Tautan-tautan Akses

Kompetisi Peradilan "Philip C. Jessup" dan Pendidikan Hukum di Indonesia


Delegasi mahasiswa dari Universitas Gajah Mada, Universitas Airlanga, dan Universitas Pelita Harapan berpose bersama (dok. pribadi).
Delegasi mahasiswa dari Universitas Gajah Mada, Universitas Airlanga, dan Universitas Pelita Harapan berpose bersama (dok. pribadi).

Tim mahasiswa fakultas hukum dari 4 kampus di Indonesia berhasil masuk babak Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition, atau Kompetisi Peradilan Semu Hukum Internasional di Washington baru-baru ini. Apa yang mereka raih dan bagaimana korelasinya dengan pendidikan hukum di Indonesia?

Philip C. Jessup Moot Court Competition adalah kompetisi peradilan semu terbesar dan tertua yang sangat bergengsi.

Ignatius Vito, anggota tim fakultas hukum Universitas Katolik Parahyangan mengibaratkannya sebagai berkut.

Ignatius Vito Aquilire, mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (dok. pribadi).
Ignatius Vito Aquilire, mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (dok. pribadi).

“Salah satu yang paling tua dan paling prestisius, bisa dibilang Philip C. Jessup mungkin bagi orang banyak istilahnya Piala Dunia atau Olimpiade-nya anak-anak (mahasiswa) hukum," ujar Vito.

Ini adalah tahun pertama kompetisi berlangsung secara in person lagi setelah beberapa tahun diselenggarakan virtual karena pandemi.

Berlangsung pada 8-15 April lalu, kompetisi ini diikuti oleh lebih dari 130 tim dari puluhan negara, empat tim di antaranya dari Indonesia. Berdasarkan peringkat di babak nasional, keempat tim itu adalah Universitas Pelita Harapan (UPH), Universitas Parahyangan (Unpar), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Gajah Mada (UGM).

Nadien Anindya, mahasiswa Universitas Gajah Mada (dok. pribadi).
Nadien Anindya, mahasiswa Universitas Gajah Mada (dok. pribadi).

Vitio dan Nadien Anindya dari UGM sama-sama baru pertama kali ini mewakili tim fakultas hukum mereka masing-masing hingga ke babak internasional. Seperti tim-tim Indonesia lainnya, kata Nadien,

“Kemarin itu, kita sadly belum masuk top 48, Kami cuma ikut 4 rounds pendahuluan," tutur Nadien.

Namun bagi pelatih tim Unpar, Anna Anindita Nur Pustika, ini bukan prestasi yang buruk. Menurut Anin, begitu ia disapa, “Ini juga termasuk yang baik, karena kami pernah mengalami tidak lolos ke international round, bahkan national round pernah tidak menang," katanya.

Vito menganggap kompetisi ini sangat kompetitif, antara lain dari senioritas pesertanya. Tidak seperti di Indonesia, di mana gelar sarjana hukum diraih melalui jenjang S-1, mahasiswa di beberapa negara peserta seperti Amerika Serikat atau Inggris baru meraih gelar itu melalui pendidikan setara jenjang S-2. Dan, mahasiswa seperti itulah yang dihadapi oleh timnya.

Delegasi mahasiswa Unpar bersama Duta Besar RI untuk AS Rosan Roeslani (dok. pribadi).
Delegasi mahasiswa Unpar bersama Duta Besar RI untuk AS Rosan Roeslani (dok. pribadi).

Ia juga mengakui bahwa salah satu PR yang perlu digarap timnya dalam kompetisi mendatang adalah meningkatkan kefasihan untuk menyampaikan pendapat.

“Jadi yang dicari dari kompetisi ini adalah kemampuan konversasional, di mana kita bisa seperti ngobrol saja dengan hakimnya, tidak seperti ditanya jawab," kata Vito.

Ia juga menengarai penyelenggaraan kompetisi secara virtual maupun tatap muka membuat persaingan terasa berbeda jauh. Selain para hakimnya lebih bersemangat, lawan-lawan pun semakin kompetitif, lanjut Vito.

Lomba dan Pendidikan di Indonesia

Anna Anindta Nur Pustika, coach tim Fakultas Hukum Unpar (dok. pribadi).
Anna Anindta Nur Pustika, coach tim Fakultas Hukum Unpar (dok. pribadi).

Hal serupa diamati oleh Anin. Sepanjang keikutsertaannya dalam putaran internasional kompetisi Jessup sejak 2002, tim Unpar mencapai posisi terbaik tahun lalu, melaju ke babak 32 besar dan berada di peringkat terbaik ke-15. Anin berkomentar, “Anak-anak mungkin mentalnya kalau online (merasa) masih ditemani oleh coach-nya. Kemarin ini kan sudah langsung dilepas, benar-benar berhadapan. Jadi mentalnya beda.”

Sejauh pengamatannya, ia mengakui bahwa mahasiswa asuhannya masih terlihat kaku, tidak berlaku layaknya seorang lawyer yang sedang membela satu negara dalam sebuah kasus. Selain itu, mereka belum terbiasa untuk cepat membaca arah pertanyaan para hakim.

Anin, yang telah dua tahun berturut-turut menjadi pelatih tim Unpar, mencermati bahwa para mahasiswa Indonesia sebetulnya memiliki potensi besar dan penguasaan substansi mereka berimbang dengan tim dari negara lain.

Kompetisi Peradilan "Philip C. Jessup" dan Pendidikan Hukum di Indonesia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:30 0:00

Namun, ketika pertanyaan dibolak-balik atau diajukan dari sisi lain, mahasiswa Indonesia kadang-kadang kurang cepat menangkapnya dan tidak menjawabnya dengan lugas. Ia melihat hal ini hampir merata dilakukan tim dari berbagai kampus di Indonesia. Masalah ini juga yang menjadi catatan hakim untuk tim Indonesia tahun lalu, lanjutnya.

Anin sendri pernah meneliti kaitan hal ini dengan pendidikan mahasiswa hukum di Indonesia. Salah satu kekurangan dalam pendidikan di Indonesia adalah pelaksanaan teori yang disampaikan di kampus berbeda dengan praktik di lapangan, jelasnya.

“Itu yang memang mungkin bisa terbilang menjadi kekurangan bagi kami para akademisi. Sekarang dengan program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), salah satunya adalah dengan praktisi mengajar, kami mencoba melibatkan lawyer untuk mengajar di kelas. Kami ingin mereka menggambarkan sebenarnya nanti situasi di lapangan setelah lulus itu seperti apa. Jadi mendekatkan anak-anak (mahasiswa) dengan dunia praktik di perkuliahan," paparnya.

Manfaat Ikut Kompetisi

Untuk tahun depan, Nadien, mahasiswa semester 2, berharap dapat ikut berkompetisi lagi, sedangkan Vito akan berkonsentrasi pada penyusunan skripsinya. Yang jelas, mengikuti kompetisi Jessup ini bermanfaat banyak bagi mereka.

Nadien merasakan atmosfer pertandingan berskala internasional, mendapat kenalan sesama mahasiswa fakultas hukum dari berbagai negara, serta mengenal banyak alumni Jessup dan para dosen yang turut membantu melatih timnya. Ia menambahkan, “Lomba seperti ini melatih banyak skill set yang bakal banyak diperlukan di law firm atau di kementerian dan sebagainya.”

Nadien (kanan) dan rekan-rekannya delegasi mahasiswa Universitas Gajah Mada (dok. pribadi).
Nadien (kanan) dan rekan-rekannya delegasi mahasiswa Universitas Gajah Mada (dok. pribadi).

Sementara itu bagi Vito, substansi dalam peradilan semu hukum internasional mungkin tidak akan terlalu terpakai oleh banyak alumni kompetisi yang rata-rata ingin berpraktik di firma hukum atau menekuni hukum bisnis.

Namun, soft skill yang mereka asah untuk mengikuti pertandingan ini sangat berguna, di antaranya keterampilan melakukan riset, mengemukakan pendapat secara lisan, menulis dan berbicara dalam bahasa Inggris, serta bekerja sama dalam tim. Dan yang penting baginya dan ia harapkan terus berlanjut adalah jejaring yang ia bangun melalui kompetisi ini. [uh/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG