BNPT: Kelompok Teroris Akan Jadikan Bima Daerah Basis

  • Fathiyah Wardah

Pasukan TNI dalam latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Poso. (Foto: Dok)

Mereka memilih Bima karena merupakan kota kecil dan masyarakatnya dianggap sangat permisif sehingga kelompok ini akan dapat mudah melakukan kegiatannya.

Staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto, Kamis (6/8), mengatakan bahwa kelompok teroris akan menjadikan Bima, Nusa Tenggara Barat sebagai daerah basis kelompoknya setelah Poso.

Hal ini dilakukan, kata Wawan, karena mereka sudah merasa tidak aman berada di Poso karena gencarnya penindakan dan pengejaran yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap para terduga teroris yang berada di daerah itu, khususnya jaringan Santoso.

Mereka memilih Bima, kata Wawan, karena merupakan kota kecil dan masyarakat di daerah tersebut dianggap sangat permisif sehingga kelompok ini akan dapat mudah melakukan kegiatannya.

Untuk itu, Wawan berharap masyarakat di manapun termasuk di Bima harus mewaspadai gerakan perekrutan maupun propaganda yang dilakukan kelompok radikal. Mereka biasanya masuk dengan berbaur dalam kultur masyarakat, bahkan tak jarang mereka menikahi warga setempat seperti yang terjadi di Poso, ujarnya.

Kelompok teroris, menurut Wawan, awalnya akan menjadikan Aceh sebagai basisnya, salah satunya dengan menjadikan daerah itu sebagai tempat pelatihan. Tetapi karena masyarakatnya menolak dengan melaporkan tempat latihan itu kepada polisi maka mereka mengubah basisnya ke Poso. Kini setelah Poso dianggap tidak aman sehingga mereka berencana pindah ke Bima, ujar Wawan.

"Itu daerah basis. Mereka memang berencana menjadikan Bima ini sebagai daerah pengganti setelah Poso. Di Poso sekarang Daeng Koro sudah tertembak sehingga mereka secara personel juga sudah mulai berkurang," ujarnya.

Wawan menambahkan, kelompok teroris yang ada saat ini tidak mempunyai kekuatan besar. Mereka terpecah-pecah, namun harus tetap diwaspadai karena mereka terus bergerak untuk mencari pengikut, ujarnya.

Dia menyatakan kelompok teroris yang ada saat ini tetap masih ada hubungan dengan kelompok-kelompok lama seperti Jamaah Islamiyah.

BNPT dan polisi, menurut Wawan, juga melakukan pemantauan terhadap mereka yang telah bergabung dengan Negara Islam (ISIS) di Suriah dan masuk kembali ke Indonesia, meskipun kebanyakan dari mereka yang kembali itu tidak ikut di medan perang tetapi lebih di bagian medis dan juga dapur.

Sementara itu, warga Indonesia yang ikut berperang dengan ISIS di Suriah kebanyakan sudah meninggal dunia karena itulah yang mereka inginkan, meskipun jumlahnya belum dapat dipastikan.

"Sebenarnya yang mendorong mereka yang pernah bergabung dengan kelompok lama, yang memberikan suatu ajaran, ajakan, serta metode, teknik serangan dan sebagainya itu bagian mereka yang memberikan," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama Said Aqil Siradj menegaskan, orang yang terlibat dalam kelompok radikal termasuk ISIS dipastikan mereka tidak memahami Islam secara benar.

"Karena Quran melarang kekerasan, tidak boleh ada kekerasan dalam menyebarkan agama. Jadi kalau ada kekerasan itu bukan menyebarkan agama karena ada kekerasan," ujarnya.