Tautan-tautan Akses

Beda Negara, Beda Aturan Tentang Senjata Api dan Dampaknya


Penggemar olahraga menembak di Jepang berlatih di kaki Gunung Fuji, sebelah barat Tokyo. (AP/Eric Talmadge)
Penggemar olahraga menembak di Jepang berlatih di kaki Gunung Fuji, sebelah barat Tokyo. (AP/Eric Talmadge)

Dua negara yang dianggap sukses dalam pengawasan senjata api adalah Jepang dan Swiss, sementara kisah yang mengkhawatirkan datang dari Brazil.

Setelah tragedi seperti penembakan massal di Sekolah Dasar Sandy Hook, statistik biasanya mengemuka. Dibandingkan dengan negara-negara maju yang stabil lainnya di dunia, dan dengan banyak negara di luar itu, data menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 pembunuhan yang berkaitan dengan penembakan terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.

Ada beberapa negara yang lebih buruk dari Amerika Serikat, namun sisanya memiliki jumlah pembunuhan bersenjata api yang lebih sedikit dalam setahun dibandingkan dengan 27 korban yang tewas dalam tragedi 14 Desember di Newtown, Connecticut.
Dua negara yang dianggap sukses dalam pengawasan senjata api adalah Jepang dan Swiss, sementara kisah yang mengkhawatirkan datang dari Brazil.

Jepang

Di negara ini, jumlah senjata api sangat sedikit, demikian juga dengan kekerasan bersenjata. Senjata api digunakan hanya pada tujuh pembunuhan di Jepang, negara berpenduduk sekitar 130 juta, sepanjang 2011, atau data statistik terakhir yang tersedia. Menurut polisi, lebih banyak orang (sembilan orang) dibunuh dengan gunting.

Meski tingkat kepemilikan senjata api sangat minim dibandingkan Amerika Serikat, ada 120.000 pemilik senjata api yang terdaftar dan lebih dari 400.000 senjata api yang terdaftar. Jadi mengapa kasus kekerasan bersenjata api lebih sedikit?

"Kami memiliki sudut pandang yang sangat berbeda mengenai senjata api dibandingkan dengan di Amerika Serikat,” ujar Tsutomu Uchida, yang mengelola Kanagawa Ohi Shooting Range, pusat pelatihan menembak sekelas Olimpiade untuk para penggemar olahraga ini.

“Di Amerika, orang yakin bahwa mereka berhak memiliki senjata api. Di Jepang, kita tidak memiliki hak tersebut.”

Memperlakukan kepemilikan senjata api sebagai keistimewaan bukannya hak telah mengarah pada perbedaan-perbedaan kebijakan yang penting.

Pertama, siapa pun yang ingin memiliki senjata api harus memberikan alasan kuat. Di bawah kebijakan yang telah berlaku lama di Jepang, tidak ada alasan bagus mengapa warga sipil harus memiliki senjata api tangan, kecuali para penembak kompetitif, sehingga hal itu dilarang.

Semua kejahatan terkait senjata api tangan dihubungkan dengan gangster, yang membelinya di pasar gelap. Tapi kejahatan demikian sangat jarang dan ketika itu terjadi, polisi akan mencari kelompok mana yang terlibat, sehingga gangster pun melihatnya sebagai pilihan terakhir.

Kepemilikan senapan diizinkan untuk masyarakat umum, namun diawasi dengan sangat ketat, melibatkan pelaporan pada polisi, tes tertulis, ceramah dan serangkaian pelatihan menembak, selain pemeriksaan latar belakang yang sangat menyeluruh dan rencana penyimpanan yang mendetail.

Uchida mengatakan bahwa aturan-aturan mengenai senjata api membuat frustrasi, sangat kompleks dan dapat tampak berubah-ubah. Namun, tambahnya, bahkan penggemar olahraga menembak seperti dirinya tidak ingin kebebasan memiliki senjata seperti di Amerika, mengingat rendahnya tingkat kejahatan terkait senjata api di Jepang.

Swiss

Para advokat hak senjata di Amerika Serikat sering mengacu pada Swiss sebagai contoh regulasi yang relatif liberal yang berjalan beriringan dengan tingkat kejahatan bersenjata api yang rendah.

Negara berpenduduk delapan juta orang itu memiliki sekitar 2,3 juta senjata api. Tidak seperti di AS, di mana senjata api digunakan dalam sebagian besar pembunuhan, hanya seperempat dari kasus pembunuhan di Swiss menggunakan senjata api. Senjata api hanya digunakan dalam 24 kasus pembunuhan pada 2009, atau 0,3 untuk setiap 100.000 penduduk. Tingkat pembunuhan di AS pada tahun yang sama adalah 11 kali lebih tinggi.

Para ahli mengatakan bahwa angka kejahatan dengan senjata api yang rendah di Swiss dipengaruhi oleh fakta bahwa sebagian besar senjata api adalah senapan militer yang diberikan pada pria peserta wajib militer. Kriminolog Martin Killias dari University of Zurich mencatat bahwa saat Swiss memperkecil ukuran angkatan darat pada beberapa dekade terakhir, kejahatan bersenjata api, terutama dalam pembunuhan domestik dan bunuh diri, juga menurun.

Kunci utamanya adalah bagaimana orang mengakses senjata, bukan jumlah total senjata di negara tersebut, ujar Killias. Ia menambahkan, para penjahat di Swiss, misalnya, tidak memiliki persenjataan sebaik penjahat jalanan di AS.

Pengkritik kepemilikan senjata di Swiss mengacu pada tingkat bunuh diri dengan senjata api yang tinggi di negara tersebut dibandingkan tempat-tempat lainnya di Eropa.

Namun upaya untuk memperketat aturan dan memaksa peserta wajib militer mengembalikan senjatanya telah gagal. Para penggemar senjata, banyak diantaranya merupakan anggota 3.000 klab senjata di Swiss, pembatasan senjata api akan merusak tradisi dan mengurangi kesiapan milisia untuk menghadapi invasi.

Brazil

Sejak 2003, Brazil hanya mengizinkan polisi, warga yang memiliki profesi berisiko tinggi dan mereka yang dapat membuktikan hidupnya terancam, untuk memiliki senjata api. Siapa pun yang tertangkap membawa senjata api tanpa izin menghadapi hukuman penjara sampai empat tahun.

Menurut sebuah studi 2011 oleh Badan PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), 34.678 orang dibunuh dengan senjata api di Brazil pada 2008, naik dari 34.147 pada 2007. Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pembunuhan oleh senjata api adalah 18 per 100.000 penduduk, atau lebih dari lima kali lipat di Amerika Serikat.

Kekerasan sangat endemik di Brazil. Kota-kota besar seperti Sao Paulo dan Rio de Janeiro dipenuhi wilayah kumuh yang didominasi kelompok pengedar narkoba yang berkuasa, dan seringkali memiliki persenjataan yang lebih canggih dibandingkan polisi. Pihak berwenang Brazil mengakui bahwa senjata api beredar dengan mudah di negara tersebut.

Meski demikian, Guaracy Mingardi, ahli dan peneliti kejahatan dan keselamatan publik di lembaga penelitian terkenal di Brazil, Fundacao Getulio Vargas, mengatakan bahwa undang-undang 2003 mengurangi tingkat pembunuhan bersenjata api di beberapa daerah.

Menurut Departemen Keselamatan Publik Sao Paulo, tingkat pembunuhan di kota tersebut menurun dari 28,29 per 100.000 pada 2003 menjadi 10,02 per 100.000 pada 2011.

Brazil menginginkan persenjataan lebih hebat ada di tangan polisi. Bulan ini, angkatan darat mengizinkan penegak hukum untuk membawa senjata kaliber berat untuk penggunaan pribadi.

Ligia Rechenberg, koordinator Sou da Paz, atau "Saya berpihak pada Perdamaian,” sebuah kelompok anti kekerasan, mengatakan bahwa situasi bisa bertambah parah. Ia mengatakan bahwa polisi akan membeli senjata yang tidak mereka pahami, memberikan risiko bagi mereka dan masyarakat lainnya. (AP/Eric Talmadge)
XS
SM
MD
LG