Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Bagi Taliban, ‘Pendapat Berbeda’ Tidak Termasuk Pendapat Perempuan


Perempuan yang mengenakan burqa tampak di Kandahar, Afghanistan, pada 7 Mei 2022.
Perempuan yang mengenakan burqa tampak di Kandahar, Afghanistan, pada 7 Mei 2022.
Abdul Salam Hanafi

Abdul Salam Hanafi

Penjabat wakil perdana menteri Taliban

“Orang-orang dengan pendapat yang berbeda akan berkumpul,” ujarnya. “Pertemuan ini akan menjadi langkah positif bagi stabilitas di Afghanistan dan memperkuat persatuan nasional.”

Menyesatkan

Pada 29 Juni, penjabat wakil perdana menteri, Abdul Salam Hanafi, mengumumkan pertemuan ulama Islam dan tetua suku yang semuanya laki-laki akan bertemu untuk membahas masa depan Afghanistan.

Sekitar 3.000 pria diharapkan akan ikut berpartisipasi dalam pertemuan tersebut di Polytechnic University, Kabul. Perempuan tidak diikutsertakan, tapi isu seperti pembukaan kembali sekolah untuk anak perempuan akan dibahas, seperti yang dilaporkan Al Jazeera.

Pengumuman tersebut menimbulkan kemarahan di kalangan aktivis masyarakat madani, yang mengkritik tidak dilibatkannya perempuan dari pertemuan tersebut dan mempertanyakan legitimasi pertemuan itu.

Hanafi merespon dengan mengatakan Taliban “sangat menghormati perempuan,” dan perempuan akan diwakili oleh anak laki-laki mereka, yang juga akan menghadiri pertemuan itu.

“Orang-orang dengan pendapat yang berbeda akan berkumpul,” ujarnya. “Pertemuan ini akan menjadi langkah positif bagi stabilitas di Afghanistan dan memperkuat persatuan nasional.”

Pernyataan ini keliru. Pada kenyataannya, suara 19 juta perempuan di Afghanistan tidak akan diwakili di pertemuan itu. Sejauh ini, Taliban telah membatasi partisipasi perempuan dalam kegiatan publik.

Pada September 2021, tak lama setelah mengambil alih kekuasan, Taliban membubarkan Kementerian Urusan Perempuan, yang dibentuk pada 2001 setelah Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat. Kementerian itu mengawasi upaya pemerintah Afghanistan untuk melindungi hak hukum perempuan.

Taliban menggantikannya dengan Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan, yang dibentuk ketika mereka pertama kali berkuasa sejak 1996 hingga 2001.

Human Rights Watch (HRW) menggambarkan pemulihan Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan itu sebagai simbol penghapusan hak-hak perempuan Afghanistan.

“Kementerian dengan kejam memberlakukan pembatasan pada perempuan dan laki-laki melalui pemukulan di depan umum dan pemenjaraan. Kementerian memukuli perempuan di depan umum karena, antara lain, mengenakan kaus kaki yang tidak cukup gelap; menunjukkan pergelangan tangan, tangan, atau pergelangan kaki mereka; dan tidak ditemani oleh kerabat dekat laki-laki,” tulis Heather Barr, direktur asosiasi divisi hak-hak perempuan HRW.

Taliban telah menarik kembali janji-janji yang sebelumnya mereka berikan untuk menghormati hak-hak perempuan, termasuk berjanji untuk tidak memaksa perempuan mengenakan burqa yang menutupi seluruh wajah dan tubuh.

“Burqa bukan satu-satunya hijab (penutup kepala) yang (bisa) dikenakan: Ada berbagai jenis hijab, tidak hanya burqa,” kata juru bicara Taliban Suhail Shaheen pada pembawa berita Inggris Sky News setelah Taliban menguasai Kabul Agustus tahun lalu. “(Perempuan) bisa mendapatkan pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi – yang artinya universitas.”

Tapi pada bulan Mei, Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan memutuskan semua perempuan harus menutupi tubuh mereka, mulai dari kepala sampai kaki, di depan umum. Washington Post mengutip juru bicara kementerian tersebut, Mohammad Sadiq Akif, dan mengatakan ini adalah “bagian penting untuk menyucikan masyarakat” untuk mencegah pelecehan seksual.

“Jika perempuan mengenakan hijab yang benar, maka bisa mencegah perilaku buruk orang lain,” seperti yang dilaporkan Washington Post. “Ini bukan pelanggaran hak-hak perempuan; ini memberikan lebih banyak kebebasan bagi perempuan.”

Kewajiban mengenakan penutup wajah adalah kemunduran terbaru dalam hak-hak perempuan di Afghanistan.

Pada bulan April, memo internal dari Kementerian Dalam Negeri Taliban menyebutkan pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, menyarankan perempuan untuk tinggal di rumah. Menurut majalah VICE, bagian memo yang mengatakan bahwa “perempuan tidak boleh pergi ke kantor dan bekerja atau keluar rumah,” ditulis dengan huruf tebal.

Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) menyatakan keprihatinan yang mendalam.

“Keputusan ini bertentangan dengan banyak jaminan mengenai penghormatan dan perlindungan HAM semua warga Afghanistan, termasuk perempuan dan anak perempuan, yang telah diberikan kepada masyarakat internasional oleh perwakilan Taliban dalam diskusi dan negosiasi selama dekade terakhir,” menurut pernyataan UNAMA.

“Jaminan ini juga diberikan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, bahwa perempuan akan mendapatkan hak mereka, baik dalam pekerjaan, pendidikan, atau masyarakat pada umumnya.”

Memo internal Taliban muncul tak lama setelah Taliban menunda rencana untuk membuka sekolah menengah bagi anak perempuan untuk pertama kalinya sejak mereka mengambil alih kekuasaan. Taliban membenarkan keputusan mereka dengan alasan kekurangan guru dan kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan seragam yang pantas.

Pada bulan Maret, pemerintahan Taliban memberi tahu maskapai penerbangan bahwa perempuan tidak diizinkan melakukan perjalanan dalam negeri atau internasional dengan pesawat jika tidak ditemani oleh anggota keluarga laki-laki.

Sebelum itu, pada bulan Desember 2021, Taliban mengatakan seorang perempuan harus ditemani oleh keluarga laki-lakinya jika bepergian lebih dari 45 mil dan menginstruksikan pengemudi untuk tidak mengizinkan perempuan di mobil mereka jika tidak mengenakan penutup wajah.

Pada 15 Juni, Michelle Bachelet, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, mengatakan Dewan HAM PBB bahwa perempuan Afghanistan tengah menghadapi skenario terburuk.

“Yang kita saksikan sekarang di Afghanistan adalah penindasan sistematis terhadap perempuan,” kata Bachelet.

“Meskipun Afghanistan telah meratifikasi sejumlah perjanjian internasional, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, otoritas de facto masih belum memenuhi kewajiban internasional, baik secara kebijakan maupun dalam praktiknya, untuk menghormati dan melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan.”

Selain itu, krisis keuangan dan kemanusiaan Afghanistan khususnya sangat membenani perempuan di negara itu, kata Human Rights Watch.

Ekonomi Afghanistan juga sangat bergantung pada bantuan asing, yang terganggu setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Sanksi internasional diterapkan kepada Afghanistan, dan cadangan devisa negara tersebut dibekukan.

Menurut misi PBB di Afghanistan, ekonomi negara tersebut menciut hingga 40%. Laporan PBB lainnya memperkirakan 97% warga Afghanistan bisa jatuh miskin.

Kebijakan Taliban yang melarang perempuan bekerja berdampak langsung dan buruk pada kehidupan rumah tangga di mana perempuan adalah satu-satunya pencari nafkah atau pencari nafkah utama,” kata HRW.

Forum

XS
SM
MD
LG