Tautan-tautan Akses

AS Bukan Lagi Pilihan Teratas bagi Mahasiswa Asing


Seorang mahasiswa China berbicara di telepon di belakang poster iklan pendidikan luar negeri usai tes SAT (Scholastic Assessment Test) di AsiaWorld-Expo, Hong Kong, 2 November 2013. (Foto: Reuters)
Seorang mahasiswa China berbicara di telepon di belakang poster iklan pendidikan luar negeri usai tes SAT (Scholastic Assessment Test) di AsiaWorld-Expo, Hong Kong, 2 November 2013. (Foto: Reuters)

Dalam dasawarsa terakhir, jumlah mahasiswa internasional yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dan universitas di Amerika Serikat mengalami kenaikan secara stabil. Namun, karena biaya kuliah, biaya-biaya lainnya yang tinggi, belum lagi masalah imigrasi, wacana politik yang memecah-belah dan ketakutan adanya masalah kejahatan, mahasiswa internasional kini mempertimbangkan pilihan lain.

Mereka mulai melirik negara-negara lain yang kini bersaing ketat dengan Amerika, termasuk Kanada, Australia, Selandia Baru, negara-negara Eropa, dan bahkan China. Negara-negara itu menyediakan berbagai kemudahan yang membuat mahasiswa internasional merasa lebih nyaman belajar dengan biaya yang lebih murah.

Mahasiswa asing melirik negara-negara lain untuk melanjutkan pendidikan tinggi mereka karena biaya yang sangat tinggi untuk dapat menempuh pendidikan di universitas di Amerika, menurut penelitian.

“Bukan rahasia lagi bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, biaya pendidikan tinggi di Amerika Serikat secara signifikan jauh lebih tinggi," kataWakil Presiden Kehidupan Kampus di American University, Washington D.C, Fanta Aw.

Namun, tingginya biaya kuliah bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi alasan.

Sebuah studi oleh Institute for International Education, sebuah lembaga pendidikan internasional, merujuk pada anggapan mengenai kejahatan di Amerika dan wacana politik yang kontroversial terhadap para imigran.

Menurut Bachtiar Romadhoni Asral, seorang mahasiswa berasal dari Indonesia, hal tersebut juga menjadi perhatian utamanya.

“Sebenarnya ini menjadi perhatian utama saya, karena latar belakang saya adalah orang Indonesia, Asia, dan Muslim. Penampilan saya juga berbeda, sehingga orang dapat mengatakan bahwa saya dari luar Amerika. Ini akan menjadi situasi yang menantang bagi saya untuk beradaptasi di Amerika Serikat, meskipun pada awalnya saya pikir itu bukan masalah karena saya merasa bahwa Amerika berpikiran terbuka," kata Bachtiar.

Sementara negara-negara lain, seperti Kanada, dipandang oleh sebagian calon mahasiswa internasional lebih bersahabat. Biro Pendidikan Internasional Kanada berusaha menarik para mahasiswa dari Tiongkok, India, Filipina, Vietnam, dan Pakistan dengan menawarkan visa yang memerlukan waktu hanya tiga minggu untuk pemrosesannya.

“Kami telah menemukan bahwa berdasarkan statistik yang kami miliki, ini adalah negara-negara yang paling tertarik mengirimkan mahasiswa mereka ke Kanada," kata Wakil Duta Besar Kanada untuk Amerika Serikat Kirsten Hillman.

Walaupun jumlah mahasiswa internasional di Kanada lebih sedikit daripada di Amerika, mereka yang menempuh studi lanjut di Kanada mendapati jalur imigrasi mereka membuahkan hasil yang didambakan, seperti yang dialami oleh Masroor Khan, lulusan Universitas Manitoba di Kanada.

“Setelah lulus sarjana, saya mendapat izin kerja tiga tahun, yang juga disebut sebagai izin kerja pascasarjana, dan saya melamar pekerjaan. Saya direkrut di sebuah perusahaan akuntansi. Di sana saya bekerja purna waktu selama satu tahun sehingga saya memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan menjadi penduduk permanen," kata Masroor.

Selandia Baru, dengan 130.000 mahasiswa internasional, juga meningkatkan strategi rekrutmennya.

Menurut Julian Ashby, pejabat di lembaga Education New Zealand, sebagian besar - atau sekitar 50 persen - mahasiswa berasal dari Tiongkok dan India. Education New Zealand adalah lembaga yang berusaha menarik mahasiswa internasional untuk belajar di negara itu.

"Tetapi, kami juga tentu saja berminat besar untuk menarik mahasiswa dari Amerika Selatan, Amerika Utara dan Eropa serta Timur Tengah dan Asia Tenggara," kata Julian.

Meskipun terjadi kompetisi, sebagian pakar percaya Amerika sekali lagi akan dapat menjadi pilihan utama bagi mahasiswa internasional. Hal tersebut diungkapkan Mary Catherine Chase, Direktur Komunikasi, Program Pertukaran Mahsiswa Internasional.

“Salah satu hal yang fantastis mengenai lanskap pendidikan tinggi secara global adalah kenyataan bahwa negara mana pun bisa menjadi tujuan utama untuk menempuh studi lanjut, tergantung pada faktor-faktor yang tepat. Jadi, Amerika Serikat, misalnya, bisa menjadi negara tujuan utama lagi untuk pendidikan tinggi dan mendominasi negara-negara lain untuk sementara waktu," kata Mary.

Mary Catherine Chase menambahkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh universitas, seperti membuat mahasiswa internasional merasa lebih diterima melalui kuliah tambahan bahasa Inggris, jejaring antar mahasiswa dan berbagai organisasi kemahasiswaan, akan ikut menarik lebih banyak mahasiswa asing datang dan menempuh studi lanjut di Amerika.[lt/uh]

XS
SM
MD
LG