Tautan-tautan Akses

Revisi UU ITE Dinilai Belum Tutup Potensi Kriminalisasi


Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta (Foto: VOA/Ahadian)
Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta (Foto: VOA/Ahadian)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  baru-baru ini  mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun sebagian kelompok masyarakat sipil mempertanyakan proses revisi yang dinilai tertutup.

Selain proses pembahasan yang dianggap tidak transparan, revisi UU ITE tersebut dinilai belum sepenuhnya menutup potensi kriminalisasi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur, Rabu (6/12) menilai DPR dan pemerintah gagal merevisi UU ITE secara demokratis. Menurutnya penyusunan undang-undang tersebut tertutup, tidak transparan dan akuntabel dengan mengabaikan partisipasi bermakna yang merupakan hak mendasar warga dalam negara demokrasi.

Merujuk pada pemberitaan media dan sumber terbatas lainnya terkait materi revisi, YLBHI melihat beberapa pasal bermasalah dalam revisi UU ITE – di antaranya Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan atau pencemaran nama baik – masih tetap dipertahankan. Padahal sebelumnya pasal itu kerap dijadikan untuk mengkriminalisasi banyak pihak – jurnalis, aktivis dan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) Muhammad Isnur. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) Muhammad Isnur. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

“Walaupun dengan pengurangan ancaman hukuman menjadi dua tahun tetapi tetap tidak mengubah paradigm itu, tetap tidak mau mendengarkan masyarakat yang dimana pasal-pasal inilah yang dijadikan untuk mengkriminalisasi banyak pihak,” tegas Isnur.

Selain itu, pengaturan Pasal 40 yang berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik. Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik.

Masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE ini, lanjut Isnur, tentu menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada di dalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara. Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk dekriminalisasi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.

Sepanjang 2020-2022, YLBHI Tangani 199 Kasus Pelanggaran Hak Berekspresi

YLBHI mencermati bahwa masih ada beberapa pasal karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi, khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Pasal-pasal tersebut di antaranya Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 45 terkait pemidanaan.

Sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 kantor LBH telah menangani 199 kasus terkait pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Beberapa kasus itu antara lain : pemutusan akses internet secara ilegal di Papua oleh Kominfo, dan kriminalisasi aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menyuarakan adanya konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua.

YLBHI menilai dari kasus-kasus itu, UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis.

Koalisi Masyarakat Sipil Sampaikan Keprihatinan

Dalam siaran pers, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (Kompaks) mengungkapkan keprihatinan terhadap proses revisi UU ITE yang tertutup. Selain itu, masih banyak pasal yang tidak menunjukan keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender secara daring atau online (KBGO).

Kompaks mencontohkan pasal 27 ayat 1 yang mengandung unsur kesusilaan tidak didefinisikan tegas sehingga kerap kali digunakan untuk “mengatur tubuh perempuan” dan menginterpretasikan tubuh perempuan sebagai masalah moral.

Dalam konteks kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender online. Hal ini menciptakan kerentanan yang signifikan seperti kriminalisasi pada korban atas dasar penafsiran yang berbeda-beda terhadap pendapat secara online.

Dalam konteks kasus-kasus kekerasan seksual ataupun KBGO, pasal ini dapat menghambat kebebasan berbicara dan mengakibatkan intimidasi terhadap korban karena sering digunakan untuk mengancam dan membungkam korban yang bersuara di media sosial.

Revisi UU ITE Dinilai Belum Tutup Potensi Kriminalisasi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:50 0:00

Menkominfo: Pembatasan Demi Menjamin Keadilan

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kemerdekaan pikiran dan kebebasan berpendapat yang dapat disampaikan, salah satunya melalui komunikasi. Pemerintah juga bertugas memberi perlindungan pribadi, serta penghormatan terhadap martabat, rasa aman dan perlindungan.

“Untuk menjamin hak tersebut, pemerintah perlu memberikan pembatasan yang diperlukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan hak yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis,” ujarnya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan pada 2008. Selanjutnya terdapat perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. [fw/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG