Tautan-tautan Akses

Ramadan Syahdu bagi Muslim Indonesia di AS


Masyarakat Muslim Indonesia di AS merayakan shalat Eid di Gaithersburg, negara bagian Maryland (foto: dok). Berkumpul bersama sesama warga Indonesia menjadi obat rindu kampung halaman selama Ramadan dan Idul Fitri.
Masyarakat Muslim Indonesia di AS merayakan shalat Eid di Gaithersburg, negara bagian Maryland (foto: dok). Berkumpul bersama sesama warga Indonesia menjadi obat rindu kampung halaman selama Ramadan dan Idul Fitri.
Kerinduan yang mendalam akan suasana bulan suci Ramadan dirasakan oleh warga muslim Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Adzan Maghrib dan lagu-lagu religi yang biasa terdengar di berbagai tempat, serta berbagai makanan khas Ramadan seperti kolak pisang, adalah hal-hal yang sangat langka untuk bisa ditemukan di Amerika. Jauh dari keluarga juga terkadang menimbulkan rasa rindu akan kebersamaan terutama pada saat sahur dan juga berbuka puasa.

Puasa di AS tahun ini cukup berat tantangannya. Selain harus menjalankan puasa di negara yang mayoritas masyarakatnya adalah non-muslim, masyarakat muslim harus menjalankan rukun islam yang ke-3 ini di saat musim panas, di mana suhu udara bisa mencapai sekitar 37 derajat selsius.

Sebagai contoh, di Washington, D.C. puasa dimulai sekitar pukul 4 pagi sampai sekitar pukul 8:30 malam, mencapai total waktu sekitar 16 jam. “Sukanya puasa di Amerika kalau puasa waktu winter. Soalnya buka puasa lebih cepat. Di musim panas tantangannya menahan haus yang lebih lama, karena jam buka puasa lebih lama,” ujar warga Washington, D.C., Yosinata Wardani (Yosi), kepada VOA Indonesia baru-baru ini.

Yosinata Wardani, warga Indonesia di Virginia
Yosinata Wardani, warga Indonesia di Virginia
Yosi mengaku sangat rindu dengan suasana bulan Ramadan di Indonesia. “Selain berbuka puasa bersama keluarga besar, tentunya kangen jajanan puasa yang menggiurkan. Dari jajanan kue kecil sampai restoran-restoran yang cocok untuk berbuka puasa. Mungkin saya juga kangen antri di food court di mal,” papar perempuan yang terakhir menjalankan puasa di Indonesia tujuh tahun yang lalu.

Waktu puasa yang panjang biasanya diisi Yosi dengan membuat kue yang seringkali dipesan oleh warga Indonesia yang tinggal di Amerika. “Tahun ini saya jualan beberapa kue kering seperti kastengels dan putri salju. Ada juga beberapa kue basah seperti lapis legit dan swiss roll,” kata perempuan berusia 36 tahun yang memiliki hobi membuat kue dan memasak ini.

“Kalau kue kering semuanya saya jual $15 per 453 gram. Kalau lapis legit harganya $40 sampai $45. Untuk Swiss roll saya jual dengan harga $15,” tambah. Pelanggan Yosi rata-rata adalah warga Indonesia yang bekerja di Amerika, yang ingin mengobati rasa kangen mereka akan kue-kue khas lebaran.

Puasa di Amerika

Karena tahun ini durasi waktu berpuasa lebih panjang dibandingkan dengan tahun-tahun yang sebelumnya, warga muslim Indonesia sudah mempersiapkan diri dan mental. Belajar dari pengalaman tahun lalu, Shaliha Afifa Anistia (Fifa), mahasiswa MBA di University of Hawaii at Manoa, sudah lebih siap untuk menjalani puasa di musim panas kali ini. “Saya akan berusaha untuk menghindari udara panas. Jadi saya akan diam di dalam kantor, karena lebih dingin,” ujar Fifa yang rencananya tahun ini akan berpuasa di Washington, D.C., karena akan magang di kantor Kedutaan RI setempat selama musim panas.

Shaliha Afifa Anistia (nomor tiga dari kiri), mahasiswi Indonesia di Hawaii
Shaliha Afifa Anistia (nomor tiga dari kiri), mahasiswi Indonesia di Hawaii
Mengingat jadwal buka puasa yang lebih larut, jadwal sholat Tarawih juga bertambah malam. “Kendalanya ya sulit untuk sholat Tarawih jamaah di masjid. Karena harus keluar malam-malam dan masjidnya juga agak jauh dari tempat saya. Jadi mungkin akan lebih sering sholat sendiri saja di kamar,” ucap perempuan yang hobi traveling, melukis dan menyanyi ini.

Untuk persiapan sahur dan buka puasa, Fifa mengaku tidak terlalu sulit, walaupun memang semuanya harus dikerjakan sendiri olehnya. “Kalau buka puasa saya nggak picky deh. Apa yang ada saja di kulkas, ya saya masak. Namanya juga mahasiswa,” kata Fifa dengan penuh canda.

Untuk sahur, Fifa juga biasanya sudah menyiapkan makanan sejak malam hari. “Pas sahur cukup di panaskan dengan microwave. Tapi ya, nggak jarang juga saya suka skip sahur, kalau lagi nggak kebangun pagi atau malas makan sendiri,” ujar perempuan yang baru satu tahun merantau di AS ini.

“Kebetulan di antara teman-teman dekat saya di asrama hanya saya yang beragama islam. Jadi saya harus bangun pagi sendiri dan makan sendiri,” tambah Fifa.

Cukup berat memang tantangannya. Ditambah lagi dengan kerinduan yang dirasakan oleh Fifa akan kampung halaman di saat bulan Ramadan. “Mulai dari kumpul bareng keluarga di rumah, saat-saat sahur dan menyiapkan buka puasa bersama ibu saya, hingga sholat Tarawih berjamaah. Selain itu saya juga kangen suara beduk adzan, karena rumah saya (di Indonesia) kebetulan di belakang masjid. Jadi selalu terdengar suara adzan dari masjid. Namun sejak di Hawaii, jarang sekali saya bisa dengar suara adzan dari masjid,” ujar perempuan berusia 24 tahun ini kepada VOA.

Untuk mengobati rasa kangen akan kebersamaan dengan keluarga di bulan Ramadan, biasanya warga muslim Indonesia kemudian mengadakan acara buka bersama dan sholat Tarawih bersama. “Teman-teman Indonesia saya jago-jago masak, jadi kita suka ngumpul dan buka bareng dengan sistem potluck (saling membawa hidangan untuk dimakan bersama). Kalau Tarawih, kebetulan ada masjid Manoa (satu-satunya di Hawaii) dan saya pernah beberapa kali ikut Tarawih berjamaah ke sana,” kata Fifa.

Namun, pengalaman puasa di Amerika ini menjadi pengalaman yang tentunya tidak akan terlupakan bagi Fifa. “Sukanya adalah bisa merasakan pengalaman baru berpuasa di negeri orang, apalagi baru pertama kali puasa pas musim panas. Jadi jam puasanya lebih panjang dan lebih terasa perjuangannya,” papar Fifa.

Tantangan Alam

Beralih ke Maya Rahayu yang tinggal di negara bagian Alaska, di mana matahari baru terbenam sekitar pukul 10 malam. “Kebetulan saya dengan keluarga mengikuti aturan Islamic center yang ada di sini, karena mengikuti waktunya Mekkah. Kami tidak mengikuti jam Alaska. Kalau buka puasa yang sesuai dengan aturan Alaska, sekitar jam 10 malam kita baru buka puasa, dan sahurnya jam 3 pagi. Tapi karena kita mengikuti Islamic center, kita sahurnya jam 3 pagi (dan) buka sekitar jam 7 lebih,” jelas ibu dari dua anak ini. “Tapi memang ada sebagian orang muslim yang mengikuti aturan Alaska (waktu setempat),” tambahnya.

Maya Rahayu dan Keluarga
Maya Rahayu dan Keluarga
Aneh memang kedengarannya, karena terkadang warga muslim di Alaska berbuka puasa di saat hari masih terang benderang. Namun, untuk jadwal sholat, Maya terkadang masih mengikuti waktu setempat. Sebagai contoh, sholat Isya baru dikerjakan mendekati dini hari. “Serasa kita jadi sholat Tahajud gitu lho. Untuk Tarawih sampai jam 12 malam, hampir jam 1 malam. Terus nanti kita disambut jam 3, itu sudah harus mulai sahur. Jadi antara jam segitu kadang-kadang kita tidur atau tidak tidur, karena jaraknya terlalu dekat. Selesai sholat Tarawih, terus kita sahur,” ujar Maya melalui obrolannya dengan VOA Indonesia.

Walaupun harus berpuasa di tempat yang suasana Ramadannya tidak sekental di Indonesia, Maya sekeluarga tetap menyambut bulan yang suci ini dengan gembira dan berusaha menjalankan tradisi Ramadan bersama keluarganya. “Setelah adzan kita buka puasa. Biasanya kita minum dulu teh manis atau kolak. Setelah itu kita sholat magrib berjamaah, sesudah itu baru kita makan. Sesudah makan kita istirahat sebentar untuk menurunkan isi perut, baru kita sholat tarawih. Setelah sholat tarawih kita tadarusan sebentar. Sekitar dua-tiga ayat bersama-sama. Baru kita tidur,” papar Maya.

Sebagai persiapan untuk buka puasa, Maya biasanya menyediakan hidangan khas Indonesia. “Biasanya saya membuat kolek, bubur ketan hitam atau kacang ijo. Makanan-makanan Indonesialah. Nikmatlah rasanya kalau berbuka puasa dengan hidangan yang sesuai dengan selera kita,” tambahnya.

Tradisi Bulan Ramadan Tetap Berjalan

Nadia Syahmalina, warga Washington, D.C. (nomor tiga dari kiri)
Nadia Syahmalina, warga Washington, D.C. (nomor tiga dari kiri)
Segala cara tentunya dilakukan oleh warga muslim Indonesia untuk bisa menciptakan suasana Ramadan yang sesuai dengan tradisi masing-masing. Bagi warga Washington, D.C., Nadia Syahmalina, sebenarnya ini semua kembali kepada diri masing-masing. “Dimanapun kami tinggal, suasana Ramadan, saya merasa, adalah "how we make of it". Saya bilang begitu karena orang tua saya berusaha banget untuk meramaikan acara Ramadan untuk saya dan adik pas masih kecil. Kami suka mengundang orang ke rumah untuk buka puasa bersama atau orang tua membantu acara buka puasa komunitas Muslim kecil kami di social hallnya sebuah gedung apartemen untuk mahasiswa. Tamu yang datang beragam dan kadang saya dan adik bisa mengundang teman sekolah kami,” ujar perempuan yang bekerja di sebuah institusi keuangan di daerah Washington, D.C. ini kepada VOA Indonesia.

Karena jauh dari keluarga besar, biasanya warga muslim Indonesia kerap kali berkumpul untuk mengadakan berbagai acara yang berhubungan dengan bulan Ramadan, seperti acara buka puasa dan sholat Tarawih bersama.

Organisasi IMAAM yang beranggotakan masyarakat muslim keturunan Indonesia dan Amerika yang berpusat di negara bagian Maryland adalah salah satu organisasi yang menyelenggarakan acara tersebut.

“IMAAM berkolaborasi dengan kedutaan RI untuk mengadakan buka puasa bersama di hari Jum'at dan Sabtu. Acaranya suka di selenggarakan di gedung kedutaan dan gedung yang disediakan oleh IMAAM. Di hari weekday, ada juga beberapa acara buka puasa di IMAAM Center dan rumah host yang terdiri dari anggota-anggota IMAAM. Acara-acara buka puasa IMAAM suka di ramaikan dengan kehadiran beberapa Ustad yang IMAAM undang,” ujar Nadia.

Selain itu di bulan Ramadan juga banyak diadakan acara buka puasa antar agama. Warga Amerika keturunan Palestina, Sarrah Abulughod, rajin menghadiri berbagai acara yang diselenggarakan di bulan Ramadan. “Kita beruntung karena di Washington, D.C., komunitasnya sangat beragam dan terbuka. Di satu malam, kamu bisa pergi ke acara buka puasa yang diselenggarakan oleh satu kelompok muslim, kedutaan, atau berbagai organisasi lainnya. Ada juga acara buka puasa antar agama dengan tujuan untuk mempererat hubungan antar agama yang juga mengajarkan puasa. Insya Allah tahun ini saya akan pergi ke gereja Mormon untuk mempelajari tentang ritual puasa tahunannya,” ujar perempuan 27 tahun yang bekerja di organisasi nirlaba pelayanan keluarga ini.

Sarrah Abulughod, warga Washington, D.C.
Sarrah Abulughod, warga Washington, D.C.
Sebagai persiapan puasa di musim panas tahun ini, Sarrah Abulughod, warga Amerika keturunan Palestina berusaha untuk menghindari dehidrasi. “Saya tengah melakukan riset mengenai berbagai jenis makanan yang bisa membantu kita untuk tidak dehidrasi. Saya juga telah membuat daftar berbagai makanan bergizi yang harus saya konsumsi supaya bisa tahan untuk puasa di waktu yang panjang,” ujarnya. Yang paling penting bagi Sarrah adalah makan sahur, dimana dia banyak mengkonsumsi air dan protein.

Artikel ini juga dimuat di majalah Femina edisi 30 edar tanggal 27 Juli 2013.
XS
SM
MD
LG