Tautan-tautan Akses

Pelajaran Bagi China dari Perang Rusia di Ukraina


Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng berbicara kepada awak media di Taipei, Taiwan, pada 10 Maret 2022. (Foto: Taiwan Ministry of National Defense via AP)
Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng berbicara kepada awak media di Taipei, Taiwan, pada 10 Maret 2022. (Foto: Taiwan Ministry of National Defense via AP)

Sejumlah pakar menilai China sedang mengambil pelajaran dari perang Rusia di Ukraina untuk meningkatkan strategi tempurnya dan bersiap menghadapi sanksi ekonomi apabila suatu saat Beijing menyerang Taiwan – yang memiliki pemerintahan sendiri.

China juga mungkin akan berupaya lebih keras mencari solusi damai bagi Taiwan, kata mereka.

Rusia menghadapi perlawanan militer yang lebih kuat dari perkiraan di Ukraina sejak melancarkan invasi 24 Februari lalu, terutama di jalanan. Hal itu beriringan dengan sanksi ekonomi yang dipimpin negara-negara Barat terhadap Rusia serta peningkatan bantuan militer bagi Ukraina dari luar negeri.

Para pejabat China tengah mencari jalan untuk mengambil alih Taiwan secepat mungkin dengan menyasar pusat-pusat komunikasi dan lembaga politik utama pulau itu, kata para pengamat. Mereka mengatakan bahwa China akan memerlukan lebih banyak bantuan logistik untuk melancarkan serangan amfibi di pulau yang berjarak 160 kilometer dari China daratan, dan penyebaran informasi melalui media untuk mendukung invasi.

“China setidaknya akan belajar bahwa mereka perlu lebih mempersiapkan dukungan logistik yang memadai untuk operasi amfibi, serta sejumlah besar amunisi, seperti artileri dan rudal, jika China memutuskan untuk menyerang Taiwan,” ujar Chen Yi-fan, lektor diplomasi dan hubungan internasional Universitas Tamkang di Taiwan.

“Yang paling penting, China perlu menunjukkan moral yang tinggi melalui perang kognitif dan diskursus media,” ungkapnya.

China lawan Taiwan

China telah mengklaim kedaulatan atas Taiwan sejak perang saudara China tahun 1940-an, ketika anggota partai Nasionalis pimpinan Chiang Kai-chek kalah dari partai Komunis pimpinan Mao Zedong, kemudian membangun kehadiran di pulau terdekat. Kedua belah pihak sejak saat itu memerintah wilayah sendiri-sendiri.

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (tengah) berbicara dengan personel militer di dekat pesawat tang terparkir di lintasan di Jiadong, Taiwan, pada 15 September 2021. (Foto: Taiwan Presidential Office via AP, File)
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (tengah) berbicara dengan personel militer di dekat pesawat tang terparkir di lintasan di Jiadong, Taiwan, pada 15 September 2021. (Foto: Taiwan Presidential Office via AP, File)

Perundingan Taiwan-China terhenti pada 2016 setelah Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjabat. Partai politiknya menentang unifikasi dengan China. Pesawat Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat terbang hampir setiap hari melalui sudut zona identifikasi pertahanan udara Taiwan.

Beijing sendiri tidak pernah mengesampingkan pilihan pengerahan kekuatan, apabila diperlukan, untuk mempersatukan kedua sisi.

China terakhir kali terlibat perang pada tahun 1979, ketika negara itu menduduki sejumlah kota di dekat perbatasannya dengan Vietnam, meski gagal menghentikan Vietnam menggulingkan pemerintah Pol Pot di Kamboja.

Persiapan Tempur

China, dengan kekuatan angkatan bersenjata ketiga terbesar di dunia, akan berhadapan dengan Taiwan yang ada di peringkat ke-21 dalam hal peralatan dan personel militer.

Meski demikian, kemunduran Rusia di Ukraina menunjukkan bahwa serangan China, apabila dilakukan, akan memakan waktu, mungkin lebih lama dari yang China siap jalani, menurut sejumlah pakar.

“Apabila Beijing ingin mengambil alih Taiwan dengan paksa, ia tidak akan bertindak sampai benar-benar yakin pasti akan menang dengan cepat,” kata James Jay Carafano, peneliti di Heritage Foundation, 8 Maret lalu.

“Saya pikir China banyak mendiskusikan cara melakukan blokade informasi total, sehingga Taiwan tidak dapat berteriak minta tolong,” kata Alexander Huang, ketua yayasan penelitian strategi militer di Taipei.

Beijing kemungkinan akan mengkalibrasi ulang perkiraannya akan respons dunia internasional terhadap serangan ke Taiwan, kata Tong Zhao, peneliti senior Pusat Kebijakan Global Tsinghua Carnegie Endowment di Beijing, pada konferensi yang digelar stasiun radio Boston WBUR.

“China sangat terkejut dengan respons Barat,” kata Zhao. “Saya rasa hal ini menunjukkan bahwa bahkan… para pakar Rusia… tidak tahu bahwa akan muncul dukungan yang amat kuat dari dunia terhadap Ukraina. Saya rasa pakar China mulai mereevaluasi berbagai strategi dan kebijakan mereka.”

Dibandingkan Rusia, China lebih bergantung pada negara-negara lain untuk stabilitas ekonomi. China merupakan pengekspor barang-barang manufaktur terbesar di dunia dengan 14,7 persen dari total ekspor dunia sejak tahun 1978 hingga 2020, menurut perkiraan badan PBB, UNCTAD.

Para pejabat Beijing mungkin sedang mengeksplorasi dengan lebih seksama solusi-solusi nonmiliter, kata Huang.

“Pelajaran (dari Ukraina) mengirimkan peringatan besar kepada Beijing (bahwa) jika mereka tidak dapat meraih tujuan mereka dengan cepat secara militer, maka itu akan menjadi bencana geostrategis, dan itu mungkin membuat Beijing berpikir lebih banyak tentang langkah lainnya, yang bukan secara militer,” pungkasnya. [rd/rs]

Recommended

XS
SM
MD
LG