Tautan-tautan Akses

Militer Myanmar Rebut Kekuasaan, Tahan Pemimpin Aung San Suu Kyi


Anggota penjaga kehormatan militer Myanmar mengambil bagian dalam upacara untuk memperingati Hari Persatuan Nasional ke-73 di Yangon pada 12 Februari 2020. (Foto: AFP/Sai Aung Main)
Anggota penjaga kehormatan militer Myanmar mengambil bagian dalam upacara untuk memperingati Hari Persatuan Nasional ke-73 di Yangon pada 12 Februari 2020. (Foto: AFP/Sai Aung Main)

Militer Myanmar merebut kontrol negara itu hari Senin di bawah keadaan darurat yang ditetapkan berlangsung satu tahun, dengan alasan kurangnya tindakan terhadap klaim mengenai kecurangan dalam pemilu November lalu.

Menyusul pengumuman di saluran televisi Myawaddy yang dioperasikan militer, tentara menyatakan pemilu akan dilakukan pada penghujung satu tahun itu, dengan militer akan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang pemilu.

Pengumuman itu dilakukan setelah kekhawatiran selama berhari-hari mengenai ancaman kudeta oleh militer, sesuatu yang dibantah oleh militer. Sedianya parlemen yang baru akan memulai sesi pada Senin (1/2) pagi.

Penahanan para politisi itu dan putusnya layanan komunikasi pada Senin (1/2) merupakan beberapa sinyal pertama yang mengisyaratkan bahwa perebutan kekuasaan sedang berlangsung. Akses telepon dan internet ke Naypyitaw putus dan partai Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) tidak bisa dihubungi.

Media berita daring Irrawaddy melaporkan bahwa Suu Kyi, yang merupakan pemimpin de facto, dan presiden Win Myint ditahan pada Senin (1/2) dini hari. Media itu mengutip Myo Nyunt, juru bicara NLD. Irrawaddy melaporkan bahwa para anggota Komite Eksekutif Pusat NLD, sejumlah anggota parlemen dan anggota Kabinet regional juga telah ditahan.

“Sejauh yang kami tahu, semua orang penting telah ditahan oleh militer Myanmar,” ujar Myo Nyunt. “Jadi, sekarang kita dapat katakan ini adalah kudeta.”

Laman terverifikasi NLD di Facebook kemudian menerbitkan pernyataan yang mendesak orang-orang agar tidak menerima “kudeta” atau kembalinya “kediktatoran militer.”

Senin ini seharusnya berlangsung sidang pertama parlemen setelah kemenangan besar NLD dalam pemilu November lalu.

Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan Amerika “mendukung rakyat Myanmar dalam cita-cita mereka bagi demokrasi, kebebasan, perdamaian, dan pembangunan,” dan meminta militer agar segera mengubah tindakannya.

Gedung Putih, dalam suatu pernyataan, menambahkan, “AS menentang upaya apapun untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghambat transisi demokrasi Myanmar dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab, apabila langkah-langkah ini tidak dibatalkan.”

Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak pimpinan militer Myanmar untuk menyelesaikan setiap perselisihan melalui dialog damai.

“Sekjen mengecam keras penahanan Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint dan para pemimpin politik lainnya menjelang sidang pembukaan parlemen baru Myanmar. Ia menyatakan sangat prihatin terkait deklarasi pengalihan semua kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif ke militer,” kata juru bicara Guterres, Stéphane Dujarric dalam satu pernyataan. “Perkembangan ini mewakili pukulan serius bagi reformasi demokrasi di Myanmar.”

Uni Eropa, Inggris, Australia, India dan Singapura juga menyatakan khawatir atas situasi di Myanmar. Begitu pula berbagai organisasi HAM.

Ming Yu Hah, deputi direktur regional kampanye Amnesty International mengatakan, “Penangkapan secara bersamaan para aktivis politik dan pembela HAM terkemuka memberi pesan mengerikan bahwa otoritas militer tidak akan menoleransi perbedaan pendapat apapun di tengah-tengah berbagai peristiwa yang tengah berlangsung sekarang.”

Layanan telepon dan internet di kota-kota besar di Myanmar telah diputus, sebut berbagai laporan. Badan penyiaran pemerintah MRTV, tidak mengudara, dan melaporkan di Facebook mengenai isu teknis yang dihadapinya.Tentara berada di jalan-jalan ibu kota, Naypyidaw, dan kota terbesar, Yangon, sebut berbagai laporan. [vm/ah,uh/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG