Tautan-tautan Akses

Apa Pemicu Aksi Kekerasan Terbaru Israel-Palestina?


Para demonstran Palestina bereaksi terhadap gas airmata yang ditembakkan tentara Israel (16/10). Kekerasan terbaru ini telah menewaskan puluhan orang.
Para demonstran Palestina bereaksi terhadap gas airmata yang ditembakkan tentara Israel (16/10). Kekerasan terbaru ini telah menewaskan puluhan orang.

Berdasarkan perjanjian, Israel mengelola kompleks Masjid Al-Aqsa tetapi hanya umat Muslim yang boleh bersembahyang di sana.

Coba tanya analis dari Israel dan Palestina tentang apa yang menyulut gelombang kekerasan terbaru di kawasan itu, jawabannya pasti berbeda.

"Ini dipicu oleh pembakaran rumah keluarga Dawabsheh akhir Juli lalu di kota Duma di Tepi Barat," kata pengacara HAM Palestina Diana Buttu. "Insiden itu menewaskan seorang bayi berusia 18 bulan dan juga orangtuanya."

Namun, seorang analis politik Israel Jeremy Man Saltan, yang juga "orang dalam" di parlemen Israel, menyebut insiden lain sebagai pemicunya.

"Pemicunya adalah pembunuhan pasangan Israel Eitam dan Naama Henkin tanggal 1 Oktober lalu yang ditembak ketika berkendara dengan empat anak mereka," kata Saltan.

"Tetapi juga ada ketegangan lain, karena orang Yahudi merasa tidak ada kebebasan beribadah di sebuah lokasi yang merupakan tempat suci ketiga bagi umat Muslim dan tempat paling suci bagi umat Yahudi."

Saltan mengacu pada sebuah kompleks di Yerusalem timur yang disebut sebagai Temple Mount oleh umat Yahudi dan Masjid Al-Aqsa oleh umat Muslim. Berdasarkan perjanjian, Israel mengelola tempat itu tetapi hanya umat Muslim yang boleh bersembahyang di sana.

Warga Palestina membersihkan kompleks Al-Aqsa usai bentrokan dengan polisi Israel pertengahan bulan lalu.
Warga Palestina membersihkan kompleks Al-Aqsa usai bentrokan dengan polisi Israel pertengahan bulan lalu.

Frustrasi kaum muda atau serangan terorganisir?

Dalam beberapa tahun ini, jumlah pengunjung Yahudi ke tempat suci itu terus meningkat. Kalangan Yahudi garis keras terus menuntut akses yang sama untuk beribadah di sana.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan tidak berniat mengubah perjanjian pengelolaan saat ini. Ragu akan komitmen Netanyahu, banyak orang muda Palestina berulangkali membentuk barikade di dalam masjid serta melempar batu dan bom Molotov ke arah polisi yang lalu membalas dengan gas air mata dan peluru karet.

Para analis Israel dan Palestina tidak terkejut dengan lonjakan aksi kekerasan ini.

"Konflik ini sudah lama membayangi dan hanya perlu satu isu keagamaan untuk menarik pelatuknya," kata Diana Buttu. Lanjut Buttu, tampaknya selalu ada pergolakan setiap lahir generasi baru Palestina yang hidup di bawah rezim militer Israel.

"Generasi saat ini menyadari tidaklah normal jika harus meminta izin Israel hanya untuk pergi ke Yerusalem atau berjalan-jalan di sana," kata Buttu. "Tidaklah normal jika mereka tidak boleh membangun rumah atau melihat rumah-rumah dihancurkan. Ini adalah generasi yang sangat menyadari hak-hak mereka, generasi yang sudah sering melihat warga Israel bertindak semena-mena dan kebal hukum."

Buttu menepis dugaan serangan oleh orang Palestina akhir-akhir ini terorganisir. "Otorita Palestina adalah sebuah pemerintah yang bahkan tidak mampu mengatur demonstrasi," kritiknya.

Namun tidak demikian dengan Saltan, yang berargumen serangan-serangan itu tidak hanya didukung Otorita Palestina tetapi juga diatur oleh Hamas dan kelompok-kelompok Islam lain.

"Tidak semua serangan itu dilakukan perorangan," kata Saltan. "Hamas sebenarnya mengirim orang untuk melakukan aksi teror. Mereka bahkan mengaku bertanggungjawab atas beberapa aksi tersebut."

Saltan yakin Palestina sudah lama mencari alasan untuk melakukan pergolakan atau intifada lagi.

"Isu tempat suci ini mudah untuk dijual oleh Palestina ... sesuatu yang mengandung elemen keagamaan, sehingga mendapat simpati dari umat Muslim di seluruh dunia," ujarnya.

Tanggapan Berlebihan Israel

Sari Bashi, direktur lembaga "Human Rights Watch" untuk Israel/Palestina, melihat kekerasan saat ini sebagai konsekuensi alami dari konflik yang terlalu lama tidak terselesaikan. Ia khawatir respons berlebihan oleh Israel hanya akan memperparah ketegangan.

“Saya pikir serangan-serangan terhadap warga Israel memang menjadi tantangan bagi polisi Israel. Tetapi kebijakan yang baru-baru ini disahkan kabinet Israel tidak sesuai hukum dan tidak bijaksana," kata Bashi.

Polisi anti-huru-hara Israel berpatroli di perkampungan Issawiyeh yang dihuni warga Arab di Yerusalem tanggal 20 Oktober 2015.
Polisi anti-huru-hara Israel berpatroli di perkampungan Issawiyeh yang dihuni warga Arab di Yerusalem tanggal 20 Oktober 2015.

Kabinet Israel setuju untuk menambah jumlah polisi di banyak kota serta mendirikan pos-pos keamanan di antara kawasan perumahan orang Arab dan Israel di Yerusalem timur. Israel juga akan mengerahkan tentara non-tempur untuk membantu polisi di Israel, Tepi Barat, dan di sepanjang tembok Gaza.

PM Netanyahu juga setuju mencabut izin tinggal warga Palestina di Yerusalem yang melakukan aksi serangan.

"Kebijakan yang menganggap semua orang Palestina sebagai tersangka tidak sesuai dengan kewajiban Israel menurut hukum internasional," kata Bashi.

"Mengingat sejarah adanya ketidakpercayaan antara polisi dan warga Palestina di Yerusalem timur, kebijakan terbaru Israel ini bukanlah sebuah kebijakan yang bijaksana," tukasnya. [th]

XS
SM
MD
LG