Tautan-tautan Akses

RUU Kesehatan Dinilai Abaikan Aspirasi Organisasi Profesi


ILUSTRASI - Seorang pejalan kaki berjalan dekat mural yang menggambarkan seorang perawat sebagai tanda dukungan kepada para medis yang menjadi garda terdepan penanganan wabah virus corona (COVID-19) di Ciamis, Jawa Barat, 10 April 2020. (Foto: Reuters)
ILUSTRASI - Seorang pejalan kaki berjalan dekat mural yang menggambarkan seorang perawat sebagai tanda dukungan kepada para medis yang menjadi garda terdepan penanganan wabah virus corona (COVID-19) di Ciamis, Jawa Barat, 10 April 2020. (Foto: Reuters)

Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang sedang berproses terus menuai polemik. Pemerintah menjanjikan iklim yang lebih baik di sektor ini ke depan, sementara organisasi profesi kesehatan justru melihatnya sebagai ancaman.

Undang-Undang Kebidanan baru disahkan pada 2019, setelah para bidan, terutama yang bergabung dalam Ikatan Bidan Indonesia (IBI) memperjuangkannya selama 15 tahun. Kini, empat tahun berjalan, pemerintah bermaksud melebur UU itu ke dalam satu Omnibus Law, yaitu UU Kesehatan.

Tentu saja, langkah ini menimbulkan reaksi besar di kalangan bidan, yang merasa tidak cukup didengar suaranya dalam penyusunan RUU Kesehatan. Dr Ade Jubaedah, Sekjen Ikatan Bidan Indonesia meminta UU baru mengakomodasi kepentingan mereka.

“Apa sih yang harus dilakukan agar supaya RUU kesehatan ini betul-betul mengakomodir semua? Ya, tentunya kami dilibatkan,” ujarnya dalam diskusi Forum Diskusi Denpasar 12.

IBI memang diundang dalam dengar pendapat publik selama penyusunan RUU Kesehatan. Masukan juga sudah mereka berikan, sesuai dengan permintaan Kementerian Kesehatan. UU Kebidanan yang sudah ada menjadi dasar dari masukan itu, dengan harapan substansi UU lama itu masuk ke dalam RUU yang baru.

“Kami memasukkan sesuai dengan Undang-Undang Kebidanan yang sudah eksisting. Harapan kami, sebetulnya masukan kami ke Kementerian Kesehatan ini diakomodir,” tambahnya.

Namun tampaknya, keinginan itu tidak menuai hasil. Ade mengatakan, “Ketika kami melihat lagi yang berkembang tadi, ternyata itu enggak ada sama sekali. Masalah kebidanan saja hanya ada 3 pasal dari 400 Pasal.”

IBI berharap, 80 pasal yang ada di UU Kebidanan dapat diakomodir dalam RUU Keesehatan. Karena itulah, IBI meminta pemerintah dan DPR membahas terlebih dahulu RUU tersebut bersama mereka. Bukan untuk kepentingan para bidan saja, tetapi justru untuk menjaga kualitas layanan mereka bagi masyarakat.

ILUSTRASI - Seorang bidan yang tergabung dalam Sahabat Care sedang memberi layanan perawatan bayi di Palu. (Foto: Luluk Sindriani/Sahabat Care)
ILUSTRASI - Seorang bidan yang tergabung dalam Sahabat Care sedang memberi layanan perawatan bayi di Palu. (Foto: Luluk Sindriani/Sahabat Care)

Peran Bidan bagi ibu-ibu di Indonesia sangat dominan. Dalam Riset Kesehatan Dasar 2013 dinyatakan bahwa 82,6 persen pelayanan kebidanan diberikan oleh bidan. Di antara pelayanan kebidanan adalah proses melahirkan. Hampir 50 persen layanan kebidanan itu dilakukan di tempat praktik mandiri para bidan itu, bukan di fasilitas milik pemerintah.

Ketua Umum Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Dr Harif Fadhillah juga mengkritisi RUU ini, terutama terkait serikat kerja. “Ini agak kontrakdiktif. Di satu sisi membedakan tenaga medis dan tenaga kesehatan karena ada putusan MK. Tapi di sisi lain menghapus organisasi tunggal, yang juga ada keputusan MK,” ujarnya.

Dia berpendapat, seharusnya penyusunan RUU Kesehatan konsisten.

Selain itu, karena Omnibus Law RUU Kesehatan ini menggabungkan banyak UU yang sudah ada, pasal-pasal dalam ketentuan lama harus masuk. Dalam UU Kebidanan ada 88 pasal, sementara UU Keperawatan ada 66 pasal. “Dari 66 pasal itu, sudah kami identifikasi mana pasal-pasal yang esensial, yang harus masuk. Tetapi ada pasal-pasal yang memang dapat diharmonisasi atau direvisi sesuai dengan kebutuhan, kepentingan tadi transformasi kesehatan,” ujarnya.

UU Khusus Penting

Membahas polemik ini, dr Ganis Irawan Sp PD, dari Inisiatif Indonesia Sehat menyebut, pengaturan sektor kesehatan di Indonesia terus berganti seiring waktu. Namun, UU yang sudah ada baik menyangkut dokter, bidan maupun perawat, sebenarnya dimaksudkan untuk memberi perlindungan profesi kepada mereka.

Setelah reformasi, Indonesia menjalankan kebijakan yang lebih banyak didasarkan pada kerelaan dalam memberikan layanan kesehatan. Di masa Orde Lama dan Orde Baru, tenaga medis dan tenaga kesehatan berada di bawah sistem yang memaksa.

“Hanya di Indonesia ini, profesi kesehatan itu satu-satunya profesi yang selalu dianggap bisa dikorbankan. Sebagai contoh, ada Undang-Undang Wajib Kerja Sarjana tahun 1962. UU itu sudah tidak berlaku. Ketika zaman Pak Harto tahun 90-an, dokter dan bidan wajib PTT 5 tahun,” kata Ganis.

Aturan-aturan yang memaksa di sektor kesehatan mulai dihapus setelah Indonesia meratifikasi Konvensi HAM dan meratifikasi Konvensi ILO tentang penghapusan kerja paksa.

Selain itu, RUU Kesehatan yang baru juga dinilai menghapus hak berserikat di sektor kesehatan. Langkah ini dikritik, karena bagaimanapun kebebasan berserikat dan berkumpul sepenuhnya dijamin. Tidak mengherankan jika tenaga medis dan tenaga kesehatan berjuang mempertahankan UU yang sudah ada di masing-masing profesi mereka, karena ada perlindungan di dalamnya.

RUU Kesehatan Dinilai Abaikan Aspirasi Organisasi Profesi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:37 0:00

Ganis menggarisbawahi, UU yang secara khusus mengatur setiap profesi seperti dokter, perawat atau bidan, diperlukan sebagai dasar hukum perlindungan.

Diklaim Demi Sektor Kesehatan

Anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan di DPR, Irma Suryani Chaniago mengaku bisa memahami keluhan organisasi profesi kesehatan, termasuk demonstrasi damai yang digelar beberapa waktu lalu. Namun, ada beberapa hal yang harus dipahami agar tidak menimbulkan salah paham.

Anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan di DPR, Irma Suryani Chaniago. (Foto: FNasdem)
Anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan di DPR, Irma Suryani Chaniago. (Foto: FNasdem)

“Kita bersepakat untuk tidak terjadinya liberalisasi di undang-undang ini. Tidak boleh juga ada diskriminasi, apalagi kriminalisasi terhadap paramedis, termasuk bidan, perawat dan lain sebagainya,” kata Irma.

Selain itu, DPR ingin agar undang-undang baru ini nantinya bermanfaat bagi semua pihak, bukan saja organisasi profesi kesehatan. Tidak mungkin, lanjut Irma, DPR dan pemerintah menyusun aturan yang merugikan pihak terkait.

“Memang RUU ini belum disebarluaskan, karena kita tidak mau terjadi kegaduhan-kegaduhan dalam melaksanakan rapat-rapat pasal per pasal,” kata Irma soal sosialisasi isi RUU yang dinilai banyak pihak sangat minim.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Dr Mohammad Syahril. (foto: Kemenkes)
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Dr Mohammad Syahril. (foto: Kemenkes)

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Dr Mohammad Syahril meyakinkan semua pihak bahwa tujuan penyusunan RUU Kesehatan ini tentu untuk kebaikan. “Kami ingin menyampaikan, sebetulnya kita semua punya niat baik. DPR punya kewajiban, tanggung jawab dan juga punya kewenangan merevisi dan juga membuat UU. Dan tentu saja mekanisme sudah dilalui semua,” ujarnya.

Bagi dokter, perawat hingga bidan, tujuan RUU ini hanya satu, kata Syahril, yaitu meningkatkan kualitas layanan serta memperluas jangkauannya bagi masyarakat.

Karena itulah, Syahril mengajak semua pihak untuk mendinginkan suasana.

“Transformasi layanan ini dibutuhkan percepatan. Tidak lagi kita menunggu, kalau setelah tahun 2025 kita sudah sangat terlambat. Banyak warga kita yang berobat ke luar negeri, kemudian macam-macamlah yang membuat terpuruk di bidang kesehatan,” ujarnya. [ns/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG