Tautan-tautan Akses

PBB: Berbagai Pemerintahan dan Pengusaha ‘Berbohong’ soal Upaya Atasi Krisis Iklim


Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Antonio Guterres
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Antonio Guterres

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres menuduh berbagai pemerintahan dan pengusaha “berbohong” tentang upaya mereka membendung perubahan iklim pada hari Senin (4/4). Ia berusaha mempermalukan mereka agar terdorong untuk bertindak setelah badan dunia itu menerbitkan laporan krisis iklim penting.

Guterres mengatakan dunia harus menyingkirkan batu bara, minyak dan gas serta habis-habisan mengembangkan energi terbarukan tanpa ditunda-tunda lagi agar dapat menghindari “bencana iklim.”

“Beberapa pemerintahan dan pemimpin bisnis mengatakan satu hal – namun melakukan hal lain. Sederhananya, mereka berbohong. Dan akibatnya akan menjadi bencana besar,” kata Guterres dalam pesan video yang dirilis bersamaan dengan laporan PBB tentang cara mencegah dampak terburuk pemanasan global.

Laporan yang disusun oleh para ilmuwan itu memperingatkan bahwa upaya pengurangan emisi karbon dioksida dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang menurut sains mendorong pemanasan planet Bumi masih belum cukup.

Hampir lima bulan setelah mengumpulkan negara-negara dari seluruh dunia pada KTT Iklim COP26 yang tidak jelas juntrungannya, Sekjen PBB memperkeras retorikanya dengan menyasar pemerintah dan perusahaan, yang menurut laporan itu harus bertindak untuk menghentikan emisi.

Laporan berturut-turut oleh Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah menunjukkan bahwa pemanasan yang disebabkan oleh ulah manusia telah mendorong peningkatan frekuensi badai mematikan, kekeringan, kebakaran dan banjir, dan bahkan telah memusnahkan beberapa spesies.

Dalam Perjanjian Iklim Paris 2016, negara-negara sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global hingga “jauh di bawah” dua derajat Celcius dibandingkan tingkat pra-industri, dan 1,5 derajat Celcius apabila memungkinkan.

Dalam tiga bagian terakhir dari seri laporan utama terbarunya, IPCC memperingatkan bahwa waktu hampir habis. Jika kebijakan yang saat ini berlaku tidak diperbaiki, planet Bumi sudah pasti akan mengalami kenaikan suhu hingga 3,2 derajat Celcius.

Janji yang Tidak Cukup

“Pemerintahan dan perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi tidak hanya menutup mata, tetapi bahkan memperparah keadaan,” kata Guterres.

“Mereka mencekik planet kita dengan kepentingan pribadi dan investasi bersejarah mereka dalam bahan bakar fosil, ketika solusi terbarukan yang lebih murah menyediakan lapangan kerja ramah lingkungan, keamanan energi dan stabilitas harga yang lebih besar.”

KTT Iklim COP26 menghasilkan janji-janji untuk menghentikan deforestasi, membatasi emisi metana, mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan meningkatkan bantuan keuangan ke negara-negara berkembang.

Pembangkit listrik tenaga batu bara di Wyoming, AS (foto: ilustrasi).
Pembangkit listrik tenaga batu bara di Wyoming, AS (foto: ilustrasi).

Namun Guterres mengatakan, laporan terbaru menyoroti kurangnya tindakan yang diambil untuk memenuhi janji-janji tersebut.

Ia menyebutnya “sebuah dokumen yang memalukan, katalog janji kosong yang dengan kokoh menempatkan kita pada jalur menuju dunia yang tidak layak huni.”

Ratusan perusahaan telah berjanjia mencapai emisi “nol bersih” pada 2050. Namun berbagai perusahaan masih merencanakan proyek-proyek baru ekstraksi bahan bakar fosil, di mana mereka bersikeras bahwa sebagian minyak dan gas masih akan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan miliaran penduduk dunia di tengah peralihan menuju energi terbarukan.

“Investasi dalam infrastruktur baru bahan bakar fosil adalah kegilaan moral dan ekonomi,” lanjut Guterres.

“Untuk menjaga agar batas 1,5 derajat yang disepakati di Paris dalam jangkauan, kita harus memangkas emisi global hingga 45 persen dekade ini,” tambahnya.

“Namun janji-janji iklim saat ini akan menimbulkan kenaikan emisi 14 persen, jika dibandingkan dengan tingkat pada tahun 2010," ujarnya.

“Dan sebagain besar penghasil emisi utama tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi, bahkan, janji-janji yang tidak mencukupi ini.”

Saat menyinggung keluhan bahwa sebagian besar dunia menderita akibat kenaikan harga pangan dan energi akibat pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina, ia kukuh menyatakan bahwa “peningkatan produksi bahan bakar fosil hanya akan memperburuk keadaan.”

Terlepas dari pernyataan keras Guterres, laporan setebal ribuan halaman yang diringkas ke dalam bentuk rangkuman oleh berbagai pemerintahan dan ilmuwan, tidak menyalahkan satu negara tertentu.

IPCC: 40 Persen Emisi Karbon dari Eropa dan Amerika Utara

Angka-angka dalam laporan itu menunjukkan bahwa banyak karbon dioksida yang berada di atmosfer dihasilkan oleh negara-negara kaya yang pertama kali membakar batu bara, minyak dan gas ketika revolusi industri benar-benar terjadi pada tahun 1850-an.

IPCC menyebut sekitar 40 persen emisi sejak era itu berasal dari Eropa dan Amerika Utara.

Hanya 12 persen lebih yang dihasilkan oleh Asia Timur, termasuk China. Negara itu mengambil alih posisi AS sebagai penghasil emisi terbesar dunia pada pertengahan tahun 2000-an.

Polusi dari pabrik yang menggunakan batu bara di provinsi Shanxi, China (foto: ilustrasi).
Polusi dari pabrik yang menggunakan batu bara di provinsi Shanxi, China (foto: ilustrasi).

Meski demikian, laporan itu juga menawarkan secercah harapan.

Para penyusun laporan itu menyoroti berbagai cara bagi dunia untuk membawa planet Bumi kembali ke jalurnya menuju tingkat pemanasan hingga 2 derajat Celcius atau bahkan, dengan upaya masif, hingga 1,5 derajat Celcius setelah ambang batas itu dilewati.

Hal itu dapat dicapai dengan menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer dengan cara alami maupun buatan, juga teknologi berisiko seperti memompa aerosol ke langit untuk memantulkan sinar matahari.

Selain itu, rekomendasi lainnya adalah peralihan cepat sumber energi dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, dengan mengelektrifikasi moda transportasi, penggunaan sumber daya yang lebih efisien serta dukungan keuangan besar-besaran bagi negara-negara miskin yang tidak mampu mendanai upaya tersebut tanpa bantuan.

Satu cara lain yang sering disebut “bisa dilakukan dengan dorongan lebih” oleh para ilmuwan adalah menutup kebocoran metana dari tambang, sumur dan tempat pembuangan sampah yang melepaskan gas rumah kaca berumur pendek namun kuat ke atmosfer. [rd/jm]

XS
SM
MD
LG