Tautan-tautan Akses

Terkait Pulau Pasir, Nelayan Tuntut Perlindungan di Perbatasan Australia


Nelayan mengawetkan hasil tangkapannya menggunakan es di sebuah pelabuhan. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Nelayan mengawetkan hasil tangkapannya menggunakan es di sebuah pelabuhan. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Kawasan Laut Timor di perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Australia telah ratusan tahun menjadi wilayah tangkap bagi nelayan tradisional. Mereka meminta ada perlindungan lebih karena tradisi melaut berbenturan dengan kesepakatan perbatasan.

Ikan tuna dan ekor kuning adalah dua dari sejumlah ikan buruan nelayan NTT di kawasan yang berbatasan dengan wilayah Australia selama ratusan tahun. Wilayah jelajah berburu ikan ini sering menimbulkan masalah karena ketidaktahuan nelayan akan batas negara. S Wawan Abdulah, Ketua Serikat Nelayah Indonesia (SNI) NTT, kepada VOA menyebut nelayan kadang baru mengetahui batas negara setelah diberitahu aparat keamanan yang berpatroli.

“Nelayan NTT itu lebih banyak nelayan tradisional. Nah di wilayah perbatasan NTT bagian selatan, yang berbatasan dengan Australia, itu sudah sejak dahulu memang wilayah tangkap kita, di daerah itu,” ujar Wawan kepada VOA.

Persoalan kerap muncul karena wilayah tangkap tradisional nelayan NTT yang berpusat di sekitar Pulau Pasir terikat kesepakatan bilateral Indonesia-Australia pada 1974. Penangkapan demi penangkapan terus terjadi sehingga dalam setahun jumlah nelayan yang tertangkap petugas perbatasan Australia bisa mencapai ratusan.

Mayoritas nelayan di NTT adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap tanpa mesin. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Mayoritas nelayan di NTT adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap tanpa mesin. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Dalam salah satu operasi penangkapan pada akhir 2022 lalu misalnya, delapan nelayan dalam dua rombongan berbeda ditangkap aparat Australia. Setelah menjalani tahanan sekitar satu bulan dan mengikuti proses persidangan, empat nelayan didenda sebesar Rp200 juta, dan empat lainnya Rp12 juta.

Menurut data Polda NTT, sepanjang 2004-2006 ada sekitar tiga ribu nelayan dari wilayah itu ditangkap otoritas Australia. Sementara hasil riset peneliti LIPI, yang kini bernama BRIN, dan dipublikasikan pada 2010, mencatat pada 1975 hanya ada tiga kapal nelayan yang ditangkap ototitas Australia. Namun, jumlahnya terus meningkat setiap tahun, sehingga pada 1997 yang ditangkap mencapai 122 kapal.

“Yang paling kami butuhkan adalah upaya protektif dari pemerintah. Memberikan jaminan perlindungan, khususnya nelayan tradisional. Itulah yang sampai sekarang belum maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,” kata Wawan.

Seorang nelayan membereskan peralatannya. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Seorang nelayan membereskan peralatannya. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Status Pulau Pasir

Ada dua jenis nelayan NTT dilihat dari cara beroperasinya, kata Wawan. Pertama, adalah nelayan yang melaut sehari dan kemudian pulang untuk istirahat sehari sebelum melaut kembali. Kedua, adalah nelayan dengan perahu lebih besar yang menghabiskan waktu beberapa pekan di laut. Jenis nelayan kedua ini sejak ratusan tahun lalu memiliki kawasan istirahat di tengah laut, yang mereka sebut Pulau Pasir.

“Itu memang dipakai nelayan kita untuk istirahat meskipun tidak terlalu banyak nelayan,” kata Wawan.

Secara geografis, Pulau Pasir berada sekitar 140 Km dari Pulau Rote, NTT dan 320 Km dari Australia. Secara umum, nelayan NTT meyakini pulau itu sepenuhnya menjadi hak Indonesia.

Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), bersuara lantang soal ini dalam beberapa bulan terakhir. Dia mengklaim Pulau Pasir sepenuhnya milik Indonesia.

“Ini kan baru terjadi penangkapan mulai tahun 76, 77 atau 78. Sebelum itu di Kota Kupang, itu ada namanya dulu Douane, Bea Cukai, itu selalu keluarkan surat izin kalau nelayan mau ke Pulau Pasir,” kata Ferdi ketika dihubungi VOA.

Nelayan membawa hasil tangkapan hari itu di sebuah desa nelayan di Lhokseumawe, Aceh pada 23 Januari 2022. (Foto: AFP/Azwar Ipank)
Nelayan membawa hasil tangkapan hari itu di sebuah desa nelayan di Lhokseumawe, Aceh pada 23 Januari 2022. (Foto: AFP/Azwar Ipank)

Douane, yang disebut Ferdi, adalah lembaga yang saat ini menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Ferdi mengklaim surat jalan itu menjadi tanda bahwa wilayah Pulau Pasir milik Indonesia. Posisi Pulau Pasir yang lebih dekat ke Pulau Rote dibanding ke Australia juga menjadi dasar keyakinan tersebut.

“Para nelayan itu kalau melaut, malam hari capek, mereka tidur di situ. Kadang juga menginap, atau kalau kadang-kadang ada angin besar, mereka berlindung ke situ,” lanjut Ferdi.

Ferdi bahkan berencana menggugat kepemilikan Australia atas Pulau Pasir ke pengadilan, meski dia tidak menjelaskan kepada VOA, kapan tepatnya langkah itu akan dilakukan.

Sejarah Panjang Interaksi

Penelitian Ratna lndrawasih dan Ary Wahyono dari LIPI, yang kini sudah berganti nama menjadi BRIN, menguatkan klaim para nelayan NTT. Dalam laporan yang dipublikasikan pada 2010, kedua peneliti menyebut kegiatan berlayar, mencari teripang dan lola di kawasan itu sudah dilakukan turun menurun sejak sekitar 1725 - 1750. Interaksi nelayan Indonesia dengan suku Aborigin, warga asli Australia, tergambar pada budaya, bahasa, lagu dan sejarah lisan Aborigin.

Terkait makam, peneliti juga menyatakan bahwa tidak hanya ada orang NTT yang dimakamkan di sana, tetapi juga orang Madura. Di sisi selatan gugusan Pulau Pasir, ada makam dengan lebar 95 cm dan panjang 185 cm, dan diduga menjadi makam nelayan asal Pulau Tonduk, Madura.

Oleh Australia, Pulau Pasir disebut sebagai Ashmore Reef yang merujuk pada pelayaran Kapten Samuel Ashmore dengan kapal Hibernia pada 1811. Pemerintah Inggris menganeksasi Ashmore Reef pada 1878. Pada 1923 aktivitas nelayan NTT dilaporkan kepada Pemerintah Persemakmuran (commonwealth), sehingga Inggris mendelegasikan penjagaan kawasan itu pada Pemerintah Australia pada 1931.

Sekelompok nelayan di sebuah desa di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur memungut ikan dari jaringnya. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Sekelompok nelayan di sebuah desa di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur memungut ikan dari jaringnya. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam pernyataan resmi menyebut deklarasi Djuanda 1957, yang diundangkan dengan UU 4/1960, memastikan bahwa Pulau Pasir tidak masuk dalam wilayah Indonesia sejak 1957. Berdasarkan hukum internasional, wilayah Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda, sementara Pulau Pasir sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris.

Meski sudah ditandatangani sejak 1974, perjanjian antara Indonesia dan Australia terkait Pulau Pasir tidak sepenuhnya diterima nelayan, khususnya dari NTT.

Terikat Perjanjian Dua Negara

Pakar hukum maritim internasional dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Achmad Gusman Siswandi, Ph.D. menyebut wilayah perbatasan laut antara Indonesia, Timor Leste dan Australia memang unik.

Dari sisi hukum internasional, penetapan hak dan kewajiban negara di wilayah perbatasan, bisa diatur melalui perjanjian. Keunikan kawasan ini adalah karena ada wilayah yang secara geografis masuk Australia, tetapi menjadi kawasan tangkap bagi nelayan Indonesia secara turun temurun.

Pakar hukum maritim sekaligus Wakil Dekan Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, Achmad Gusman Siswandi Ph D. (Foto: Dok Pribadi)
Pakar hukum maritim sekaligus Wakil Dekan Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, Achmad Gusman Siswandi Ph D. (Foto: Dok Pribadi)

“Di dalam hukum laut internasional, sebetulnya ada pengakuan terhadap hak tradisional untuk menangkap ikan. Jadi hak-hak nelayan tradisional yang tentu berbeda pemahaman dan praktik mereka mengenai batas-batas wilayah, dibandingkan dengan praktik-praktik negara,” kata Gusman kepada VOA.

Negara menentukan batas wilayah berdasar keilmuan, sementara nelayan tradisional menjelajah laut menurut praktik nenek moyang sesuai lokasi ikan.

Pada 1974, Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian yang kemudian biasa disebut sebagai MoU Box. Termasuk dalam perjanjian ini adalah zona yang bersebelahan dengan Pulau Pasir (Ashmore Reef), Pulau Baru (Cartier Island), Pulau Datu (Scott Reef), Aftringan (Seringapatam Reef) dan Berseland (Browse Island). Lokasinya sekitar 200 mil laut arah utara Broome, Australia, dan sekitar 60 mil laut arah selatan Pulau Rote, Indonesia. Pemerintah Australia, mengizinkan nelayan tradisional Indonesia memancing tanpa alat mesin di area berukuran sekitar 50.000 km2. Area ini mirip sebuah kotak sehingga disebut sebagai MoU Box.

Gusman memaparkan, inti dari MoU itu adalah pemberian hak bagi nelayan tradisional untuk mencari ikan di wilayah Australia. Namun, wilayah tangkap yang dibuka izinnya itu juga memiliki batas.

Pembatasannya itu, tambah Gusman, adalah koordinat secara geografis wilayah tangkap. Batasan kedua adalah bahwa hanya nelayan tradisional yang boleh menangkap ikan di kawasan itu. Tradisional dimaknai dengan metode penangkapan, temasuk ukuran kapal yang digunakan, dan jenis ikan yang ditangkap. Nelayan yang menangkap ikan menggunakan alat modern, dilarang masuk wilayah yang mengelilingi Pulau Pasir ini.

Seorang nelayan memegang jaring ikan di perahu kayunya di Aceh, 29 Desember 2021. (Foto : Reuters)
Seorang nelayan memegang jaring ikan di perahu kayunya di Aceh, 29 Desember 2021. (Foto : Reuters)

Jika ada nelayan Indonesia yang ditangkap oleh pihak keamanan laut Australia, tentu karena tidak memenuhi syarat sebagai nelayan tradisional.

Pemerintah Australia, melalui Australian Fisheries Management Authority atau Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia telah menyediakan informasi yang cukup secara daring terkait aturan di kawasan ini. Gusman menyebut, seharusnya nelayan Indonesia mengakses aturan itu. Di sisi lain, pemerintah melalui dinas kelautan setempat, seharusnya terus melakukan sosialisasi agar tidak terjadi lagi insiden penangkapan nelayan oleh petugas Australia.

“Karena konsekuensinya kan sebetulnya ini adalah perjanjian internasional. Jadi dampaknya bisa luas, tidak sekedar penangkapan nelayan Indonesia oleh pemerintah Australia, tapi bisa berdampak pada hubungan bilateral,” tegas Gusman.

Dalam hukum internasional, perbatasan wilayah bukan sesuatu yang sederhana. Hanya karena jarak Pulau Pasir lebih dekat ke Pulau Rote, dibanding ke Australia, tidak otomatis membuat Indonesia memiliki hak atas wilayah itu. Gusman mengingatkan, gugusan pulau kecil ini menjadi milik Australia karena faktor sejarah. Dia setuju dengan pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia bahwa Pulau Pasir sepenuhnya milik Australia.

Gusman mengingatkan, ada prinsip dalam perjanjian batas wilayah bernama Uti Possidetis Juris, kurang lebih bermakna suatu negara baru dapat mewarisi kekayaan dan wilayah negara penguasa sebelumnya

“Sekali ditetapkan perjanjian perbatasan itu, maka dia berlaku selamanya. Mengingat Ashmore dan Cartier itu sudah berlaku sejak masa pemerintah Inggris, dari dulu Pulau Pasir atau Ashmore adalah bagian dari Australia dan tidak pernah menjadi bagian dari Indonesia,” tegas Gusman.

Patroli Indonesia-Australia

Di tingkat pemerintah, kerja sama Indonesia dan Australia dalam pemberantasan penangkapan ikan secara tidak sah, atau biasa disebut sebagai Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing terus dilakukan.

Pada 18-27 Mei 2023 ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Australia Border Force (ABF) melakukan patroli bersama dalam bingkai Operation GANNET-7.

Dalam pernyataan resmi KKP disebutkan bahwa patroli terkoordinasi ini digelar setiap tahun dan merupakan implementasi Indonesia - Australia Fisheries Surveillance Forum (IAFSF), sebuah kerja sama pemberantasan kejahatan transnasional di kawasan perbatasan Laut Timor dan Arafura.

Patroli bersama KKP, Bakamla dan Australia Border Force (ABF) dalam bingkai Operation GANNET-7, yang digelar 18-27 Mei 2023. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Patroli bersama KKP, Bakamla dan Australia Border Force (ABF) dalam bingkai Operation GANNET-7, yang digelar 18-27 Mei 2023. (Foto: Courtesy/Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), KKP, Laksamana Muda TNI Dr. Adin Nurawaluddin menyebut operasi ini sebagai komitmen jangka panjang.

“Sebelum adanya Operation GANNET, KKP dan Pemerintah Australia telah menjalin kerja sama melalui patroli terkoordinasi selama kurang lebih 20 tahun lamanya dalam upaya memberantas IUU fishing. Hal ini merupakan komitmen bersama yang akan terus dilanjutkan melalui Operation GANNET setiap tahunnya,” kata Adin.

Operasi GANNET ke-7 pada 2023 ini melibatkan Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan Orca 01, Maritime Patrol Aircraft ATR 42-300, KN Pulau Nipah milik Bakamla dan ADV Cape Naturaliste serta 1 Pesawat Udara Patroli dari Pasukan Perbatasan Australia (Australian Border Force/ABF).

“Selain pemberantasan IUU fishing, target operasi ini juga meliputi kejahatan transnasional lain, contohnya human traficking serta drug smugling di kawasan perbatasan kedua negara,” tambah Adin. [ns/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG