KAMPALA —
Phiona Mutesi, kini 16 tahun, mulai bermain catur ketika ia berusia sembilan tahun dan berjuang mengatasi kelaparan. Ia keluar dari sekolah dan berjualan jagung di jalan. Mutesi mendengar bahwa Sports Outreach, misi berbasis agama dari Amerika mengajarkan catur kepada anak-anak kumuh di Katwe, tetapi dia datang karena mengincar bubur gratisnya.
“Kami diusir dari rumah karena kami tidak punya uang. Jadi ketika saya mendengar bahwa saya bisa belajar catur sekaligus mendapatkan semangkuk bubur, saya langsung tertarik, karena saya lapar sekali,” aku Mutesi.
Di Uganda, catur dianggap sebagai olahraga warga kulit putih, dan terlalu sulit bagi perempuan. Tetapi Mutesi rupanya punya bakat luar biasa, dan mulai mewakili Uganda dalam turnamen internasional. Dia pernah bertanding dua kali dalam Olimpiade Catur Internasional, dan kini dianggap sebagai pemain catur perempuan terbaik di negara itu.
Tetapi Robert Katende, yang menjalankan program catur di Katwe itu mengatakan Mutesi memiliki lebih dari sekedar bakat. Ada sesuatu dalam kehidupan kumuh yang membuat anak-anak ini sangat cepat beradaptasi dengan catur, katanya.
“Saya yakin bahwa setelah mereka melalui apa yang telah mereka alami sejak kecil, berjuang untuk hidup setiap hari, mereka langsung cocok dengan catur. Karena ketika mereka bermain catur, mereka masih harus menghadapi tantangan, menggerakkan bidak catur, memikirkan apa langkah berikutnya, dan apa yang akan muncul setelahnya. Itu membuat mereka lebih paham,” kata Katende.
Kisah Mutesi yang inspiratif ini menjadi tema buku, “The Queen of Katwe”, yang dipublikasikan Oktober lalu. Dia bahkan mengundang perhatian Disney, yang berencana membuat film tentang dirinya.
Mutesi mengatakan catur juga telah mengubah pandangan hidupnya. Dia kembali ke bangku sekolah, uang dari Disney digunakan untuk membeli tanah untuk keluarganya, dan dia bercita-cita menjadi Grandmaster catur dan dokter. Dia tidak pernah memimpikan kehidupan semacam itu waktu kecil, katanya.
“Dulu saya sangat bandel. Tapi sekarang saya anak baik-baik. Waktu dulu saya tidak punya harapan, tapi sekarang saya bercita-cita menjadi dokter. Saya hanya memikirkan bagaimana akan mencapainya,” aku Mutesi.
Mutesi dinamai Kandidat Master tahun lalu, titel paling rendah dalam Federasi Catur Dunia. Itu adalah langkah awal, kata Katende, dan Mutesi memiliki potensi hebat. Uganda belum pernah memiliki Grandmaster sebelumnya, dan masih banyak cobaan yang harus dilalui Mutesi.
“Kami diusir dari rumah karena kami tidak punya uang. Jadi ketika saya mendengar bahwa saya bisa belajar catur sekaligus mendapatkan semangkuk bubur, saya langsung tertarik, karena saya lapar sekali,” aku Mutesi.
Di Uganda, catur dianggap sebagai olahraga warga kulit putih, dan terlalu sulit bagi perempuan. Tetapi Mutesi rupanya punya bakat luar biasa, dan mulai mewakili Uganda dalam turnamen internasional. Dia pernah bertanding dua kali dalam Olimpiade Catur Internasional, dan kini dianggap sebagai pemain catur perempuan terbaik di negara itu.
Tetapi Robert Katende, yang menjalankan program catur di Katwe itu mengatakan Mutesi memiliki lebih dari sekedar bakat. Ada sesuatu dalam kehidupan kumuh yang membuat anak-anak ini sangat cepat beradaptasi dengan catur, katanya.
“Saya yakin bahwa setelah mereka melalui apa yang telah mereka alami sejak kecil, berjuang untuk hidup setiap hari, mereka langsung cocok dengan catur. Karena ketika mereka bermain catur, mereka masih harus menghadapi tantangan, menggerakkan bidak catur, memikirkan apa langkah berikutnya, dan apa yang akan muncul setelahnya. Itu membuat mereka lebih paham,” kata Katende.
Kisah Mutesi yang inspiratif ini menjadi tema buku, “The Queen of Katwe”, yang dipublikasikan Oktober lalu. Dia bahkan mengundang perhatian Disney, yang berencana membuat film tentang dirinya.
Mutesi mengatakan catur juga telah mengubah pandangan hidupnya. Dia kembali ke bangku sekolah, uang dari Disney digunakan untuk membeli tanah untuk keluarganya, dan dia bercita-cita menjadi Grandmaster catur dan dokter. Dia tidak pernah memimpikan kehidupan semacam itu waktu kecil, katanya.
“Dulu saya sangat bandel. Tapi sekarang saya anak baik-baik. Waktu dulu saya tidak punya harapan, tapi sekarang saya bercita-cita menjadi dokter. Saya hanya memikirkan bagaimana akan mencapainya,” aku Mutesi.
Mutesi dinamai Kandidat Master tahun lalu, titel paling rendah dalam Federasi Catur Dunia. Itu adalah langkah awal, kata Katende, dan Mutesi memiliki potensi hebat. Uganda belum pernah memiliki Grandmaster sebelumnya, dan masih banyak cobaan yang harus dilalui Mutesi.