Tautan-tautan Akses

22 Tahun Pasca Pemboman Kedubes AS di Afrika, Keluarga Korban Masih Tunggu Kompensasi


Warga Kenya berjalan dalam antrean di kamar mayat kota Nairobi mencoba mengidentifikasi kerabat dan teman, Sabtu, 8 Agustus 1998. Sebuah bom kuat meledak Jumat di samping kedutaan besar AS di Nairobi. (Foto: AP).
Warga Kenya berjalan dalam antrean di kamar mayat kota Nairobi mencoba mengidentifikasi kerabat dan teman, Sabtu, 8 Agustus 1998. Sebuah bom kuat meledak Jumat di samping kedutaan besar AS di Nairobi. (Foto: AP).

Bagi Edith Bartley, serangan teror terhadap Kedutaan Besar Amerika di Kenya dan Tanzania dua puluh dua tahun lalu tidak akan pernah lepas dari ingatan. Ia kehilangan ayah dan abangnya dalam ledakan bom di Nairobi, dan ia terus menyuarakan nasib keluarga para korban.

“Ini semua tentang advokasi, tentang memastikan agar kerja para diplomat dan personil kedutaan di kantor-kantor kedutaan Amerika di seluruh dunia tidak terlupakan,” ujarnya. “Dan bahwa sebagai bangsa, kita tidak melupakan apa yang terjadi di belahan dunia lain karena kejadian ini merupakan pemicu terhadap kejadian-kejadian lain,” tambahnya.

“Tidak ada satu hari pun berlalu di mana saya tidak mengenang ayah dan abang saya. Jiwa mereka, dan juga seluruh teman dan mitra, yang diambil tiba-tiba dan terlalu cepat,” ujarnya.

Sebuah file foto yang diambil pada 8 Agustus 1998 menunjukkan petugas polisi mengeluarkan sisa-sisa bom mobil yang digunakan untuk menghancurkan kedutaan besar AS di Nairobi, yang menewaskan 280 warga Kenya dan 12 Amerika. (Foto: AFP)
Sebuah file foto yang diambil pada 8 Agustus 1998 menunjukkan petugas polisi mengeluarkan sisa-sisa bom mobil yang digunakan untuk menghancurkan kedutaan besar AS di Nairobi, yang menewaskan 280 warga Kenya dan 12 Amerika. (Foto: AFP)

Ayahnya, Julian L. Bartley adalah orang Amerika keturunan Afrika pertama yang menjadi konsul jendral di Kedutaan Besar Amerika di Kenya. Abangnya, Julian L. Bartley Jr, berada di kantor kedutaan itu sebagai pegawai paruh waktu dan sedianya akan masuk ke universitas di Kenya. “Abang saya baru berusia 20 tahun. Masa depannya terbentang luas,” ujarnya.

Edith Bartley kini memusatkan perhatian pada kompensasi bagi keluarga korban, khususnya dana kompensasi bernilai AS$ 335 juta yang telah disetujui untuk dibayar oleh Sudan. Ketika serangan terjadi pemerintah Sudan menyembunyikan Osama bin Laden dan militan Al Qaeda yang mengatur serangan itu. Sikap Sudan yang menolak menyerahkan pelaku serangan itu membuat Departemen Luar Negeri menempatkan negara itu dalam daftar negara yang mensponsori terorisme.

Pada tahun 2019, setelah Presiden Omar Al Bashir terguling, pemerintah transisi baru memulai perundingan dengan Departemen Luar Negeri Amerika untuk menormalisasi hubungan diplomastik dan membuat negara itu dikeluarkan dari daftar hitam itu.

Kompensasi bagi para korban serangan itu merupakan bagian dari proses pemulihan tersebut.

Bartley mengatakan ia dan anggota-anggota keluarga korban lainnya telah secara reguler melakukan kontak dengan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo dan beberapa pendahulunya. Mereka bersikeras bahwa Sudan harus dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakan-tindakannya sebelum dapat mempertimbangkan normalisasi hubungan.

Ledakan bom di dua kedutaan besar Amerika itu menewaskan 224 orang, termasuk 12 warga Amerika, dan melukai lebih dari lima ribu orang lainnya. Kini keluarga korban ingin agar Kongres meratifikasi perjanjian tersebut.

Namun proses itu menemui hambatan. Sebagian anggota Kongres menilai penyelesaian itu tidak adil karena memberikan kompensasi jutaan dolar bagi keluarga korban yang berkewarganegaraan Amerika dan jauh lebih sedikit bagi korban yang bukan warga negara Amerika. [em/pp]

XS
SM
MD
LG