Tautan-tautan Akses

Jalan Terjal Menekan Impor Obat dan Alat Kesehatan


Sebuah ventilator terlihat di unit perawatan intensif (ICU) di rumah sakit universitas di Aachen, Jerman, 21 Desember 2020. Indonesia memiliki ketergantungan yang luar biasa terhadap produk luar negeri di sektor kesehatan. (Foto: REUTERS/Leon Kuegeler)
Sebuah ventilator terlihat di unit perawatan intensif (ICU) di rumah sakit universitas di Aachen, Jerman, 21 Desember 2020. Indonesia memiliki ketergantungan yang luar biasa terhadap produk luar negeri di sektor kesehatan. (Foto: REUTERS/Leon Kuegeler)

Pandemi COVID-19 membuka tabir yang selama ini tidak disadari banyak pihak. Indonesia memiliki ketergantungan yang luar biasa terhadap produk luar negeri di sektor kesehatan.

Teguh Hari adalah seorang karyawan PT Pelopor Teknologi Implatindo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan memproduksi alat kesehatan. Perusahaan tempat Teguh bekerja itu salah satunya memproduksi implan tulang dengan bahan baku lokal, tetapi produksinya menerapkan teknologi tinggi. Ironisnya, saat ini 95 persen pasar alat kesehatan implan di Tanah Air masih dikuasai impor.

Model tulang belakang yang ditanamkan dengan sumbu buatan yang dicetak 3D ditampilkan di RS Universitas Peking di Beijing, 14 Agustus 2014. Saat ini 95% pasar alat kesehatan implan di Indonesia masih dikuasai impor.(Foto: Reuters/Jason Lee)
Model tulang belakang yang ditanamkan dengan sumbu buatan yang dicetak 3D ditampilkan di RS Universitas Peking di Beijing, 14 Agustus 2014. Saat ini 95% pasar alat kesehatan implan di Indonesia masih dikuasai impor.(Foto: Reuters/Jason Lee)

“TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri -red) kami sangat tinggi. Kami mempunyai izin edar sekitar 2.000 varian implan tulang dan kami sudah masuk E-Catalog. Mohon petunjuk, bagaimana membendung produk impor untuk masuk ke pasar lokal Indonesia,” ujarnya.

Teguh menyampaikan langsung keresahan itu kepada Prof. Laksono Trisnantoro, Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan. Selasa (24/8), Laksono menjadi pembicara dalam diskusi daring peluncuran Gugus Tugas Kemandirian Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang dibentuk Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Banyak Faktor Berpengaruh

Terlepas dari keresahan pelaku industri dalam negeri, ada sejumlah analisa disampaikan Laksono terkait rendahnya kemandirian Indonesia di sektor ini. Salah satunya adalah faktor dokter sendiri.

“Faktor dokter sebagai penentu obat dan alat kesesehatan. Ini juga menarik, karena dokter memiliki hak dan kemampuan mengarahkan pasien dan memilih alat kesehatan. Dan kita tahu tradisi impor itu sangat kuat sekali, sehingga dokter kadang lebih percaya diri menggunakan alat kesehatan impor daripada dalam negeri,” kata Laksono.

Prof Laksono Trisnantoro, Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Prof Laksono Trisnantoro, Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Tantangan kemandirian berbeda di dua kelompok, yaitu obat dan alat kesehatan. Indikator yang disepakati dalam hal ini adalah TKDN yang ditentukan dalam prosentase di setiap produk. Pemerintah menetapkan angka TKDN 40 persen untuk produk yang masuk dalam program pengadaan barang dan jasa.

Di kelompok obat saat ini, angka TKDN bervariasi antara 30-70 persen, tetapi juga sejumlah merek yang masih ada di bawah itu. Sedangkan di kelompok alat kesehatan, TKDN lebih bervariasi lagi. Namun, hanya tiga persen industri di Tanah Air yang memiliki TKDN sesuai standar. Industri obat di Indonesia bernilai Rp80 triliun, sedangkan alat kesehatan mencapai Rp40 triliun.

Ventilator Hamilton Medical AG diangkut dengan konveyor di pabrik di Domat/Ems, Swiss 18 Maret 2020. Indonesia masih bergantung pada impor alat-alat kesehatan. (Foto: REUTERS/Arnd Wiegmann)
Ventilator Hamilton Medical AG diangkut dengan konveyor di pabrik di Domat/Ems, Swiss 18 Maret 2020. Indonesia masih bergantung pada impor alat-alat kesehatan. (Foto: REUTERS/Arnd Wiegmann)

“Kebijakan kemandirian belum sekuat di berbagai negara, dasar hukum kita masih Inpres dan Permenkes. Ada negara yang sampai ke level undang-undang. Kemudian belum ada rencana detil di setiap produk, dari hulu ke hilir untuk pengembangan dengan TKDN tinggi,” tambah Laksono terkait tantangan yang masih dihadapi sektor tersebut di Indonesia.

Isu kunci yang juga harus diselesaikan adalah soal kemandirian itu sendiri, yang dimaknai sebagai ketahanan ataukah keekonomian. Jika terkait keekonomian, sejumlah obat seperti parasetamol jika dihitung dengan teliti, pada akhirnya disimpulkan secara ekonomi tidak feasible. Jika kemandirian dititikberatkan pada ketahanan, maka negara harus ikut menanggung pendanaannya.

Terkait riset, kata Laksono, hilirisasi juga banyak mengalami kemacetan. Selain itu, industri obat dan alat kesehatan Indonesia juga dibelit persoalan pajak. Sistem pajak di Indonesia, belum bisa memisahkan, mana produk obat dan alat kesehatan yang bisa ditetapkan pajaknya, dan mana yang sebaiknya tidak dibebani pajak demi kepentingan seluruh masyarakat.

Seorang apoteker memeriksa berat Parasetamol, obat pereda nyeri umum yang juga dijual sebagai asetaminofen, 4 Maret 2020. (Foto: REUTERS/Amit Dave)
Seorang apoteker memeriksa berat Parasetamol, obat pereda nyeri umum yang juga dijual sebagai asetaminofen, 4 Maret 2020. (Foto: REUTERS/Amit Dave)

Perguruan Tinggi Berjarak dengan Industri

Gugus tugas ini dibentuk sebagai upaya meningkatkan kemandirian nasional, khususnya terkait obat dan alat kesehatan. Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Panut Mulyono, memastikan Indonesia memiliki bahan baku untuk industri ini. Dari sisi regulasi, tersedia lengkap dan mendukung. Perguruan tinggi juga memiliki banyak riset yang membuktikan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing. Problemnya, kata Panut, akan tiba ketika langkah itu akan berlanjut ke sektor produksi.

Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Panut Mulyono. (Foto: Courtesy/Humas UGM)
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Panut Mulyono. (Foto: Courtesy/Humas UGM)

Ada banyak pertimbangan yang harus diambil, jika perguruan tinggi akan masuk ke sektor industri secara langsung. Persoalan modal, pajak, hitungan pengembalian investasi, hingga penyerapan pasar terlalu rumit.

“Prinsipnya, secara teknologi kita semuanya bisa. Kita tahu cara membuatnya, tetapi pasarnya, keterjaminan penjualan produk, dan lainnya itu menjadi hal yang sangat penting. Dan saat ini dengan kesadaran politik yang sudah terbangun, harapannya kita bisa melaksanakan ini semua dengan baik dan semoga berhasil,” kata Panut.

Ia mengungkap sejumlah syarat dukungan yang dibutuhkan agar kemandirian nasional di sektor kesehatan bisa tercapai. Misalnya kebijakan pemerintah agar produk dalam negeri dapat bersaing dari sisi harga. Selain itu edukasi masyarakat juga penting agar memakai produk dalam negeri.

BRIN Dukung Penuh

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko. (Foto: VOA/Nurhadi)
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko. (Foto: VOA/Nurhadi)

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyebut Indonesia sebenarnya sudah memberikan dukungan penuh bagi para peneliti. Regulasi, dana riset, sejumlah insentif, hingga hibah disediakan.

Tantangannya adalah bagaimana menciptakan ekosistem sehingga peneliti maupun industri, dapat memasuki dunia riset dengan mudah. Namun, katanya, tetap ada persoalan yang belum diselesaikan, bahkan oleh perguruan tinggi maupun lembaga penelitian.

“Kita sudah punya kekayaannya. Kita punya teknologinya. Tetapi membuat teknologinya menjadi well proven (terbukti dengan baik-red) untuk suatu kasus tertentu, sehingga bisa di-offer (tawarkan -red) dan membuat investor atau pelaku usaha tertarik untuk mengadopsi, itu tidak sampai. Karena proses itu luar biasa sumber dayanya,” kata Laksana dalam diskusi yang sama.

Namun, Laksana mendorong seluruh peneliti untuk terus memanfaatkan pendanaan riset yang disediakan pemerintah. BRIN saat ini menerapkan skema riset, bukan proyek riset, karena proyek mensyaratkan adanya hasil. Sementara riset memiliki risiko untuk tidak berhasil.

“Pandemi ini mengajarkan banyak hal, dan memberikan kesempatan pada kita semua, kita harus manfaatkan itu dengan membuat kita semua terbuka. Supaya kita semua tahu, apa yang kita bisa dan tidak bisa,” kata Laksana.

Tantangannya, kata Laksana, adalah pemenuhan standar. Dalam kasus penelitian sektor kesehatan, karena menyangkut manusia, maka standar penelitian harus dipatuhi. Paling penting, kemauan untuk melaksanakan riset dan tidak takut mengalami kegagalan.

Seorang petugas medis memeriksa peralatan medis di Wisma Atlet Kemayoran untuk mencegah penyebaran wabah virus corona di Jakarta, 23 Maret 2020. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A via Reuters)
Seorang petugas medis memeriksa peralatan medis di Wisma Atlet Kemayoran untuk mencegah penyebaran wabah virus corona di Jakarta, 23 Maret 2020. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A via Reuters)

“Kalau gagal, enggak papa. Wong riset, kok. Kegagalan itu bukan sesuatu yang haram. Kalau dari 30 formula, ada 10-15 persen berhasil, sampai lisensi, itu sudah keren buat saya,” tambahnya.

BRIN menyambut baik berdirinya Gugus Tugas Kemandirian Industri Farmasi dan Alat Kesehatan di UGM. Kehadirannya diharapkan bisa membantu pemerintah melihat permasalahan yang dihadapi, khususnya di sektor kesehatan.

Pemerintah Dorong Industri

Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Marves yang sekaligus Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM Darurat ketika mengumumkan perpanjangan kebijakan PPKM secara virtual di Jakarta, Senin malam (23/8). (Courtesy: Kemenko Marves)
Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Marves yang sekaligus Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM Darurat ketika mengumumkan perpanjangan kebijakan PPKM secara virtual di Jakarta, Senin malam (23/8). (Courtesy: Kemenko Marves)

Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyinggung persoalan ini dalam pernyataannya pada Juni 2021. Menurut dia, angka impor pada data belanja alat kesehatan E-Catalog LKPP pada 1 Mei 2020 hingga 11 Juni 2021, mencapai lima kali lebih besar dibandingkan produk dalam negeri.

Luhut menyebut, alat kesehatan produksi dalam negeri laku Rp2,9 triliun, sementara produk impor mencapai Rp12,5 triliun. Dia meminta, belanja produk dalam negeri 2021 ditingkatkan hingga Rp6,5 triliun.

Kementerian Perindustrian sendiri mengakui masih banyak alat kesehatan yang sepenuhnya diperoleh melalui impor. Masuk dalam daftar itu antara lain nasal oxygen cannula, alat suntik, meja dan kursi medis, surgical apparel atau peralatan operasi, alcohol swab (usap alkohol), hospital bed electric (tempat tidur elektrik), kasa hidrofil, hingga meja operasi dan kantung urin.

Seorang petugas medis mengecek peralatan medis di rumah sakit darurat untuk pasien COVID-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, 23 Maret 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Seorang petugas medis mengecek peralatan medis di rumah sakit darurat untuk pasien COVID-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, 23 Maret 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Total ada 79 produk yang diharapkan menjadi prioritas untuk beralih ke produk dalam negeri. Solusinya, Kemenperin akan memberikan fasilitasi sertifikasi TKDN secara gratis untuk setidaknya 9.000 produk pada tahun ini.

Menurut ketentuan, apabila sebuah produk telah memiliki TKDN di atas 40 persen, maka produk impor akan dilarang untuk dibeli. [ns/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG