Tautan-tautan Akses

Restrukturisasi Masif Lembaga Penelitian di Tanah Air Tuai Kritik 


Seorang petugas laboratorium sedang menyiapkan medium untuk menumbuhkan virus di laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)
Seorang petugas laboratorium sedang menyiapkan medium untuk menumbuhkan virus di laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)

Pemerintah menghadapi kritik dari beberapa ilmuwan dan anggota parlemen terkait rencana restrukturisasi besar-besaran yang akan menyatukan sejumlah lembaga sains dan teknologi menjadi satu institusi. Langkah itu dianggap akan merugikan kegiatan penelitian.

Kebijakan tersebut akan mengintegrasikan belasan lembaga sains, teknologi, dan penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dengan pengintegrasian itu, pemerintah berharap bisa meningkatkan akses ke sumber daya dan pendanaan, serta meningkatkan daya saing.

“Jelas bahwa penelitian Indonesia masih jauh dari tingkat yang dicapai bahkan oleh negara-negara tetangga” kata Kepala BRIN Laksana Tri Handoko kepada Reuters.

"Jadi sekarang sangat tepat untuk membuat tindakan nyata dan mengubah situasi."

Namun beberapa ilmuwan dan anggota parlemen memperingatkan perombakan itu dapat meningkatkan birokrasi, memunculkan potensi pemberhentian belasan ilmuwan muda, dan meletakkan pengawasan lembaga itu ke tangan politisi.

Komite pengarah BRIN akan dipimpin oleh mantan presiden Megawati Sukarnoputri.

Restrukturisasi juga berarti bahwa salah satu badan penelitian ilmiah ternama di Indonesia, yaitu Eijkman Institute, akan digabungkan ke dalam BRIN.

Pintu masuk kantor Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Pintu masuk kantor Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

"Hanya sebagian kecil yang senang, kebanyakan (staf Eijkman) menderita," kata Gandung Pardiman, anggota DPR.

Institut yang didirikan pada 1882 oleh ahli patologi Belanda, Christiaan Eijkman, yang kemudian memenangkan Hadiah Nobel, pernah ditutup selama beberapa dekade. Namun lembaga itu dibuka kembali pada awal 1990-an.

"Anda tidak dapat meningkatkan kinerja ilmiah Indonesia di bawah satu badan super," kata Profesor Sangkot Marzuki, yang memimpin lembaga tersebut selama lebih dari dua dekade.

Suasana laboratorium di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)
Suasana laboratorium di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)

“Tidak ada jalan lain, karena akan menambah birokrasi, dan merusak ekosistem kerja dan budaya kerja ilmiah yang telah berkembang di berbagai institusi selama puluhan tahun,” katanya.

Di antara kekhawatiran lain yang diangkat tentang restrukturisasi adalah risiko keterlambatan pengembangan vaksin dan pengurutan genom, dan masa depan kemandirian ilmiah, kata Profesor Amin Soebandrio, yang mengepalai institut tersebut hingga tahun lalu.

"Semua ilmuwan takut bahwa kebebasan ilmiah akan berkurang,” tukasnya. [ah/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG