Tautan-tautan Akses

Gunung-Gunung di Oman Bisa Jadi Miliki Petunjuk untuk Membalikkan Perubahan Iklim


Foto ini menunjukkan lokasi pengeboran Oman Drilling Project di pegunungan al-Hajjar, Oman, tanggal 1 Maret 2017 (foto: AP Photo/Sam McNeil)
Foto ini menunjukkan lokasi pengeboran Oman Drilling Project di pegunungan al-Hajjar, Oman, tanggal 1 Maret 2017 (foto: AP Photo/Sam McNeil)

Ahli geologi di Oman sedang mencari cara yang efisien dan murah untuk menghilangkan karbon dioksida dari udara dan samudara – dan kemungkinan mulai untuk membalikkan perubahan iklim.

Jauh di dalam pegunungan kemerahan yang kasar di Oman, ahli geologi sedang mencari cara yang efisien dan murah untuk menghilangkan karbon dioksida dari udara dan samudara – dan kemungkinan mulai untuk membalikkan perubahan iklim.

Mereka mengebor sampel dari satu-satunya bagian yang terpapar dari mantel bumi untuk mengungkapkan bagaimana sebuah proses alami spontan jutaan tahun yang lalu mengubah karbon dioksida menjadi batu kapur dan batu pualam.

Saat mobilisasi di dunia dilakukan untuk menanggulangi perubahan iklim, fokus utamanya adalah untuk mengurangi emisi lewat mobil dengan bahan bakar efisien dan pembangkit listrik yang lebih bersih. Namun beberapa peneliti juga menguji cara-cara untuk menghilangkan atau mendaur ulang karbon yang sudah ada di laut dan angkasa.

Pembangkit listrik panas bumi Hellisheidi di Islandia menyuntikkan karbon ke batuan vulkanis. Di pabrik pupuk Sinopec yang besar di China, karbon disaring dan didaur ulang sebagai bahan bakar. Secara keseluruhan, 16 proyek industri saat ini menangkap dan menyimpan sekitar 27 juta ton karbon, menurut International Energy Agency. Jumlah tersebut kurang dari 0,1 persen dari emisi global – aktivitas manusia diperkirakan memompa sekitar 40 milyar ton setahun ke atmosfir namun teknologi ini telah menawarkan sesuatu yang menjanjikan.

Butuh banyak usaha

“Tidak ada jaminan keberhasilan untuk setiap teknik ini,” ujar Stuart Haszeldine, seorang profesor geologi di the University of Edinburgh yang mengabdi pada badan iklim PBB yang mempelajari cara pengurangi karbon di atmosfir. “Apabila kita tertarik sebagai spesies, kita harus berusaha jauh lebih keras dan bekerja lebih keras serta banyak tindakan berbeda.”

Salah satu tindakan ini sedang berjalan di Pegunungan al-Hajjar di Oman, di sebuah sudut sunyi Semenanjung Arabia, dimana sebuah formasi bebatuan unik menarik karbon dari udara tipis.

Peter Kelemen, 61, seorang ahli geologi kimia di Observatorium Bumi Lamont-Doherty milik Columbia University, telah mengeksplorasi bukit-bukit di Oman hampir selama tiga dekade. “Anda dapat menuruni ngarai-ngarai yang indah dan pada dasarnya turun sejauh 12 kilometer ke bagian dalam bumi,” ujarnya.

Kawasan kesultanan ini mengklaim bagian terbesar paparan mantel bumi, yang terdorong ke atas oleh lempeng tektonik jutaan tahun yang lalu. Mantel ini mengandung peridotite, sejenis bebatuan yang bereaksi terhadap keberadaan karbon di udara dan air untuk membentuk batu pualam dan batu kapur.

“Setiap unit atom magnesium dari bebatuan ini telah bergabung dengan karbon dioksida untuk membentuk batu kapur padat, magnesium karbonat, ditambah kuarsa,” ujarnya sambil menepuk karang yang berwarna seperti karat di lembah Wadi Mansah.

Di pegunungan ini ada sekita satu milyar ton CO2,” ujarnya, sambil menunjuk ke arah timur.

Hujan dan mata air menarik karbon dari lapisan mantel yang terbuka untuk membentuk stalaktit dan stalakmit di gua-gua pegunungan. Kolam-kolam alami menjadi tempat berkembangnya buih karbonat putih di permukaannya. Keruk lapisan film putih dan tipis ini, ujar Kelemen, dan buih itu akan muncul kembali dalam waktu satu hari.

“Untuk seorang ahli geologi, peristiwa ini tergolong supersonik,” ujarnya.

Proyek Pengeboran

Ia dan tim yang terdiri dari 40 ilmuwan telah membentuk Oman Drilling Project untuk memahami lebih baik bagaimana proses itu bekerja dan apakah proses itu dapat digunakan untuk membersihkan atmosfir bumi yang penuh bermuatan karbon. Proyek senilai $3,5 milyar ini mendapat dukungan dari seluruh dunia, termasuk NASA.

Karbon dioksida adalah unsur utama gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim, yang mengancam terjadinya masalah meteorologis, pertanian, dan politik di seluruh dunia, menurut badan iklim PBB.

Tingkat karbon alami akan meningkat dari 280 menjadi 405 ppm sejak terjadinya Revolusi Industri, dan perkiraan sekarang memperkirakan suhu dunia akan 6 derajat Celsius lebih panas menjelang tahun 2100.

Pada tahun 2015, 196 negara menandatangani kesepakatan iklim di Paris, yang setuju untuk membatasi gas rumah kaca ke tingkat yang membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.

Hal ini telah menciptakan desakan baru ke pekerjaan yang dijalankan di Oman, dimana tim Keleman baru-baru ini menghabiskan waktu empat bulan untuk mengekstraksi lusinan sampel inti bumi, yang mereka harap dapat digunakan untuk membangun sejarah geologi dari proses yang mengubah karbon dioksida menjadi karbonat.

"Ini adalah potongan teka-teki,” ujar Nehal Warsi, 33, yang mengawasi proyek pengeboran.

Sekitar 13 ton sampel inti bumi dari empat lokasi berbeda akan dikirimkan ke Chikyu, kapal penelitian berteknologi tinggi di lepas pantai Jepang, dimana Kelemen dan ahli geologi lainnya akan bekerja 24 jam.

Mereka berharap bisa menemukan jawaban dari teka-teki bagaimana bebatuan bisa menangkap begitu banyak karbon dalam periode 90 juta tahun – dan mengamati apabila ada cara untuk mempercepat proses tersebut.

Siklus karbon

Kelemen berpikir operasi pengeboran ini dapat mendaur ulang air yang kaya akan karbon mendai dasar laut yang baru terbentuk di tepian samudra jauh di bawah pemukaan. Seperti di pegunungan Oman, bebatuan yang terendam ini secara kimia akan menyerap karbon dari air. Air kemudian akan di sirkulasi ke permukaan untuk menyerap lebih banyak karbon dari atmosfir, dalam proses yang mirip sabuk produksi.

Proyek semacam itu akan butuh pengujian yang memakan waktu bertahun-tahun, namun Kelemen berharap industri energi, dengan keahlian pengeboran lepas pantai dan sumberdaya finansial yang besar, akan menunjukkan minatnya.

“Akhirnya, apabila tujuannya adalah untuk menangkap miliaran dan miliaran ton karbon, disitulah James Cameron dapat masuk,” ujarnya, setengah bercanda, sambil merujuk pada sutradara film “Titanic” dan “Avatar” yang telah menjadi perintis teknologi bawah tahun. Cameron sendiri telah mengemudikan wahana bawah laut hingga titik terdalam di bumi pada tahun 2012 dan mengangkat berberapa sampel sambil membuat film “Deepsea Challenge.”

“Ia belum merespon pesan-pesan yang saya kirimkan padanya,” ujar Kelemen. [ww]

XS
SM
MD
LG