Tautan-tautan Akses

Parlemen Irak Kembali Berusaha Pilih Presiden


Anggota parlemen Irak memberikan suara mereka untuk memilih presiden baru di ibu kota Baghdad, 13 Oktober 2022. (Parlemen Irak / AFP)
Anggota parlemen Irak memberikan suara mereka untuk memilih presiden baru di ibu kota Baghdad, 13 Oktober 2022. (Parlemen Irak / AFP)

Para anggota parlemen di Irak kembali mengadakan pertemuan, Kamis (13/10), dalam upaya keempat mereka tahun ini untuk memilih presiden negara itu, dan memecahkan kebuntuan politik.

Irak yang kaya minyak belum membentuk pemerintahan baru setelah pemilihan umum lebih dari setahun yang lalu, yang dilangsungkan menyusul gelombang protes massa terhadap korupsi endemik, pengangguran yang merajalela dan infrastruktur yang membusuk.

Pekan ini, misi PBB mengatakan bahwa "krisis yang berlarut-larut menumbuhkan ketidakstabilan lebih lanjut" di negara yang dilanda perang itu, dan memperingatkan "politik yang memecah belah, menghasilkan kekecewaan publik yang pahit".

Parlemen akan bersidang mulai pukul 11:00 pagi di Zona Hijau Baghdad, distrik pemerintah dan diplomatik di ibukota yang baru-baru ini menjadi lokasi kamp protes besar yang didirikan oleh faksi-faksi yang bersaing.

Ketua Parlemen Irak Mohamed al-Halbusi memimpin sidang parlemen untuk memilih Presiden baru di ibu kota Baghdad, 13 Oktober 2022.(Parlemen Irak / AFP)
Ketua Parlemen Irak Mohamed al-Halbusi memimpin sidang parlemen untuk memilih Presiden baru di ibu kota Baghdad, 13 Oktober 2022.(Parlemen Irak / AFP)

Parlemen dalam tiga upaya terakhir, dari Februari hingga Maret, gagal memilih kepala negara baru. Parlemen selalu gagal mencapai ambang batas dua pertiga yang disyaratkan -- 220 dari 329 – untuk terciptanya kuorum.

Lembaga-lembaga demokrasi yang dibangun sejak invasi pimpinan AS 2003 yang menggulingkan diktator Saddam Hussein tetap rapuh pada saat ini, dan negara tetangga Iran memiliki pengaruh besar.

Selama setahun terakhir, Irak tidak hanya tanpa pemerintahan baru, tetapi juga tanpa anggaran negara. Kebuntuan politik mengakibatkan miliaran pendapatan minyak tak bisa digunakan dan menghalangi reformasi dan proyek-proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan.

Faksi-faksi politik Muslim Syiah Irak yang bersaingan, berusaha mendapatkan pengaruh dan hak untuk memilih perdana menteri baru dan membentuk pemerintahan. Mustafa al-Kadhemi hanya berperan sebagai penjabat perdana menteri.

Calon untuk posisi perdana menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani (kiri) bertemu dengan wakil ketua pertama parlemen Irak Muhsen al-Mandalawi, di ibu kota Baghdad, 13 Oktober 2022 (IRAQI PARLIAMENT / AFP)
Calon untuk posisi perdana menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani (kiri) bertemu dengan wakil ketua pertama parlemen Irak Muhsen al-Mandalawi, di ibu kota Baghdad, 13 Oktober 2022 (IRAQI PARLIAMENT / AFP)

Pada satu sisi, ulama Syah terkemuka Moqtada Sadr menginginkan parlemen dibubarkan dan pemilihan baru dilangsungkan. Pada sisi lain, Kerangka Koordinasi -- aliansi faksi Syiah pro-Iran yang mencakup para mantan pemimpin paramiliter -- menginginkan pemerintahan baru sebelum pemilihan baru diadakan.

Kebuntuan telah membuat kedua pihak mendirikan kamp-kamp protes, dan kadang-kadang telah memicu bentrokan jalanan yang mematikan di Baghdad. Ketegangan memuncak pada 29 Agustus ketika lebih dari 30 pendukung Sadr tewas dalam bentrokan antara faksi-faksi yang didukung Iran dan militer Irak.

Presiden hanya jabatan seremonial di Irak. Namun, perdana menteri baru bisa ditunjuk setelah ada presiden baru. Perdana menteri biasanya dipilih oleh koalisi terbesar di parlemen. [ab/ka]

Forum

XS
SM
MD
LG