Aneh, Masyarakat Religius Namun Korupsi Tinggi

  • Nurhadi Sucahyo

Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Tulungagung terpilih di Kementerian Dalam Negeri, Selasa, 25 September 2018. Syahri tetap memenangkan pilkada meski sudah dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. (Foto: Humas Kemendagri)

Masyarakat Indonesia dikenal kuat memegang prinsip keagamaan. Tetapi di sisi lain, praktik korupsi tumbuh subur. Ada yang aneh ataukah ini sudah dianggap biasa?

Dalam sejarah, sudah ada dua menteri agama di Indonesia dipenjarakan karena melakukan korupsi. Mereka adalah Said Agil Husein Al Munawar yang masuk penjara pada 2006, dan Suryadharma Ali yang menerima vonis pada 2016.

Proyek yang dikorupsi tidak main-main, yaitu biaya penyelenggaraan ibadah haji dan angkanya ratusan miliar. Ada juga kasus pengadaan kitab suci.Atau, kepala daerah digelandang KPK dan diketahui menggunakan sebagian dana yang dikorupsi untuk menyumbang rumah ibadah atau melakukan perjalanan keagamaan.

Banyak pertanyaan muncul terkait fenomena itu.

BACA JUGA: Putusan MA soal Caleg Mantan Koruptor Terus Picu Polemik

Apakah faktor agama atau kehidupan yang religius tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk melakukan korupsi?.Atau, bagaimana mungkin koruptor melakukan aksinya di pos-pos anggaran yang terkait langsung dengan urusan akhirat?. Bagaimana pula seorang calon kepala daerah yang jelas melakukan korupsi dan ditangkap KPK, bisa dipilih masyarakat di daerah yang terkenal agamis dan menang dalam Pilkada?.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam dua tahun terakhir menggelar survei tren persepsi publik tentang korupsi, afiliasi organisasi agama dan demokrasi. Ada banyak hal terungkap dalam hasil survei. Namun, beberapa menghadirkan kejutan baru.

Kuskridho Ambardi, Direktur Eksekutif LSI dalam paparan hasil survei di Yogyakarta, Rabu (26/9) siang, mengatakan responden memiliki sikap dan tindakan yang berbeda terhadap praktik korupsi.Masyarakat cenderung mengaku tidak bisa menerima korupsi, tetapi di sisi lain bisa memaklumi praktiknya.

Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi memaparkan hasil survei LSI di Yogyakarta, Rabu, 26 September 2018. (Foto: Nurhadi Sucahyo/VOA)

Lebih mengejutkan lagi, responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan di Indonesia, kenyataannya cenderung lebih pro-korupsi. Fakta ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa dalam sistem politik di Indonesia, organisasi keagamaan justru kadang menjadi saluran mengorganisasikan proses jual beli suara.

“Money politic itu bisa dilakukan melalui organisasi keagamaan. Daripada partai menghubungi orang satu persatu, kalau memberikan amplop lebih mudah jika diserahkan pada organisasi A,” kata Kuskrihdho.

“Amplop itu kemudian mengalir. Akhirnya organisasi keagamaan seperti juga organisasi lainnya, dia menyediakan jaringan untuk menjangkau ke publik. Kompas moral organisasi keagamaan sebagai sumber nilai, itu menjadi sekunder,” papar Kuskridho.

Survei ini dilakukan terhadap 1.520 responden di seluruh Indonesia. Beberapa temuan, antara lain bahwa masyarakat percaya pemerintah melakukan banyak upaya memerangi korupsi. Tetapi masyarakat juga meyakini angka korupsi di Indonesia masih tinggi.

Menurut pengalaman responden, tiga urusan yang paling sering menimbulkan korupsi adalah dengan kepolisian, pengadilan dan pendaftaran Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sekitar 25 persen responden menjadi anggota organisasi keagamaan dan 28 persen aktif di organisasi sekuler. Survei menemukan fakta, anggota organisasi sekuler bersikap lebih anti-korupsi dibandingkan dengan responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan.

BACA JUGA: KPU Tunda Putusan Bawaslu soal Mantan Napi Korupsi jadi Caleg

Mohammad Iqbal Ahnaf dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) menilai, ada ambiguitas etik dalam persoalan terkait korupsi di Indonesia. Semua agama melarang korupsi dan mencuri, tetapi penganutnya membenarkan tindakan korupsi dengan alasan tertentu.

“Mengambil barang yang bukan haknya adalah dosa. Tetapi, ada nilai-nilai yang diyakini oleh sebagian masyarakat beragama bahwa tujuan membenarkan cara,” kata Iqbal.“Tidak apa-apa korupsi, asal hasil dari korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang baik. Menjadi tugas dari agamawan untuk menjadikan ambiguitas ini menjadi lebih jelas.”

Iqbal juga menilai ada faktor pendorong lain, yaitu kepercayaan bahwa dosa, termasuk dosa-dosa akibat perbuatan korupsi, dapat ditebus melalui amal. Karena itulah dalam banyak kasus korupsi, pelakunya sengaja menyebar uang haram tersebut ke lembaga-lembaga keagamaan.

“Orang akhirnya menoleransi praktik korupsi, karena dia yakin ada pola tebusan itu,” kata Iqbal.

Dalam penelitian CRCS, ditemukan fakta bahwa ada kaitan antara Pilkada dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Pelaku kekerasan, terutama terhadap kelompok minoritas, biasanya memiliki kaitan patronase dengan tokoh-tokoh politik lokal. Dalam banyak kasus, menurut penelitian lembaga tersebut, isu kekerasan kadang digunakan untuk menutupi isu korupsi politikus lokal.

Surat keputusan Mendragi mengenai penunjukan Plt Bupati Tulungangung karena bupati terpilih dalam tahanan KPK. (Foto: Humas Kemendagri)

Dosen dan peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Arya Budi, menjadikan kasus pemilihan Bupati Tulungagung, Jawa Timur sebagai contoh nyata fenomena ini. Arya Budi saat ini sedang melakukan penelitian di dua daerah di Jawa Timur untuk mengamati lebih jauh isu tersebut.

Seperti diketahui, Syahri Mulyo adalah petahana yang memenangkan pemilihan Bupati Tulunggagung beberapa waktu lalu. Satu hal yang mengejutkan, kemenangan itu diperoleh Syahri ketika sudah berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Muncul pertanyaan besar, bagaimana mungkin masyarakat Tulungagung begitu mudah memilih kembali seorang koruptor untuk memimpin daerah mereka sendiri. Tulungagung adalah wilayah dengan basis keagamaan yang kuat secara kultural.

“Dia menang hampir 60 persen, dan dia koruptor. Salah satu penjelasannya adalah mesin partai bekerja dengan menempatkan kandidat ini sebagai korban dari proses electoral,” kata Arya Budi

“Bahwa dia tertangkap dalam proses pemilu, dikampanyekan dia sebagai korban, sehingga orang tetap memilih orang ini, terlepas bahwa dia korupsi atau tidak,” ujarnya.

Bupati Tulungagung dilantik di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Selasa (25/9) kemarin. Dalam keterangan tertulis yang juga diterima VOA, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan Bupati Tulungagung terpilih Syahri Mulyo langsung diberhentikan begitu dilantik, dan digantikan wakilnya sebagai pelaksana tugas.

“Walaupun Bupati terpilih diberhentikan sementara, pemerintah pusat menjamin bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat Kabupaten Tulungagung berjalan normal”, kata Tjahjo di Kemendagri, Jakarta, Selasa.

Zainal Arifin Muchtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi menyebut upaya Indonesia melawan korupsi berada dalam treadmill effect. Mengambil pengandaian tersebut, Zainal mengatakan pemerintah melakukan banyak upaya hingga banjir keringat. Namun, karena seolah berada di atas treadmill, keringat yang keluar itu tidak membawa upaya pemberantasan korupsi ke titik yang lebih maju, alias hanya jalan di tempat.

“Karena itu saya bisa menerima hasil survei yang mengatakan bahwa masyarakat percaya pemerintah sudah melakukan banyak usaha memberantas korupsi. Tetapi dalam butir lain, masyarakat juga menegaskan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih sangat tinggi,” ujar Zainal.

Kondisi ini, kata Zainal tidak terlepas dari cara pandang pemeluk agama terhadap agama itu sendiri. Dalam keseharian, agama lebih diutamakan dalam praktik-praktik keagamaan, dan tidak dijadikan ukuran nilai dan pemandu moral dalam bertindak.

Your browser doesn’t support HTML5

Aneh, Masyarakat Religius Namun Korupsi Tinggi


“Keagamaan itu adalah soal tepat waktu, puasa Senin-Kamis. Faktor-faktor formalnya yang meninggi dibanding soal nilai. Melupakan bahwa agama itu kadang lebih banyak soal akhlak sebenarnya,” kata Zainal.

“Temuan-temuan ini memperlihatkan hal-hal yang berbeda dari teori, bahwa demokrasi menjunjung anti-korupsi dan agama mendorong anti-korupsi. Tugas kita menemukan sebabnya, dan memberikan obat yang tepat, kalau kita bicara soal perbaikan ke depan.” [ns/uh]