemen Khusus 88 memasuki sebuah bangunan di Batam dalam penggerebekan pada Agustus 2016.

Dalam enam tahun terakhir, hanya ada satu serangan besar di Indonesia yang menyebabkan kematian warga sipil.

Di saat dunia sedang memerangi lonjakan serangan dan rencana militan-militan Islamis, unit anti-terorisme Indonesia mendapat pujian karena membendung gelombang serangan-serangan berdarah di negara ini.

Pihak berwajib di Indonesia telah menggagalkan setidaknya 15 serangan tahun ini saja dan melakukan lebih dari 150 penahanan, mengacaukan rencana dari mulai serangan bunuh diri di Jakarta sampai serangan roket di Batam yang menyasar Singapura.

Tahun 2010, analisis data yang dilakukan kantor berita Reuters menunjukkan bahwa unit elit polisi, Detasemen Khusus 88 (Densus 88), telah mencegah sedikitnya 54 rencana atau serangan di Indonesia.

"Densus 88 telah menjadi lebih baik dibandingkan kelompok kontraterorisme mana pun di dunia," ujar Greg Barton, profesor ekspor terorisme dan riset dalam Politik Islam Global di Alfred Deakin Institute di Melbourne.

"Mereka memiliki beban kerja yang luar biasa dan mereka telah menjadi sangat hebat dalam pekerjaan mereka."

Dalam enam tahun terakhir, hanya ada satu serangan besar di Indonesia yang menyebabkan kematian warga sipil, ketika penyerang menarget pusat perbelanjaan Sarinah dan pos polisi di dekatnya dengan tembakan senjata dan bom, menewaskan tiga warga negara Indonesia dan seorang warga Aljazair-Kanada. Keempat penyerang juga tewas dalam serangan bulan Januari 2016 itu.

Antara 2003 dan 2009, ada sembilan serangan besar oleh para militan, membuat 295 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.

Sejak pembentukannya tahun 2002, Densus 88 telah memusatkan upaya besar pada pengumpulan intelijen rahasia. Sekarang banyak pekerjaan intelijen tersebut dilakukan secara daring, dengan menginfiltrasi dan memantau ruang-ruang perbincangan, media sosial dan aplikasi-aplikasi pesan yang populer di kalangan militan.

Swasembada

Hanya sedikit informasi mengenai Densus 88 yang tersedia untuk publik.

"Kami membangun organisasi kami untuk belajar dari musuh," ujar seorang pejabat kontraterorisme senior yang memberikan pengetahuan mengenai cara kerja unit tersebut dengan syarat tidak diungkapkan identitasnya.

Didirikan setelah pemboman Bali 2002 yang membunuh lebih dari 200 orang, Densus 88 memiliki sekitar 400 sampai 500 anggota, persenjataan canggih dan pelatihan, ujar seorang pejabat lain lagi. Unit ini telah menerima pendanaan lebih dari US$200 juta dari sekutu-sekutu Barat seperti Australia dan Amerika Serikat.

Unit itu dipimpin sebuah gugus kerja dengan sekitar 30 anggota senior, menurut seorang sumber kepolisian.

"Banyak di antaranya memiliki gelar doktoral dan spesialisasi seperti psikologi dan perilaku sosial," tambah sumber itu. "Mereka bukan polisi biasa."

Para anggota Densus 88 membawa perlengkapan dan senjata mereka setelah melakukan penggerebekan di rumah yang ditempati oleh militan di Kabupaten Bandung, 2013.

Para anggota Densus 88 berseragam hitam dan bersenjata berat yang terkadang terlihat dalam penggerebekan di persembunyian militan hanya mencakup jumlah kecil dalam unit tersebut, ujar para pejabat itu.

Lebih banyak personel didedikasikan untuk mengumpulkan data intelijen di lapangan dan memantau komunikasi dan aktivitas daring. Ada juga sebuah tim besar berisi para penyelidik yang menganalisis intelijen dan memeriksa peledak dan bukti lainnya secara forensik.

Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), mengatakan kunci keberhasilan Densus 88 ada pada pengumpulan intelijen.

"Mereka tahu jaringan-jaringan radikal dan memiliki informan-informan yang bagus," ujarnya. "Kemampuannya tidak tertandingi dalam hal memahami sumber-sumber kemungkinan ancaman."

Interogasi Strategis

Densus 88 telah lama dituduh melanggar hak asasi manusia oleh kelompok-kelompok HAM, termasuk pemukulan terduga separatis dan militan Islamis.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengidentifikasi 121 tersangka terorisme yang meninggal dalam penahanan sejak 2007, namun polisi terus menyangkal penggunaan penyiksaan dan pemaksaan yang tidak pantas dalam interogasi.

Amnesty International mengatakan awal tahun ini bahwa ada "kultur impunitas yang endemis" dalam kepolisian dan perlunya investigasi atas "penyiksaan" tersangka oleh Densus 88.

Namun Barton mengatakan unit itu telah mengadopsi pendekatan unik yang "strategis" untuk interogasi-interogasi yang membantu pengumpulan intelijen.

Para tersangka ditahan di kantor-kantor polisi bukannya di lembaga pemasyarakatan dan mereka diizinkan bertemu keluarga.

"Mereka duduk dan mendengarkan kisah para tersangka," ujar Barton. "Para tersangka dibuat berbicara dan itu cara yang efektif untuk mendapatkan data intelijen."

Meskipun Densus 88 mencapai sejumlah keberhasilan baru-baru ini, kekhawatirannya adalah bahwa ancaman militan terhadap Indonesia meningkat karena para pejuang Negara Islam (ISIS) kembali dari pertempuran di Suriah dan Irak. Kelompok ultra-radikal itu juga mendapat dukungan dari warga Indonesia di dalam negeri.

Sekitar 800 WNI telah pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS dan 169 orang telah dicegat dalam perjalanan dan dideportasi, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dalam dua bulan terakhir saja, ada 40 penahanan, dan sedikitnya enam serangan digagalkan, menurut pemantauan Reuters, yang menyusun data dengan bantuan staf IPAC. Setidaknya dua dari serangan-serangan tersebut direncanakan untuk Malam Tahun Baru, ujar polisi.

Banyak dari rencana serangan ini terhubung dengan ISIS, dan polisi menduga mereka diinspirasikan, atau diarahkan, oleh Bahrun Naim, militan Indonesia yang terbang ke Suriah sekitar dua tahun lalu.

"Teroris-teroris baru di dalam negeri dan jihadis-jihadis lokal ini tidak pernah pergi ke luar negeri. Namun dengan adanya era internet dan teknologi seperti media sosial, lebih mudah untuk membuat bom dan alat peledak untuk melakukan operasi," ujar seorang sumber polisi.

Pihak berwenang tetap sangat khawatir dengan serangan dalam musim liburan ini.

Dalam jangka panjang, kekhawatirannya adalah kemungkinan kembalinya para pejuang ISIS yang semakin radikal seperti Naim ke wilayah ini.

"Mereka akan menjadi tipe teroris yang berbeda dan polisi akan memiliki lebih banyak masalah lagi," ujar analis Rakyan Adibrata. [hd]